----- ada fotonya, Bos!
     Kemarin ada dua mayat ditemukan warga. Satu tinggal kerangka. Satunya terbakar. Keduanya sepertinya tak ingin disebutkan namanya. Tak ada identitas apa-apa. Tidak ada. Hanya ada sisa pakaian yang tidak lapuk tidak ikut terbakar. Tengkoraknya terpisah dua meter dari tumpukan tulang lainnya. Kemungkinan besar kedua orang mati itu korban kekerasan alias dibunuh. Ditilik dari sisa pakaiannya, kedua korban berjenis kelamin pria.
     Mayat yang terbakar ditemukan mula-mula oleh petani yang gubuknya tak jauh dari lokasi mayat itu dibuang. Dibuang? Ya, mestinya kan dimakamkan. Diduga kuat pria yang diperkirakan berusia belum 17 tahun itu --- ini dugaan karena dia tertelungkup dan bulu kemaluannya yang tidak terbakar belum begitu tebal --- dibunuh lalu dibakar. "Mungkin si pembunuh-pembunuh ingin menghilangkan jejak," kata petani yang minta jangan disebutkan namanya.
     Sementara itu pria yang sudah jadi kerangka ditemukan oleh pemulung. Dia semula mengira kerangka itu adalah kerangka buatan yang biasa dipakai untuk praktek biologi. "Eh tak tahunya kerangka betulan," kata pria yang tak mau dituliskan namanya.
     Kepala polisi belum bisa dimintai keterangan karena dari pagi sampai siang dia menemani atasannya main golf. Sorenya dia kecapean dan beristirahat tak bisa diganggu dan malam harinya saat upaya konfirmasi terakhir dilakukan beliau sudah keluar rumah menemani wali kota makan malam. Maklum saja, kedua korban itu ditemukan pada hari Minggu, saat orang-orang bersantai ke tempat rekreasi.(HA)
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Friday, August 29, 2003
Thursday, August 28, 2003
Aku Tak Suka Peluru
akulah masa kanakmu-----masuklah!
ada teman kecilmu yang tak pernah berhenti
mengajakmu bermain bersamaku
ada tentara plastik yang patah kaki
katanya dia itu engkau sendiri
yang tertembak waktu perang-perangan
di kuburan, lalu malamnya kita mengigau:
        aku tak suka peluru!
        aku tak suka peluru!
akulah masa kanakmu-----maafkan...
ada patahan kaki tentara plastik yang hingga kini
masih tersimpan yang suka berjalan sendiri
ke dalam mimpi kita yang tak pernah datang
karena kenangan yang letih melangkah pincang.
Agt 2003
ada teman kecilmu yang tak pernah berhenti
mengajakmu bermain bersamaku
ada tentara plastik yang patah kaki
katanya dia itu engkau sendiri
yang tertembak waktu perang-perangan
di kuburan, lalu malamnya kita mengigau:
        aku tak suka peluru!
        aku tak suka peluru!
akulah masa kanakmu-----maafkan...
ada patahan kaki tentara plastik yang hingga kini
masih tersimpan yang suka berjalan sendiri
ke dalam mimpi kita yang tak pernah datang
karena kenangan yang letih melangkah pincang.
Agt 2003
Monday, August 25, 2003
Trawl Brigde Street
dari sajak Trawl Brigde Street sajak Octavio Paz
Matahari menembus hari, dingin menusuk matahari.
Di jalanan: tak ada siapa-siapa. Taman-taman kosong.
Sunyi, tak ada salju. Hanya angin. Hanya angin.
Tegak sendiri pohon, masih terbakar di beku udara.
Kusapa dia, aku menyapamu jua.
Aku di sebuah ruang, dibatalkan oleh bahasa.
Engkau di ruang lain, ruang yang serupa.
atau kita berdua di tengah jalan, tatapmu telah dikosongkan.
Dunia meruntuh tak tersaksikan mata.
Kenangan melapuk di bawah kaki kita.
Aku berhenti di tengah baris syair tak terulis ini.
Matahari menembus hari, dingin menusuk matahari.
Di jalanan: tak ada siapa-siapa. Taman-taman kosong.
Sunyi, tak ada salju. Hanya angin. Hanya angin.
Tegak sendiri pohon, masih terbakar di beku udara.
Kusapa dia, aku menyapamu jua.
Aku di sebuah ruang, dibatalkan oleh bahasa.
Engkau di ruang lain, ruang yang serupa.
atau kita berdua di tengah jalan, tatapmu telah dikosongkan.
Dunia meruntuh tak tersaksikan mata.
Kenangan melapuk di bawah kaki kita.
Aku berhenti di tengah baris syair tak terulis ini.
Dimana tanpa Siapa
dari Where Without Whom Sajak Octavio Paz
Tak ada
jiwa yang tunggal di tengah jamak pohon
dan aku
tak tahu sudah kemanakah mengembara
Tak ada
jiwa yang tunggal di tengah jamak pohon
dan aku
tak tahu sudah kemanakah mengembara
Perjalanan
Dari Passage Sajak Octavio Paz
Melampaui udara
          Melewati batas air
Melebihi batas bibir
          cahaya, cahaya
Tubuhmu, jejak-jejak dari tubuhmu
Melampaui udara
          Melewati batas air
Melebihi batas bibir
          cahaya, cahaya
Tubuhmu, jejak-jejak dari tubuhmu
Sunday, August 24, 2003
Fotografi Pembunuhan
Lensaku memotret tak fokus, piring sarapanmu terpotong pada sisi kiri jendela bidik. Jepret! Sepotong kaki masih menyisakan daging ada cipratan merah: saus tomat atau darah. Cetak ukuran 8R, 1000 lembar. Beri bingkai, beri judul: mari kita sarapan bangkai!
Aku masih menyimpan sisa film. Menunggu di dalam kamera dengan shutter siap diklik. Sudah lama tak kulihat senyum. Tolong, tersenyumlah. Aku suka senyum. Tapi cungkil dulu slilit di sela-sela gigi-gigimu. Aku pernah terselip di situ. Waktu aku pura-pura jadi korbanmu. Aku tak sempat memotret apa-apa. Kameraku SLR-ku habis baterai.
Sekarang aku suka memotret engkau sarapan. Ritual kerakusan. Di meja makan. Pagi hari. Memang saat yang tepat untuk merencanakan pembantaian. Tulang-tulang yang hancur kau kunyah. Ah, sudahkah kupotret pipimu yang penuh lubang? Sudah lama, kau tak lagi membaca doa sebelum makan. Sudah lama kau membuang kebiasaan mencuci tangan.
agustus 2003
Sajak di bawah ini memantik inspirasi sajak di atas. Thanks, Dob!
sketsa pembunuhan
sajak Dobby Fahrizal
mataku sejak itu melompat-lompat, tersesat di dalam saku celanamu.
lalu engkau berjalan melangkahi kepalaku yang petak.sepatumu menjulurkan lidah,
membangunkan tidur nyenyakku. pagi datang dengan marah-marah, rautnya memerah.
lalu melayanglah tamparannya ke atas sarapan pagiku hingga segelas teh menjadi semanis air mata.
dan kamarku di banjiri lahar-lahar anyir, entah dari mana, mungkin dari liang telingamu atau dari tumpahan sup iga sapimu.
lamunanku coba merapikan letak dasimu yang begitu sopan. namun kau tetap saja menyengir. dan aku paling benci bila kau menyengir. tolong, berhentilah menyengir.
maka kuruncingkan sikat gigiku dan bersembunyi dalam sebotol sampagne atau aku akan berpura-pura menjadi pembatas bukumu. kemudian kita rayakan pesta barbeque, jangan terkejut bila diam-diam kutusuk tengkukmu.
agustus 2003
Aku masih menyimpan sisa film. Menunggu di dalam kamera dengan shutter siap diklik. Sudah lama tak kulihat senyum. Tolong, tersenyumlah. Aku suka senyum. Tapi cungkil dulu slilit di sela-sela gigi-gigimu. Aku pernah terselip di situ. Waktu aku pura-pura jadi korbanmu. Aku tak sempat memotret apa-apa. Kameraku SLR-ku habis baterai.
Sekarang aku suka memotret engkau sarapan. Ritual kerakusan. Di meja makan. Pagi hari. Memang saat yang tepat untuk merencanakan pembantaian. Tulang-tulang yang hancur kau kunyah. Ah, sudahkah kupotret pipimu yang penuh lubang? Sudah lama, kau tak lagi membaca doa sebelum makan. Sudah lama kau membuang kebiasaan mencuci tangan.
agustus 2003
Sajak di bawah ini memantik inspirasi sajak di atas. Thanks, Dob!
sketsa pembunuhan
sajak Dobby Fahrizal
mataku sejak itu melompat-lompat, tersesat di dalam saku celanamu.
lalu engkau berjalan melangkahi kepalaku yang petak.sepatumu menjulurkan lidah,
membangunkan tidur nyenyakku. pagi datang dengan marah-marah, rautnya memerah.
lalu melayanglah tamparannya ke atas sarapan pagiku hingga segelas teh menjadi semanis air mata.
dan kamarku di banjiri lahar-lahar anyir, entah dari mana, mungkin dari liang telingamu atau dari tumpahan sup iga sapimu.
lamunanku coba merapikan letak dasimu yang begitu sopan. namun kau tetap saja menyengir. dan aku paling benci bila kau menyengir. tolong, berhentilah menyengir.
maka kuruncingkan sikat gigiku dan bersembunyi dalam sebotol sampagne atau aku akan berpura-pura menjadi pembatas bukumu. kemudian kita rayakan pesta barbeque, jangan terkejut bila diam-diam kutusuk tengkukmu.
agustus 2003
Sesentuh Sentuhan
Dari Sajak Touch oleh Octavio Paz
Tangan-tanganku
menyibak tirai: engkau pun lalu ada
kusandangkan ketelanjangan yang lebih ke tubuhmu
membuka selubung di atas tubuh-tubuh: tubuhmu
Tangan-tanganku
menciptakan tubuh yang lain: bagi tubuhmu.
Tangan-tanganku
menyibak tirai: engkau pun lalu ada
kusandangkan ketelanjangan yang lebih ke tubuhmu
membuka selubung di atas tubuh-tubuh: tubuhmu
Tangan-tanganku
menciptakan tubuh yang lain: bagi tubuhmu.
Puncak dan Gravitasi
Dari Summit & Gravity Sajak Octavio Paz
Tegak tanpa gerak: sebatang pohon
selainnya serentak bergerak, maju
    sesungai pohon-pohon
menggempur membentur dadaku
warna hijau badai
mendamparkan keberuntungan
Engkau dalam pakaian merah
Engkau
menandai tahun yang terbakar
tubuh yang masih membara
berbuah bintang
kusantap matahari di dalam Engkau
Waktu pun berhenti
di jurang terdalam retakan cahaya
Burung-burung: segenggam cahaya
paruhnya membangun kelam malam
sayapnya mempertahankan terang siang
Berakar di puncak cahaya
di antara ketenangan dan rasa gamang
keseimbangan yang tipis batas
Tegak tanpa gerak: sebatang pohon
selainnya serentak bergerak, maju
    sesungai pohon-pohon
menggempur membentur dadaku
warna hijau badai
mendamparkan keberuntungan
Engkau dalam pakaian merah
Engkau
menandai tahun yang terbakar
tubuh yang masih membara
berbuah bintang
kusantap matahari di dalam Engkau
Waktu pun berhenti
di jurang terdalam retakan cahaya
Burung-burung: segenggam cahaya
paruhnya membangun kelam malam
sayapnya mempertahankan terang siang
Berakar di puncak cahaya
di antara ketenangan dan rasa gamang
keseimbangan yang tipis batas
Friday, August 22, 2003
Tentang Air
dari sajak Water oleh Pablo Neruda
Ketika segala meremang, tegak berdiri di bumi,
semak mencakarkan duri, dan benang hijau
menjelujur jauh, petal pun luruh, gugur jatuh,
luruh dan jatuh, yang menjelma jadi sisa satu-satunya bunga.
Air pun menjadi ihwal lainnya.
Air yang tak berarah, tapi jernihnya yang tenang
mengarus menembus seluruh imajinasi warna-warna,
menyerap kearifan yang tegas ada pada batu
dan pada peranan yang ia mainkan
ada yang sangat diinginkan buih. Yang tak pernah terwujudkan.
Ketika segala meremang, tegak berdiri di bumi,
semak mencakarkan duri, dan benang hijau
menjelujur jauh, petal pun luruh, gugur jatuh,
luruh dan jatuh, yang menjelma jadi sisa satu-satunya bunga.
Air pun menjadi ihwal lainnya.
Air yang tak berarah, tapi jernihnya yang tenang
mengarus menembus seluruh imajinasi warna-warna,
menyerap kearifan yang tegas ada pada batu
dan pada peranan yang ia mainkan
ada yang sangat diinginkan buih. Yang tak pernah terwujudkan.
Thursday, August 21, 2003
Ode Bagi Pakaian
dari Sajak Ode to Clothes oleh Pablo Neruda
Engkau, pakaian-pakaian yang
menanti setiap pagi, di atas kursi,
Engkau yang mengisi dirimu sendiri,
dengan kepongahanku, cinta kasihku,
harapanku, dan tentu dengan tubuhku.
Begitulah, setelah
bangkit dari lelap,
lalu kulepaskan air,
maka kumasuki lenganmu,
dan kakiku mencari di
lorong-lorong kakimu,
dan kemudian terangkul erat
dalam kesetiaan engkau yang tak berbatas
aku pun bangkit menjejaki rumput itu,
memasuki puisi,
meninjau ke saujana jendela,
ke semesta benda-benda,
para lelaki dan wanita-wanita,
seluruh tingkah dan segala pertarungan,
terus membentuk aku,
terus memaksaku menghadapi apapun
menggerakkan tanganku,
membelalakkan mataku,
mengangakan mulutku,
Dan wahai
pakaian-pakaian,
aku pun juga membentukmu,
memperlebar bagian sikumu,
merapikan benang jahitmu,
dan hidupmu pun mengembara,
hingga ke imaji hidupku.
Di angin
engkau kumal dan rantas
seperti engkaulah jiwaku,
di saat yang buruk,
engkau memagut erat
tulang-tulangku,
kosong, hingga malam,
kegelapan, kembali lelap
lalu datang mereka: hantu-hantu
sayapmu dan sayapku.
Kusangka,
kelak jika suatu hari
ada sebutir peluru
dari seorang musuh
akan membasahimu dengan darahku
lalu
engkau mati bersamaku.
Atau kelak di hari lainnya,
bukan dalam senyap
tapi begitu dramatik
dan sederhana,
engkau akan jatuh sakit,
wahai pakaian-pakaian,
sakit bersamaku,
menua bersamaku, bersama tubuhku
lalu kita menyatu
lalu kita memasuki
bumi.
Karena itu,
setiap hari
aku menyapamu
dengan sedalamnya hormatku, lalu
engkau erat memelukku, aku melupakanmu,
karena kita sesungguhnya satu
dan kita akan senantiasa
menantang angin, menantang malam,
di jalanan, dalam pertarungan,
tubuh yang tunggal,
hari yang tunggal, satu hari nanti, ketika hanya ada sunyi.
Engkau, pakaian-pakaian yang
menanti setiap pagi, di atas kursi,
Engkau yang mengisi dirimu sendiri,
dengan kepongahanku, cinta kasihku,
harapanku, dan tentu dengan tubuhku.
Begitulah, setelah
bangkit dari lelap,
lalu kulepaskan air,
maka kumasuki lenganmu,
dan kakiku mencari di
lorong-lorong kakimu,
dan kemudian terangkul erat
dalam kesetiaan engkau yang tak berbatas
aku pun bangkit menjejaki rumput itu,
memasuki puisi,
meninjau ke saujana jendela,
ke semesta benda-benda,
para lelaki dan wanita-wanita,
seluruh tingkah dan segala pertarungan,
terus membentuk aku,
terus memaksaku menghadapi apapun
menggerakkan tanganku,
membelalakkan mataku,
mengangakan mulutku,
Dan wahai
pakaian-pakaian,
aku pun juga membentukmu,
memperlebar bagian sikumu,
merapikan benang jahitmu,
dan hidupmu pun mengembara,
hingga ke imaji hidupku.
Di angin
engkau kumal dan rantas
seperti engkaulah jiwaku,
di saat yang buruk,
engkau memagut erat
tulang-tulangku,
kosong, hingga malam,
kegelapan, kembali lelap
lalu datang mereka: hantu-hantu
sayapmu dan sayapku.
Kusangka,
kelak jika suatu hari
ada sebutir peluru
dari seorang musuh
akan membasahimu dengan darahku
lalu
engkau mati bersamaku.
Atau kelak di hari lainnya,
bukan dalam senyap
tapi begitu dramatik
dan sederhana,
engkau akan jatuh sakit,
wahai pakaian-pakaian,
sakit bersamaku,
menua bersamaku, bersama tubuhku
lalu kita menyatu
lalu kita memasuki
bumi.
Karena itu,
setiap hari
aku menyapamu
dengan sedalamnya hormatku, lalu
engkau erat memelukku, aku melupakanmu,
karena kita sesungguhnya satu
dan kita akan senantiasa
menantang angin, menantang malam,
di jalanan, dalam pertarungan,
tubuh yang tunggal,
hari yang tunggal, satu hari nanti, ketika hanya ada sunyi.
Tuesday, August 19, 2003
Ode bagi Buku
dari sajak Ode To The Book oleh Pablo Neruda
Ketika akhirnya sebuah buku kututup
aku membuka hidup.
Aku dengar juga
tangis yang ragu menghiba
di antara dermaga-dermaga
tiang-tiang tembaga
menggelincir turun ke lubang-lubang pasir
hingga ke Tocopilla.
Waktu telah malam
di antara pulau-pulau
samudera kita
berdebaran bersama ikan,
menyentuh kaki, menyentuh paha,
rusuk-rusuk rapuh
negeriku.
Seluruh malam
berpagut teguh sepanjang pasir, hingga fajar
bangkit menggugah nyanyi
seperti dia yang telah menggairahkan gitar.
Hempasan samudera mengelu-elu
Hembusan angin
menyeruku
dan Rodriguez memanggilku,
juga Jose Antonio --
Ada telegram tiba
dari negara -- "Negaraku"
dan dari seorang yang kuberi cinta
(yang tak kan kusebutkan siapa)
mengharapkan aku kini ada di Bucalemu.
Tak ada sebuah buku yang mampu
membungkusku dalam kertas
mengisi sekujurku
dengan tipografi,
dengan jejak cetak teramat riang
atau bisa mengikat mataku,
Aku beranjak keluar dari buku ke taman buah manusia
dengan parau lagu, kerabat lagu-laguku,
yang mengolah baja-baja pijar
atau menyantap daging bakar
di sisi perapian, di rumah pegunungan.
Aku cinta buku yang
penuh petualangan,
buku tentang salju atau hutan-hutan,
ke dalam bumi atau langit tinggi,
tapi aku membenci
buku tentang laba-laba
yang menyangka
telah ditebarnya jaring berbisa
menjebak lalat yang baru saja
melingkar belajar mengepak sayapnya.
Buku, biarkan aku pergi menjauhimu.
Aku bukan hendak mengenakan baju
dalam jilid-jilid,
aku tidak hendak beranjak keluar
untuk memunguti karya-karyaku,
karena sajak-sajakku
tak menyantap sajak-sajak --
mereka melahap takjub peristiwa-peristiwa
mereka hidup dalam kasar cuaca
mereka menggali sendiri umbi
dari bumi dan hidup lelaki.
Aku kini ada di jalanku.
Dengan debu di sepatu berdebu
terbebas dari kurung mitos-mitos:
Maka kembalikan saja buku ke dalam buku,
dan aku akan turun saja ke jalanan.
Aku telah pelajari hidup
langsung dari hidup itu sendiri.
Cinta mengajariku cukup dari satu kecupan
dan tak mengajarkan apapun pada orang lain,
kecuali bahwa aku telah hidup
dengan yang lazim ada di antara para lelaki,
ketika bergelut, beradu otot,
ketika mengatakan semua ucap mereka dalam lagu-laguku.
Ketika akhirnya sebuah buku kututup
aku membuka hidup.
Aku dengar juga
tangis yang ragu menghiba
di antara dermaga-dermaga
tiang-tiang tembaga
menggelincir turun ke lubang-lubang pasir
hingga ke Tocopilla.
Waktu telah malam
di antara pulau-pulau
samudera kita
berdebaran bersama ikan,
menyentuh kaki, menyentuh paha,
rusuk-rusuk rapuh
negeriku.
Seluruh malam
berpagut teguh sepanjang pasir, hingga fajar
bangkit menggugah nyanyi
seperti dia yang telah menggairahkan gitar.
Hempasan samudera mengelu-elu
Hembusan angin
menyeruku
dan Rodriguez memanggilku,
juga Jose Antonio --
Ada telegram tiba
dari negara -- "Negaraku"
dan dari seorang yang kuberi cinta
(yang tak kan kusebutkan siapa)
mengharapkan aku kini ada di Bucalemu.
Tak ada sebuah buku yang mampu
membungkusku dalam kertas
mengisi sekujurku
dengan tipografi,
dengan jejak cetak teramat riang
atau bisa mengikat mataku,
Aku beranjak keluar dari buku ke taman buah manusia
dengan parau lagu, kerabat lagu-laguku,
yang mengolah baja-baja pijar
atau menyantap daging bakar
di sisi perapian, di rumah pegunungan.
Aku cinta buku yang
penuh petualangan,
buku tentang salju atau hutan-hutan,
ke dalam bumi atau langit tinggi,
tapi aku membenci
buku tentang laba-laba
yang menyangka
telah ditebarnya jaring berbisa
menjebak lalat yang baru saja
melingkar belajar mengepak sayapnya.
Buku, biarkan aku pergi menjauhimu.
Aku bukan hendak mengenakan baju
dalam jilid-jilid,
aku tidak hendak beranjak keluar
untuk memunguti karya-karyaku,
karena sajak-sajakku
tak menyantap sajak-sajak --
mereka melahap takjub peristiwa-peristiwa
mereka hidup dalam kasar cuaca
mereka menggali sendiri umbi
dari bumi dan hidup lelaki.
Aku kini ada di jalanku.
Dengan debu di sepatu berdebu
terbebas dari kurung mitos-mitos:
Maka kembalikan saja buku ke dalam buku,
dan aku akan turun saja ke jalanan.
Aku telah pelajari hidup
langsung dari hidup itu sendiri.
Cinta mengajariku cukup dari satu kecupan
dan tak mengajarkan apapun pada orang lain,
kecuali bahwa aku telah hidup
dengan yang lazim ada di antara para lelaki,
ketika bergelut, beradu otot,
ketika mengatakan semua ucap mereka dalam lagu-laguku.
Monday, August 18, 2003
Ihwal Duduk, Ihwal Kursi
dari sajak To Sit Down/Pablo Neruda
Semua telah duduk
duduk di meja
duduk di singgasana
duduk di rapat-rapat pertemuan
duduk di kereta penumpang
duduk di kapel
di pesawat, di sekolah, di stadion
semua telah duduk atau bersiap hendak duduk
tapi tak ada yang mengenang
kursi-kursi
yang telah kubuat dengan tanganku.
Apa yang telah terjadi? Kenapa, ketika takdirku
membuat ku duduk, di antara hal ihwal lainnya,
kenapa mereka tak membiarkanku
merekatkan empat kaki
dari pohon mati
menjadi sebuah tempat duduk yang memangku
tetanggaku
kenapa harus menunggu di sana? menunggu kelahiran
dan kematian orang terkasihnya?
(Kursi yang tidak bisa kubuat, yang tak pernah kubuat
mengubah bentuk, mengubah gaya
setiap kayu yang semula sejati
menjadi benda yang dingin, datar, bersih
tak terlindung bayang, seremoni pohon-pohon)
Lingkaran gergaji
seperti planet
menjelang turun, ketika malam
ke bumi
lalu bergulung menerabas hutan-hutan
di negeriku ini
melintas saja tanpa sempat melihat menembus lubang cacingku
yang hilang dalam pekik sendiri
dan demikianlah, aku melangkah
dalam aroma sakral
hutan belantara
tanpa melakukan apa-apa
melawan tajuk-tajuk pohon
mesti ada sebatang kapak di tangan
meski ada ilmu yang membuat keputusan
meski aku tahu bagaimana menebang belukar
dan merakit kursi
imobilitas
dan terus mengulanginya lagi
sampai setiap orang di dunia
duduk, mendapat jatah kursi.
Semua telah duduk
duduk di meja
duduk di singgasana
duduk di rapat-rapat pertemuan
duduk di kereta penumpang
duduk di kapel
di pesawat, di sekolah, di stadion
semua telah duduk atau bersiap hendak duduk
tapi tak ada yang mengenang
kursi-kursi
yang telah kubuat dengan tanganku.
Apa yang telah terjadi? Kenapa, ketika takdirku
membuat ku duduk, di antara hal ihwal lainnya,
kenapa mereka tak membiarkanku
merekatkan empat kaki
dari pohon mati
menjadi sebuah tempat duduk yang memangku
tetanggaku
kenapa harus menunggu di sana? menunggu kelahiran
dan kematian orang terkasihnya?
(Kursi yang tidak bisa kubuat, yang tak pernah kubuat
mengubah bentuk, mengubah gaya
setiap kayu yang semula sejati
menjadi benda yang dingin, datar, bersih
tak terlindung bayang, seremoni pohon-pohon)
Lingkaran gergaji
seperti planet
menjelang turun, ketika malam
ke bumi
lalu bergulung menerabas hutan-hutan
di negeriku ini
melintas saja tanpa sempat melihat menembus lubang cacingku
yang hilang dalam pekik sendiri
dan demikianlah, aku melangkah
dalam aroma sakral
hutan belantara
tanpa melakukan apa-apa
melawan tajuk-tajuk pohon
mesti ada sebatang kapak di tangan
meski ada ilmu yang membuat keputusan
meski aku tahu bagaimana menebang belukar
dan merakit kursi
imobilitas
dan terus mengulanginya lagi
sampai setiap orang di dunia
duduk, mendapat jatah kursi.
Sunday, August 17, 2003
Ode bagi Pakaian yang Belum Diseterika
dari an Ode for Ironing/Pablo Neruda
Putih puisi
datang menetes keluar dari air
kusut berkerut, menumpuk tinggi
Kita harus mengencangkan kulit planet ini
Kita harus menyeterika laut di bentang putihnya
Tangan-tangan yang terus dan terus saja bekerja
maka sesuatu yang punya harga tercipta
Tangan-tangan yang setiap hari mengolah dunia
api yang menyatu dengan lempeng baja
linen, kanvas, dan belacu datang kembali
dari pertempuran di dalam mesin cuci
dan dari cahaya seketika menjelma lahir seekor merpati
kesucian pun kembali pulang dari buih sabun cuci.
Putih puisi
datang menetes keluar dari air
kusut berkerut, menumpuk tinggi
Kita harus mengencangkan kulit planet ini
Kita harus menyeterika laut di bentang putihnya
Tangan-tangan yang terus dan terus saja bekerja
maka sesuatu yang punya harga tercipta
Tangan-tangan yang setiap hari mengolah dunia
api yang menyatu dengan lempeng baja
linen, kanvas, dan belacu datang kembali
dari pertempuran di dalam mesin cuci
dan dari cahaya seketika menjelma lahir seekor merpati
kesucian pun kembali pulang dari buih sabun cuci.
Friday, August 15, 2003
Bersaf-saf Bunga-bunga
The Tuft of Flowers
Robert Frost
Menyelinap ke balik rumput, setelah dia yang pergi
Menebas memangkas di embun sebelum terbit matahari.
Embun sudah berlalu, mengasah tajam mata sabit
Sebelum aku tiba, melihat lansekap yang bangkit.
Kucari dia di sebalik tajuk pohon-poon sepulau;
Kusimak suara batu asah pada sepoi angin galau.
Tapi dia tak terjumpai lagi, seluruh rumput tersiangi,
Dan aku pun mesti - seperti dia kini - musti sendiri.
'Semua yang mesti terjadi,' kuucap itu di hati,
'Ketika kita bersama, ketika kita kembali sendiri.
Dan ketika baru kusebut, melintas burung layang
Pada kepak sayap bisu kupu-kupu yang tercengang.
Dan ketika kudapati ia terbang berputar-putar,
Ketika itu bunga terhampar di tanah memudar.
Lalu ia terbang menjauh sejauh mata ditinjau,
Dan dengan gemetar di sayap menukik menujuku.
Aku menebaki pertanyaan yang tak punya jawab,
Kembali ke rumput, mengurai tumpukan lembab
Tapi dia lebih dahulu tiba, menuntut mata
ke sisian alur, ke saf tinggi bunga-bunga.
Robert Frost
Menyelinap ke balik rumput, setelah dia yang pergi
Menebas memangkas di embun sebelum terbit matahari.
Embun sudah berlalu, mengasah tajam mata sabit
Sebelum aku tiba, melihat lansekap yang bangkit.
Kucari dia di sebalik tajuk pohon-poon sepulau;
Kusimak suara batu asah pada sepoi angin galau.
Tapi dia tak terjumpai lagi, seluruh rumput tersiangi,
Dan aku pun mesti - seperti dia kini - musti sendiri.
'Semua yang mesti terjadi,' kuucap itu di hati,
'Ketika kita bersama, ketika kita kembali sendiri.
Dan ketika baru kusebut, melintas burung layang
Pada kepak sayap bisu kupu-kupu yang tercengang.
Dan ketika kudapati ia terbang berputar-putar,
Ketika itu bunga terhampar di tanah memudar.
Lalu ia terbang menjauh sejauh mata ditinjau,
Dan dengan gemetar di sayap menukik menujuku.
Aku menebaki pertanyaan yang tak punya jawab,
Kembali ke rumput, mengurai tumpukan lembab
Tapi dia lebih dahulu tiba, menuntut mata
ke sisian alur, ke saf tinggi bunga-bunga.
Wednesday, August 13, 2003
Kamus Bahasa Shiela dan Ikra
kalau kamu bilang , "acam," artinya ikan, tentu aku tahu
kalau kamu sebut, "cacapu," maksudmu tentu kupu-kupu.
tapi, Shiela, rahasiakan saja kata-kata kita itu dari Ikra, ya...
nanti dia akan mencipta kata-kata sendiri, nanti dia akan
menyusun kamus sendiri, nanti kita bikin puisi untuknya.
kalau kamu sebut, "cacapu," maksudmu tentu kupu-kupu.
tapi, Shiela, rahasiakan saja kata-kata kita itu dari Ikra, ya...
nanti dia akan mencipta kata-kata sendiri, nanti dia akan
menyusun kamus sendiri, nanti kita bikin puisi untuknya.
Saat yang Tidak Tepat untuk Menulis Puisi
kliping resep kue donat masih menyimpan aroma khamir mengolah karbohidrat: jadi kenangan kecil teradon, bangkit begitu kalis begitu lekat. "Ma, besok Shiela sekolah, mau bawa bekal yang pakai meses coklat..."
Malam sudah dekat. Subuh sudah dekat. Sungguh. Tak ada yang lewat dalam notes kecil yang giat mencatat. Dalam notes yang selalu menegurku, meralat niat: "Hei, untuk menulis puisi, ini bukan saat yang tepat."
Malam sudah dekat. Subuh sudah dekat. Sungguh. Tak ada yang lewat dalam notes kecil yang giat mencatat. Dalam notes yang selalu menegurku, meralat niat: "Hei, untuk menulis puisi, ini bukan saat yang tepat."
Tuesday, August 12, 2003
Bukan Haiku: Tentang Sungai dan Sunyi
di sungai, diam telah memeluk erat arus
sunyi mengalir: mempertegas gigil batu!
Agt 2003
sunyi mengalir: mempertegas gigil batu!
Agt 2003
Bukan Haiku: Tentang Akar dan Batu
akar menggelitik batu
lupa menahan arus ke muara
lupa menyampaikan sapa,
"disini saja, Saudara,
temani kami saja."
Agt 2003
lupa menahan arus ke muara
lupa menyampaikan sapa,
"disini saja, Saudara,
temani kami saja."
Agt 2003
Lagu Cinta Malam Semalam
(dari sajak Rainer Maria Rilke
Evening Love Song)
Ornamentasi awan-awan
menggubah lagu cinta malam semalam;
dedaun jalanan menyibak menolak.
Rembulan baru dimulakan
sebabak baru malam-malam kita,
malam yang gelapnya masih temaram
kita meregang merentang dan terbancuh
pada bentang horisontal: warna hitam.
Evening Love Song)
Ornamentasi awan-awan
menggubah lagu cinta malam semalam;
dedaun jalanan menyibak menolak.
Rembulan baru dimulakan
sebabak baru malam-malam kita,
malam yang gelapnya masih temaram
kita meregang merentang dan terbancuh
pada bentang horisontal: warna hitam.
Monday, August 11, 2003
Formulir Kosong Puisi
(Dialog Puisi antara
aku Hasan Aspahani
dan dia Nanang Suryadi)
aku:
kukirim padamu formulir kosong puisi, pada bait yang lengang kau menanti sendiri mengisi titik-titik dengan sunyi bunyi.
dia:
secelah kekosongan tinggal di pinggir halaman dan jeda antara baris bait di mana singgah sunyi namun gaduh juga yang bertalu, setelah lembar terisi: takdir sepi.
aku:
beribu lembar sepi tak terisi, mana huruf yang menulis bunyi? beribu gambar sunyi tak terwarnai, mana harap yang melingkari hari?
dia:
biarlah sepi mencari bunyinya sendiri karena dimainkannya denting dalam bening hening dan diwarnainya malam dengan hitam lengang hingga kau rasa setusuk sepi menyeri...
aku:
sebelum disebutnya namamu sebelum disahutnya rindumu sebelum disambutnya cahayamu: gaduh bunyi lunas disucikan sunyi.
dia:
telah ditera namaku di situ juga waktu saat berjumpa saat terlunas segala rindu menatap wajahnya yang cahaya hingga lebur diri dalam cahaya lautan cintanya semata!
di jantung hati sepisau sepi menikam tikam hingga sampai di puncak ngeri merindui kekasih diri di kilau tajam sehunus sepi tak henti mengunjam ke dalamdadadiri.
aku:
di dadaku sepi telah dalam kutanam telah berulang tikam kuhunjam, di dadaku nyeri telah lama kubungkam telah bertulang dendam kupendam.
dia:
ingin kutemu sejati dimanakah engkau wahai kekasih diri hingga kutemu sejati cinta sejati lunaskan nyeri rindu di hati...
aku:
kekasih ada di sejati hati yang merindu kekasih ada di sejati rindu yang mencari kekasih sejati ada dalam nyeri abadi yang tak pernah terlunasi...
Jakarta-Batam, Agt 2003
aku Hasan Aspahani
dan dia Nanang Suryadi)
kukirim padamu formulir kosong puisi, pada bait yang lengang kau menanti sendiri mengisi titik-titik dengan sunyi bunyi.
dia:
secelah kekosongan tinggal di pinggir halaman dan jeda antara baris bait di mana singgah sunyi namun gaduh juga yang bertalu, setelah lembar terisi: takdir sepi.
aku:
beribu lembar sepi tak terisi, mana huruf yang menulis bunyi? beribu gambar sunyi tak terwarnai, mana harap yang melingkari hari?
dia:
biarlah sepi mencari bunyinya sendiri karena dimainkannya denting dalam bening hening dan diwarnainya malam dengan hitam lengang hingga kau rasa setusuk sepi menyeri...
aku:
sebelum disebutnya namamu sebelum disahutnya rindumu sebelum disambutnya cahayamu: gaduh bunyi lunas disucikan sunyi.
dia:
telah ditera namaku di situ juga waktu saat berjumpa saat terlunas segala rindu menatap wajahnya yang cahaya hingga lebur diri dalam cahaya lautan cintanya semata!
di jantung hati sepisau sepi menikam tikam hingga sampai di puncak ngeri merindui kekasih diri di kilau tajam sehunus sepi tak henti mengunjam ke dalamdadadiri.
aku:
di dadaku sepi telah dalam kutanam telah berulang tikam kuhunjam, di dadaku nyeri telah lama kubungkam telah bertulang dendam kupendam.
dia:
ingin kutemu sejati dimanakah engkau wahai kekasih diri hingga kutemu sejati cinta sejati lunaskan nyeri rindu di hati...
aku:
kekasih ada di sejati hati yang merindu kekasih ada di sejati rindu yang mencari kekasih sejati ada dalam nyeri abadi yang tak pernah terlunasi...
Jakarta-Batam, Agt 2003
Friday, August 8, 2003
MURAL MELUPAKAN*
nanang suryadi
* Judul dari Hasan Aspahani
mungkin aku telah melupakan warna-warna, mungkin rindu juga cinta, karena huruf-huruf berguguran dari ingatan
tentang puisi yang digugurkan dari rahim waktu, karena tiada kekal kata tiada abadi segala yang diingin selama
tapi masih kuingin seisak yang tersisa dari sobekan kenangan di lipatan yang tak terbaca, mungkin airmata...
kutulis diam-diam, selagi amnesia, selagi terlupa, hingga berdenyar segala puisi, mungkin tentang kesedihan yang teramat dalam
hingga berlinang dongeng puteri duyung, atau bintang yang teramat biru, di matamu, karena di rembang senja ditawarkan segala bimbang segala gamang
agt 2003
* Judul dari Hasan Aspahani
mungkin aku telah melupakan warna-warna, mungkin rindu juga cinta, karena huruf-huruf berguguran dari ingatan
tentang puisi yang digugurkan dari rahim waktu, karena tiada kekal kata tiada abadi segala yang diingin selama
tapi masih kuingin seisak yang tersisa dari sobekan kenangan di lipatan yang tak terbaca, mungkin airmata...
kutulis diam-diam, selagi amnesia, selagi terlupa, hingga berdenyar segala puisi, mungkin tentang kesedihan yang teramat dalam
hingga berlinang dongeng puteri duyung, atau bintang yang teramat biru, di matamu, karena di rembang senja ditawarkan segala bimbang segala gamang
agt 2003
Thursday, August 7, 2003
5 Cara Mengisi Formulir Kosong
(1)
HATI-HATI, formulir itu sudah disodorkan
padamu. Dia diam-diam sedang merumuskan
kembali siapa dirimu. Dia mula-mula
akan meminta kau menyebutkan nama, bukan?
Dan kau akan dengan senang hati menyebutkan
satu dua kata yang mestinya kau rahasiakan saja.
(2)
TIBA-TIBA kau bertanya: dari mana saja datangnya
formulir-formulir itu? Bagaimana mereka tahu
menuju alamatmu? Kenapa setiap pagi ada saja
satu dua lembar yang menyapamu dari bawah pintu?
(3)
ADA sebuah formulir yang tiap saat datang ke
meja kantormu. Yang tak pernah kau jawab
pertanyaan-pertanyaannya. Yang akhirnya selalu
kau buang ke keranjang sampah bersama gumpalan
kertas gagal lainnya.
ADA sebuah formulir yang seolah menjanjikan
kemudahan apa saja, tapi kau tak pernah
terbujuk oleh buai rayunya: diskon belanja,
kartu yang katanya begitu sakti, kesempata
berwisata ke kota-kota indah... apa saja!
"HIDUP kok terlalu sederhana..." katamu
membantah seluruh skenario dalam formulir
yang tak pernah kau baca itu.
(4)
DI depan pintu itu nanti, akan ada yang
menyodorkan formulir padamu. Kau tabah saja
sebaiknya. Bukankah kita sudah terbiasa
dengan prosedur seperti itu? Isilah kolom-
kolomnya, sebagai formalitas. Terutama
pada pertanyaan siapa nama ibu kandungmu?
Selipkan saja beberapa dusta sebagai rutinitas.
Coret saja jawaban yang tak perlu dan
kosongkan beberapa pertanyaan yang tak relevan.
MEREKA tidak akan pernah membaca jawabanmu.
Mereka cuma mencoba patuh pada birokrasi.
BUKANKAH kau juga akan lupa dengan apa yang
kau tulis di formulir itu? Jadi lekaslah isi
dan kembalikan. Karena di belakangnya ada
antrean panjang, dan di depanmu ada pintu
lagi dan akan ada yang menyodorkan formulir
lagi...
(5)
TELAH kauisi formulir kosong ini yang
sama sekali tak pernah kau mengerti.
Setelah itu? Ya, tunggu saja, nasib kita
sedang diundi.
Agt 2003
HATI-HATI, formulir itu sudah disodorkan
padamu. Dia diam-diam sedang merumuskan
kembali siapa dirimu. Dia mula-mula
akan meminta kau menyebutkan nama, bukan?
Dan kau akan dengan senang hati menyebutkan
satu dua kata yang mestinya kau rahasiakan saja.
(2)
TIBA-TIBA kau bertanya: dari mana saja datangnya
formulir-formulir itu? Bagaimana mereka tahu
menuju alamatmu? Kenapa setiap pagi ada saja
satu dua lembar yang menyapamu dari bawah pintu?
(3)
ADA sebuah formulir yang tiap saat datang ke
meja kantormu. Yang tak pernah kau jawab
pertanyaan-pertanyaannya. Yang akhirnya selalu
kau buang ke keranjang sampah bersama gumpalan
kertas gagal lainnya.
ADA sebuah formulir yang seolah menjanjikan
kemudahan apa saja, tapi kau tak pernah
terbujuk oleh buai rayunya: diskon belanja,
kartu yang katanya begitu sakti, kesempata
berwisata ke kota-kota indah... apa saja!
"HIDUP kok terlalu sederhana..." katamu
membantah seluruh skenario dalam formulir
yang tak pernah kau baca itu.
(4)
DI depan pintu itu nanti, akan ada yang
menyodorkan formulir padamu. Kau tabah saja
sebaiknya. Bukankah kita sudah terbiasa
dengan prosedur seperti itu? Isilah kolom-
kolomnya, sebagai formalitas. Terutama
pada pertanyaan siapa nama ibu kandungmu?
Selipkan saja beberapa dusta sebagai rutinitas.
Coret saja jawaban yang tak perlu dan
kosongkan beberapa pertanyaan yang tak relevan.
MEREKA tidak akan pernah membaca jawabanmu.
Mereka cuma mencoba patuh pada birokrasi.
BUKANKAH kau juga akan lupa dengan apa yang
kau tulis di formulir itu? Jadi lekaslah isi
dan kembalikan. Karena di belakangnya ada
antrean panjang, dan di depanmu ada pintu
lagi dan akan ada yang menyodorkan formulir
lagi...
(5)
TELAH kauisi formulir kosong ini yang
sama sekali tak pernah kau mengerti.
Setelah itu? Ya, tunggu saja, nasib kita
sedang diundi.
Agt 2003
Antara Beranjak dan Bertahan
dari sajak Between Going and Staying - Octavio Paz
Antara beranjak dan bertahan, hari gamang,
dalam cinta dengan batasnya yang bimbang.
Petang yang melingkar sampai ke teluk tenang,
di sana kata diam dalam senyap batu karang.
Semua tampak mata, semua tak terbaca,
semua tak beranjak jauh, semua tak tersentuh.
Lembar kertas, buku, pencil, kacamata,
istrirah teduh di bawah nama-nama mereka.
Debar waktu di kuil-kuilku mengulangkan
suku kata darah yang sama, tak terubahkan.
Sinar menukar sorot dari dinding yang sama,
ke panggung mencekam, teater permenungan.
Lalu kudapati diri sendiri di tengah bola mata,
yang mengawasi diri sendiri di kosong tatap.
Menghamburlah momentum. Tanpa gerak raga,
aku bertahan aku beranjak: aku sebuah jeda.
Wednesday, August 6, 2003
Sajak Paling Duka
dari SADDEST POEM, Pablo Neruda
Malam habis, inilah sajak paling duka yang bisa kutulis.
Maka kutulis saja: "Langit ditaburi bintang-bintang,
dan bintang-bintang, biru, bergetaran di jarak kejauhan.
Dan angin malam berpusaran melagukan nyanyi.
Malam habis, inilah sajak paling duka yang bisa kutulis.
Aku cinta padanya, dan sesekali dia pun cinta padaku.
Di malam seperti ini, kurengkuh dia di lenganku,
kukecup kuulang tak terbilang, di bawah langit lapang.
Dia mencintai aku, sesekali aku pun cinta pada dia.
Tidakkah cukup alasan untuk mencintanya? Secintanya?
Malam habis, inilah sajak paling duka yang bisa kutulis.
Dalam pikir dia tak tergapai, dalam rasa dia tak terpunya.
Menyimak malam yang berat, lebih berat karena tak ada dia.
Dan sajak meluruhi jiwa, seperi embun jatuh di daun rumput.
Sia-sia kutanya mengapa cinta tak mampu menjaganya.
Langit ditaburi bintang, dan dia tak bersamaku lagi.
Itulah segalanya. Jauh. Di entah jarak, seseorang menyanyi.
Jiwaku hilang tanpa dia, hilang bersama dia.
Seperi kuraih dia mendekati, mataku mencari,
hatiku mencari, karena dia tak lagi bersamaku kini.
Malam lain yang sama, yang memucatkan pepohonan yang sama,
kita, kita entah siapa, kita yang sama tak lagi ada.
Aku tak lagi mencinta dia, sungguh, tapi sungguh kucinta,
Suaraku mencari angin agar tersentuh dengar telinganya.
Seseorang asing. Dia akan jadi asing. Dia yang
sekali waktu pernah mengecap kecupan-kecupanku.
Suaranya, tubuh terapungnya. Tak berbatas matanya.
Aku tak lagi mencintainya, sungguh tapi mungkin aku cinta.
Cinta begitu sementara dan lupa sungguh panjang usia.
Karena di malam seperti ini kurengkuh dia di lenganku,
jiwaku hilang tanpa dia.
Meski ini mungkin sakit terakhir yang disebabkannya,
dan ini mungkin sajak terakhir yang kutulis untuknya.
Malam habis, inilah sajak paling duka yang bisa kutulis.
Maka kutulis saja: "Langit ditaburi bintang-bintang,
dan bintang-bintang, biru, bergetaran di jarak kejauhan.
Dan angin malam berpusaran melagukan nyanyi.
Malam habis, inilah sajak paling duka yang bisa kutulis.
Aku cinta padanya, dan sesekali dia pun cinta padaku.
Di malam seperti ini, kurengkuh dia di lenganku,
kukecup kuulang tak terbilang, di bawah langit lapang.
Dia mencintai aku, sesekali aku pun cinta pada dia.
Tidakkah cukup alasan untuk mencintanya? Secintanya?
Malam habis, inilah sajak paling duka yang bisa kutulis.
Dalam pikir dia tak tergapai, dalam rasa dia tak terpunya.
Menyimak malam yang berat, lebih berat karena tak ada dia.
Dan sajak meluruhi jiwa, seperi embun jatuh di daun rumput.
Sia-sia kutanya mengapa cinta tak mampu menjaganya.
Langit ditaburi bintang, dan dia tak bersamaku lagi.
Itulah segalanya. Jauh. Di entah jarak, seseorang menyanyi.
Jiwaku hilang tanpa dia, hilang bersama dia.
Seperi kuraih dia mendekati, mataku mencari,
hatiku mencari, karena dia tak lagi bersamaku kini.
Malam lain yang sama, yang memucatkan pepohonan yang sama,
kita, kita entah siapa, kita yang sama tak lagi ada.
Aku tak lagi mencinta dia, sungguh, tapi sungguh kucinta,
Suaraku mencari angin agar tersentuh dengar telinganya.
Seseorang asing. Dia akan jadi asing. Dia yang
sekali waktu pernah mengecap kecupan-kecupanku.
Suaranya, tubuh terapungnya. Tak berbatas matanya.
Aku tak lagi mencintainya, sungguh tapi mungkin aku cinta.
Cinta begitu sementara dan lupa sungguh panjang usia.
Karena di malam seperti ini kurengkuh dia di lenganku,
jiwaku hilang tanpa dia.
Meski ini mungkin sakit terakhir yang disebabkannya,
dan ini mungkin sajak terakhir yang kutulis untuknya.
arsitektur reruntuhan
kolaborasi puisi: Hasan Aspahani & Nanang Suryadi
seorang perakit bom, adalah dia
yang cemburu pada arsitektur hotel
maukah kau kuajak berburu foto
di ruang ruang reruntuhan itu?
ada yang meledak dalam dadaku
mungkin bom waktu yang kusimpan
telah sampai tiktaknya pada detik nadir
hingga puing puisi berserak menyerpih
menjadi abu
menjadi debu
siapa menjalin kabel di dalam dadaku,
siapa yang menghasut jam mendetakkan
waktu mengakhiri tiktok dengan gelegar itu?
di jalinan kabel dan amis amunisi
dalam dada hilang nyeri yang tak
henti menusuki hati jantung,
di dunia kehilangan nurani
kehilangan cinta
sejati diri
nyeri diri
o puing fotografi o jalinan kabel dan amunisi
o jam yang tak berdetak lagi o ledakan yang
menuntasi sunyi bunyi 0...
6 Agt 2003
seorang perakit bom, adalah dia
yang cemburu pada arsitektur hotel
maukah kau kuajak berburu foto
di ruang ruang reruntuhan itu?
ada yang meledak dalam dadaku
mungkin bom waktu yang kusimpan
telah sampai tiktaknya pada detik nadir
hingga puing puisi berserak menyerpih
menjadi abu
menjadi debu
siapa menjalin kabel di dalam dadaku,
siapa yang menghasut jam mendetakkan
waktu mengakhiri tiktok dengan gelegar itu?
di jalinan kabel dan amis amunisi
dalam dada hilang nyeri yang tak
henti menusuki hati jantung,
di dunia kehilangan nurani
kehilangan cinta
sejati diri
nyeri diri
o puing fotografi o jalinan kabel dan amunisi
o jam yang tak berdetak lagi o ledakan yang
menuntasi sunyi bunyi 0...
6 Agt 2003
Sunday, August 3, 2003
SAJAK
(dari Poetry oleh Pablo Neruda)
Dan tepat pada masanya... Sajak tiba
mencari aku jua. Aku tak tahu, tak pernah tahu
dari mana datangnya, musim salju atau sungai beku.
Aku pun tak tahu bagaimana dan bilamana,
tidak, karena sajak-sajak bukan suara, sajak-sajak
bukan kosa kata, juga bukan kesenyapan,
tapi dari jalanan, ada dia yang memanggilku,
dari rentang cabang-cabang malam,
dari seluruh arah, serentak, sekali sentak
di tengah kobar api kebengisan
atau saat kembali sendiri,
disana, aku ada tanpa raut muka,
lalu kurasa ada sentuhnya.
Aku tak tahu lagi apa hendak dikata, lidahku
tak tersebut, terkunci
oleh nama-nama
mataku pun telah membuta,
dan sesuatu telah dimulai dalam jiwa,
seperti geram demam atau kepak sayap terlupa,
dan kutemu jalan sendiri, cara sendiri
mengurai api
dari kobarnya.
dan kutulis baris pertama bangkit dari koma,
mati suri, tanpa substansi, murni,
nonsens,
kebijakan suci,
dari seseorang yang tak tahu apa-apa,
dan serentak kulihat
firdaus surga
menganga gerbangnya
membuka pintunya,
planet-planet
gemetar, rata menghampar
bayang-bayang tak genap gelap
koyak berkubang lubang
tikam panah, jilat api dan bunga-bunga,
bising malam, dan semesta alam raya.
Dan aku, ah betapa tak berartinya
meneguk kosong yang maha
kosong
menyerupa, imaji
dari misteri,
Akulah gelap yang menyempurnakan
kedalaman jurang
Aku memandu arah bintang-bintang,
di langit terbentang, hatiku mematah kekang.
Dan tepat pada masanya... Sajak tiba
mencari aku jua. Aku tak tahu, tak pernah tahu
dari mana datangnya, musim salju atau sungai beku.
Aku pun tak tahu bagaimana dan bilamana,
tidak, karena sajak-sajak bukan suara, sajak-sajak
bukan kosa kata, juga bukan kesenyapan,
tapi dari jalanan, ada dia yang memanggilku,
dari rentang cabang-cabang malam,
dari seluruh arah, serentak, sekali sentak
di tengah kobar api kebengisan
atau saat kembali sendiri,
disana, aku ada tanpa raut muka,
lalu kurasa ada sentuhnya.
Aku tak tahu lagi apa hendak dikata, lidahku
tak tersebut, terkunci
oleh nama-nama
mataku pun telah membuta,
dan sesuatu telah dimulai dalam jiwa,
seperti geram demam atau kepak sayap terlupa,
dan kutemu jalan sendiri, cara sendiri
mengurai api
dari kobarnya.
dan kutulis baris pertama bangkit dari koma,
mati suri, tanpa substansi, murni,
nonsens,
kebijakan suci,
dari seseorang yang tak tahu apa-apa,
dan serentak kulihat
firdaus surga
menganga gerbangnya
membuka pintunya,
planet-planet
gemetar, rata menghampar
bayang-bayang tak genap gelap
koyak berkubang lubang
tikam panah, jilat api dan bunga-bunga,
bising malam, dan semesta alam raya.
Dan aku, ah betapa tak berartinya
meneguk kosong yang maha
kosong
menyerupa, imaji
dari misteri,
Akulah gelap yang menyempurnakan
kedalaman jurang
Aku memandu arah bintang-bintang,
di langit terbentang, hatiku mematah kekang.
Friday, August 1, 2003
Tuhan Memulai Permainan
re: atas sajak fati soewandi KURASA CINTA
di surga, waktu memang sudah disiapkan jadi
jeruji abadi: penjara bagi Adam dan Hawa.
tak ada cinta kecuali kisah yang hendak
dimulakan: Tuhan memulai permainan...
di dunia, waktu menjadi fana - tak pernah
tahu hendak jadi apa: ia tumbuhkan cinta,
lalu merecup cabang-cabangnya, lalu jatuh
daun-daunnya, semua terjadi begitu saja
cinta tidak pernah memperdaya, karena
Tuhan hanya membenihkannya sedikit saja
ke hati kita, seperti diajarkan waktu
kepada alam, kita, kepada Adam & Hawa
di surga, waktu memang sudah disiapkan jadi
jeruji abadi: penjara bagi Adam dan Hawa.
tak ada cinta kecuali kisah yang hendak
dimulakan: Tuhan memulai permainan...
di dunia, waktu menjadi fana - tak pernah
tahu hendak jadi apa: ia tumbuhkan cinta,
lalu merecup cabang-cabangnya, lalu jatuh
daun-daunnya, semua terjadi begitu saja
cinta tidak pernah memperdaya, karena
Tuhan hanya membenihkannya sedikit saja
ke hati kita, seperti diajarkan waktu
kepada alam, kita, kepada Adam & Hawa
Subscribe to:
Posts (Atom)