TERASALAH pada waktu itu dibutuhkan, bukan sadja satu kumpulan, tapi djuga satu angkatan. Angkatan ini tidak sadja harus ada, tapi djuga harus mempunjai pandangan hidup, suatu tudjuan takdir.Kalimat di atas saya petik dari pengantar Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani pada buku Tiga Menguak Takdir, buku yang terbit pada tahun 1950. Tahun itu, Chairil sudah meninggal. Buku tersebut sudah dipersiapkan satu setengah tahun sebelum terbit.
Ada buku sebagai penanda sebuah kelompok orang dengan satu gagasan. Ada sebuah komunitas atau kumpulan kesenian (kunstkring), bernama Gelanggang. Ada seniman yang menjadi penggerak kumpulan tersebut. Tapi itu saja tidak cukup, kata - saya curiga pendahuluan di buku itu ditulis oleh - Asrul Sani. Mereka membayangkan sebuah angkatan! Yang sadar apa pandangan hidup (dan tentu filosofi estetika keseniannya), dan satu tujuan takdir.
Kita tak perlu membayangkan lagi sebuah angkatan. Berkaryalah sendiri saja, bangun jejaring pertemanan dengan sesama pekarya yang memungkinkan kita menjaga semangat dan tenaga kita berkesenian, dan perhebat selalu daya cipta kita sendiri. Dunia, dengan begitu, akan menandai apa pandangan hidup kita, dan kita akan sampai pada tujuan takdir karya-karya dan hidup kita.