SAYA masih hafal refrain lagu itu: Balikpapan, Balikpapan, kubangun, kujaga, kubela. Balikpapan, Balikpapan, terima kasih Tuhan tercinta Itu refrain lagu "Himne Balikpapan". Saya ingat, karena saya sering mendengar lagu yang menyentuh hati itu dulu dalam acara-acara resmi di Kota Balikpapan. Pada tahun-tahun itu, saya masih reporter sebuah koran lokal dan sedang sangat bersemangat memulai karir di dunia idaman saya: jurnalistik.
Pasti ada sesuatu pada lagu itu, dan pada kota Balikpapan itu, sehingga sesudah lebih dari sepuluh tahun kemudian, saya masih bisa mengingat lagu itu, seperti masih terdengar paduan suara dengan hikmat menyanyikannya. Oh ya, lagu itu diciptakan oleh Acil Bimbo. Saya tak tahu adakah kota lain juga mempunya lagu himne seindah milik kota Balikpapan itu, dan apakah Acil Bimbo atau personel Bimbo lainnya juga pernah menciptakan lagu untuk kota lain.
Sesuatu itu mungkin itu perlakuan amat simpatik Tjutjup Suparna, perwira angkatan laut yang saat itu menjadi walikota. Saya ingat, sebagai wartawan baru pada suatu hari saya hanya menunggu dari jauh, sebelum satu acara resmi dimulai di sebuah hotel. Pak Tjutjup sedang meriung bersama petinggi-petinggi kota. Saya melihat ada beberapa kepala dinas dan pemimpin lembaga daerah yang diam-diam mulai saya ingat nama dan wajahnya. Saya kaget ketika Pak Tjutjup melambaikan isyarat agar saya menekat, dan dia memanggil saya. Kemudian saya diperkenalkan satu per satu kepada pejabat-pejabat tersebut. “Ini wartawan baru kita…,” katanya, lantas dia memuji-muji saya, di depan para pejabat tersebut. Pujian yang saya rasa waktu itu sedikit berlebihan, dan saya susah payah menahan hati agar tak jadi besar kepala.
Orang besar, kata seorang bijak, bukanlah orang yang ketika berada di sekitar orang lain, membuat orang lain merasa kecil, tetapi ia justru membuat orang lain merasa besar. Saya melihat itu pada diri Tjutjup Suparna pada saat itu. Saya, orang kecil ini, saat itu merasa menjadi besar hati, hanya dengan sebuah perlakuan kecil.
Tjutjup adalah walikota yang sigap. Tiap subuh sehabis salat, pria bersosok tegap layaknya seorang militer, berkeliling kota dengan motor besar putihnya. Ia tahu di mana sampah tak diangkut, di mana jalan tak tersapu, di mana pasar yang kotor. Maka, saat coffee morning dengan para kepala dinas, sebuah kegiatan rutinnya, jangan coba berbohong.
Soal sampah adalah prioritas penting bagi Tjutjup. Maka tak heran kala itu Balikpapan telah lima kali berturut-turut meraih Anugerah Adipura sebagai kota sedang terbersih, bahkan dua kali meraih Adipura Kencana. Singgahlah ke Balikpapan, dan akuilah bahwa ini kota memang bersih. Tapi, kami kala itu sebagai warga kota Balikpapan tak perlu pengakuan orang luar atau juri Anugerah Adipura. Kami sendiri merasakan bahwa kota kami itu memang bersih, itu membuat kami nyaman dan bangga, dan itulah kota yang kami bangun, kami jaga dan kami bela.
Saya ingat, saat saya menjadi reporter dan dapat pos liputan di Kantor Walikota, maka saat itu Kepala Dinas Kebersihannya adalah orang yang direkrut dari kalangan militer juga. Jika ada kegiatan besar, misalnya hari ulang tahun kota, maka sejumlah ruas jalan ditutup. Tak ada kendaraan yang boleh lewat. Di sejumlah titik di sepanjang ruas jalan itu didirikan panggung menampilkan hiburan gratis untuk warga kota. Yang ingin saya ceritakan adalah, begitu lekasnya nanti petugas kebersihan bekerja. Sebelum pukul 03.00 semua jalan itu sudah kembali bersih! Saya pernah membuktikannya, untuk satu laporan saya waktu itu.
Pemko Balikpapan kala itu juga punya satu kendaraan penyapu otomatis. Itu dibeli di Jerman, beberapa unit dan dioperasikan di sejumlah jalan utama kota. Di sana, penyapu jalan bekerja di waktu subuh. Sebelum pagi, semua jalan kota sudah kinclong tanpa sampah.
*
Ah, tapi apakah saya mengingat Kota Balikpapan dan himnenya hanya karena sampah? Ada yang lain. Itu mungkin konsep pembangunan kotanya. "Masterplan itu dokumen publik," kata Sekdako Balikpapan kala itu Imdaad (ya, benar dengan dua huruf a) Hamid. Beliau kelak juga menjadi Walikota Balikpapan berturut-turut dua periode menggantikan Pak Tjutjup.
Maka di kantor Walikota Balikpapan, terbentanglah peta besar rencana induk pengembangan kota. Di peta itu jelas tertera di mana kawasan hijau, pemukiman, rencana jalan lingkar, kawasan industri, daerah wisata. “Ini penting diketahui publik, supaya tak ada spekulan yang membuat lahan kita kelak bermasalah,” kata Imdaad.
Untuk kepentingan liputan kala itu saya beberapa kali mewawancarai Imdaad. Beliau, orang berperawakan kecil, berkacamata, dengan cara bicara khas orang Banjar, menjelaskan konsep pembangunan kota kepada saya seorang, sama bersemangatnya seperti ketika beliau presentasi di depan rapat paripurna DPRD.
Kita mungkin bisa melupakan apa yang dikatakan orang lain pada kita, tapi kita tak pernah melupakan bagaimana orang lain memperlakukan kita, kata orang bijak. Betapa bijak dan benarnya kalimat itu. Saya tak bisa melupakan perlakuan seorang Sekdako Balikpapan kala itu, saat dia melayani wawancara saya.
Saya ingat, waktu itu, Pak Imdaad dengan dinas terkait sedang punya sebuah proyek penting: relokasi pengusaha tempe! Ini proyek sederhana, tapi tepat guna, bermanfaat dan sama sekali tidak mengawang-awang.
Ada banyak dimensi dalam proyek itu. Ada kepentingan lingkungan, karena sejumlah pabrik tempe ternyata ada di tengah pemukiman penduduk dan itu menyebabkan kesulitan mengendalikan pencemaran. Ada keberpihakan pada industri dan pengusaha kecil, karena dalam rencana relokasi itu, Pemko Balikpapan mencadangkan satu kawasan industri khusus untuk pengusaha tempe. Seingat saya, proyek ini amat berhasil.
*
Saya mengingat himne itu, mungkin juga karena satu hal lain: lalu lintas di Balikpapan yang tertib. Ukurannya bagi saya bukan lagi Anugerah Wahana Tata Nugraha. Ini adalah penghargaan Republik kepada kota yang menata transportasi umum dengan baik. Kabar terakhir saya dengar tahun 2011 ini, April lalu (ini penghargaan memang diberikan setiap bulan ke-4 tiap tahun), Balikpapan kembali mendapat penghargaan tersebut untuk yang ke-16 kali. 16 kali? Itu artinya sejak saya reporter dulu, lalu saya tinggalkan kota itu, sampai hari ini, tak sekalipun Balikpapan tak mendapatkan penghargaan itu?
Karena hidup dengan kota yang sedemikian nyaman seperti Balikpapan, lalu pada banyak kesempatan mendengar sebuah himne yang tak sekadar berisi lirik yang kosong, izinkan saya untuk bangga meski hanya ketika saya sekadar mengenang bahwa saya pernah tinggal di sana. Kota yang dulu saya merasa ikut membangun (meski dengan peran kecil sebagai seorang reporter baru), saya ikut menjaganya, dan membelanya. Di kota yang senyaman itu, ah Acil Bimbo entah dapat mendapat ide dari mana: orang jadi religius karena merasa dicintai dan mencintai Tuhan. []