Pablo Neruda dan Matilde Urrutia
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Tuesday, September 27, 2011
Soneta ke-4
Sajak Pablo Neruda
Kau kan kenang riang arus pada sungai kecil
dengan manis uap mawar, dan gemetar tangkai
dan sesekali, pada air perlahan, ada burung
mencelupkan, bulu-bulu musim dinginnya.
Kau kan kenang apa yang dihadiahkan bumi ini
Wewangian yang tak terpupus, tanah butir emas,
Gulma yang menyemak dan akar yang menggila,
juga hunus bagai pedang, duri-duri sihir.
Kau kan kenang rangkai bunga yang kau petik
dengan bayang-bayang dan air yang menyenyap,
rangkai bunga bagai batu berbungkus buih
Waktu itu bagai tak pernah, dan seperti selalu
Maka ke sanalah kita, ke tiada yang menunggu
dan kita temukan segalanya, menunggu di sana.
Kau kan kenang riang arus pada sungai kecil
dengan manis uap mawar, dan gemetar tangkai
dan sesekali, pada air perlahan, ada burung
mencelupkan, bulu-bulu musim dinginnya.
Kau kan kenang apa yang dihadiahkan bumi ini
Wewangian yang tak terpupus, tanah butir emas,
Gulma yang menyemak dan akar yang menggila,
juga hunus bagai pedang, duri-duri sihir.
Kau kan kenang rangkai bunga yang kau petik
dengan bayang-bayang dan air yang menyenyap,
rangkai bunga bagai batu berbungkus buih
Waktu itu bagai tak pernah, dan seperti selalu
Maka ke sanalah kita, ke tiada yang menunggu
dan kita temukan segalanya, menunggu di sana.
Soneto IV
Recordarás aquella quebrada caprichosa
a donde los aromas palpitantes treparon,
de cuando en cuando un pájaro vestido
con agua y lentitud: traje de invierno.
Recordarás los dones de la tierra:
irascible fragancia, barro de oro,
hierbas del matorral, locas raíces,
sortílegas espinas como espadas.
Recordarás el ramo que trajiste,
ramo de sombra y agua con silencio,
ramo como una piedra con espuma.
Y aquella vez fue como nunca y siempre:
vamos allí donde no espera nada
y hallamos todo lo que está esperando.
Sonnet IV
You will remember that leaping stream
where sweet aromas rose and trembled,
and sometimes a bird, wearing water
ans slowness, its winter feathers.
You will remember those gift from earth:
indelible scents, gold clay,
weeds in the thicket and crazy roots,
magical thorns like swords.
You'll remember the bouquet you picked,
shadow and silet water,
bouquet like a foam-covered stone.
That time was like never, and like always.
So we go there, where nothing is waiting;
we find everything waiting there.
Monday, September 26, 2011
[Ruang Renung #254 ] Sebuah Buku, Sebuah Cita-cita
TERASALAH pada waktu itu dibutuhkan, bukan sadja satu kumpulan, tapi djuga satu angkatan. Angkatan ini tidak sadja harus ada, tapi djuga harus mempunjai pandangan hidup, suatu tudjuan takdir.Kalimat di atas saya petik dari pengantar Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani pada buku Tiga Menguak Takdir, buku yang terbit pada tahun 1950. Tahun itu, Chairil sudah meninggal. Buku tersebut sudah dipersiapkan satu setengah tahun sebelum terbit.
Ada buku sebagai penanda sebuah kelompok orang dengan satu gagasan. Ada sebuah komunitas atau kumpulan kesenian (kunstkring), bernama Gelanggang. Ada seniman yang menjadi penggerak kumpulan tersebut. Tapi itu saja tidak cukup, kata - saya curiga pendahuluan di buku itu ditulis oleh - Asrul Sani. Mereka membayangkan sebuah angkatan! Yang sadar apa pandangan hidup (dan tentu filosofi estetika keseniannya), dan satu tujuan takdir.
Kita tak perlu membayangkan lagi sebuah angkatan. Berkaryalah sendiri saja, bangun jejaring pertemanan dengan sesama pekarya yang memungkinkan kita menjaga semangat dan tenaga kita berkesenian, dan perhebat selalu daya cipta kita sendiri. Dunia, dengan begitu, akan menandai apa pandangan hidup kita, dan kita akan sampai pada tujuan takdir karya-karya dan hidup kita.
Sebelum Pagi pada Sebuah Juli
: dari sebuah foto digital berpiksel kecil
JULI pesisir, bulan kurus tinggal sesisir
cahaya dari langit yang masih saja mentah
menggerimis pada meja, pada gelas kopi
mengacaukan baris warna-warni pelangi
dia yang ke hatiku mengusikkan musik
dengan selantun bisik, lirik-lirik akustik
Where are you going? Looking for answers?
Di dasar gelas itu, aku meringkuk
Dengan kabut padat di mata,
nyaris jadi tangis yang ingin sekali
menyaingi gerimis cahaya tadi
"Ini lagu terakhirku," katanya, dan matanya
menumbuk pada mataku, seperti ada
yang ingin dia tahu (kemana kau pulang?)
dan ingin kuberi tahu (aku tak mau tahu!)
Juli yang nyaris pagi, aku yang hampir terusir
pergi sendiri begitu saja dari diri sendiri
Aku kira, penjaga kafe itu, mengira aku mati
Ia yang menambahkan kopi entah berapa kali
Where are you going? Looking for answers?
JULI pesisir, bulan kurus tinggal sesisir
cahaya dari langit yang masih saja mentah
menggerimis pada meja, pada gelas kopi
mengacaukan baris warna-warni pelangi
dia yang ke hatiku mengusikkan musik
dengan selantun bisik, lirik-lirik akustik
Where are you going? Looking for answers?
Di dasar gelas itu, aku meringkuk
Dengan kabut padat di mata,
nyaris jadi tangis yang ingin sekali
menyaingi gerimis cahaya tadi
"Ini lagu terakhirku," katanya, dan matanya
menumbuk pada mataku, seperti ada
yang ingin dia tahu (kemana kau pulang?)
dan ingin kuberi tahu (aku tak mau tahu!)
Juli yang nyaris pagi, aku yang hampir terusir
pergi sendiri begitu saja dari diri sendiri
Aku kira, penjaga kafe itu, mengira aku mati
Ia yang menambahkan kopi entah berapa kali
Where are you going? Looking for answers?
Saturday, September 24, 2011
[100 Soneta Cinta] Soneta ke-44
Sajak Pablo Neruda
Ketahulilah, padamu aku cinta, dan aku tak cinta,
sebab segala yang hidup senantiasa bersisi dua,
seucap kata adalah sebelah sayap kebisuan,
dan pada api, setengahnya adalah kesejukan.
Karena mesti kumulai cinta, maka aku cinta kau
memulai lagi apa yang jadi tak berhingga
dan tak akan pernah berhenti kucintai kau:
itu sebab mengapa cinta dulu belum lagi cinta
Aku cinta kau, dan aku tak cinta, bagai kugenggam
anak-anak kunci: membuka pintu kegirangan nanti,
dari takdir malang, takdir yang centang-perenang
Dua napas cintaku, sebab harus kucintai engkau:
itu sebabnya aku mencintaimu, saat aku tak cinta,
dan aku mencintaimu, juga saat aku mencintai.
Ketahulilah, padamu aku cinta, dan aku tak cinta,
sebab segala yang hidup senantiasa bersisi dua,
seucap kata adalah sebelah sayap kebisuan,
dan pada api, setengahnya adalah kesejukan.
Karena mesti kumulai cinta, maka aku cinta kau
memulai lagi apa yang jadi tak berhingga
dan tak akan pernah berhenti kucintai kau:
itu sebab mengapa cinta dulu belum lagi cinta
Aku cinta kau, dan aku tak cinta, bagai kugenggam
anak-anak kunci: membuka pintu kegirangan nanti,
dari takdir malang, takdir yang centang-perenang
Dua napas cintaku, sebab harus kucintai engkau:
itu sebabnya aku mencintaimu, saat aku tak cinta,
dan aku mencintaimu, juga saat aku mencintai.
[100 Soneta Cinta] Soneta ke-5
Sajak Pablo Neruda
AKU tak menggenggam malammu, udaramu, dan fajarmu,
hanya Bumi, keniscayaan tandan-tandan buah itu,
bagai segar apel karena menyerap air yang manis,
lempung dan damar dari ladang harum, ladang manismu.
Dari Wuinchamali dari mana matamu memulai pandang
hingga Frontera di mana kakimu melangkah untukku,
engkaulah hitam tanah subur yang aku sangat tahu:
memegang pinggangmu, bagai kusentuh tangkai gandum lagi.
O, Perempuan dari Arauco, mungkin kau tak tahu
betapa lupa aku pada kecupanmu sebelum mencintaimu,
Tapi hatiku terus mengenang mulutmu, aku pun terus
dan terus menempuhi jalan sebagai lelaki terluka,
hingga aku memahami, Cinta: Aku sudah temukan
tempatku, bentang daratan kecupan dan gunung berapi.
AKU tak menggenggam malammu, udaramu, dan fajarmu,
hanya Bumi, keniscayaan tandan-tandan buah itu,
bagai segar apel karena menyerap air yang manis,
lempung dan damar dari ladang harum, ladang manismu.
Dari Wuinchamali dari mana matamu memulai pandang
hingga Frontera di mana kakimu melangkah untukku,
engkaulah hitam tanah subur yang aku sangat tahu:
memegang pinggangmu, bagai kusentuh tangkai gandum lagi.
O, Perempuan dari Arauco, mungkin kau tak tahu
betapa lupa aku pada kecupanmu sebelum mencintaimu,
Tapi hatiku terus mengenang mulutmu, aku pun terus
dan terus menempuhi jalan sebagai lelaki terluka,
hingga aku memahami, Cinta: Aku sudah temukan
tempatku, bentang daratan kecupan dan gunung berapi.
[100 Soneta Cinta] Soneta ke-3
Sajak Pablo Neruda
CINTA yang pahit, sebumban duri violeta
dari belukar gairah yang meluka-mencidera
lembing dukacita, mahkota marah-murka
dari mana datang jalanmu, memandu ke jiwaku?
Apa yang memperlekas nyala api kepiluan,
yang masuk menyulut hijau daun kehidupanku?
Siapa tunjukkan jalan untukmu? Bunga, batu,
dan kabut apa yang mengabarkan di mana aku?
Karena bumi terguncang, di malam mencekam itu,
lalu fajar yang menuang anggur ke segala gelas,
dan datanglah Matahari, membawa terang surgawi.
Dan di dalam diri, ganas cinta membantai aku
hingga tajam duri dan pedangnya menembus aku,
menyayat jalan tersirau api, melintas hatiku.
CINTA yang pahit, sebumban duri violeta
dari belukar gairah yang meluka-mencidera
lembing dukacita, mahkota marah-murka
dari mana datang jalanmu, memandu ke jiwaku?
Apa yang memperlekas nyala api kepiluan,
yang masuk menyulut hijau daun kehidupanku?
Siapa tunjukkan jalan untukmu? Bunga, batu,
dan kabut apa yang mengabarkan di mana aku?
Karena bumi terguncang, di malam mencekam itu,
lalu fajar yang menuang anggur ke segala gelas,
dan datanglah Matahari, membawa terang surgawi.
Dan di dalam diri, ganas cinta membantai aku
hingga tajam duri dan pedangnya menembus aku,
menyayat jalan tersirau api, melintas hatiku.
Wednesday, September 21, 2011
[kolom] Kubangun, Kujaga, Kubela
SAYA masih hafal refrain lagu itu: Balikpapan, Balikpapan, kubangun, kujaga, kubela. Balikpapan, Balikpapan, terima kasih Tuhan tercinta Itu refrain lagu "Himne Balikpapan". Saya ingat, karena saya sering mendengar lagu yang menyentuh hati itu dulu dalam acara-acara resmi di Kota Balikpapan. Pada tahun-tahun itu, saya masih reporter sebuah koran lokal dan sedang sangat bersemangat memulai karir di dunia idaman saya: jurnalistik.
Pasti ada sesuatu pada lagu itu, dan pada kota Balikpapan itu, sehingga sesudah lebih dari sepuluh tahun kemudian, saya masih bisa mengingat lagu itu, seperti masih terdengar paduan suara dengan hikmat menyanyikannya. Oh ya, lagu itu diciptakan oleh Acil Bimbo. Saya tak tahu adakah kota lain juga mempunya lagu himne seindah milik kota Balikpapan itu, dan apakah Acil Bimbo atau personel Bimbo lainnya juga pernah menciptakan lagu untuk kota lain.
Sesuatu itu mungkin itu perlakuan amat simpatik Tjutjup Suparna, perwira angkatan laut yang saat itu menjadi walikota. Saya ingat, sebagai wartawan baru pada suatu hari saya hanya menunggu dari jauh, sebelum satu acara resmi dimulai di sebuah hotel. Pak Tjutjup sedang meriung bersama petinggi-petinggi kota. Saya melihat ada beberapa kepala dinas dan pemimpin lembaga daerah yang diam-diam mulai saya ingat nama dan wajahnya. Saya kaget ketika Pak Tjutjup melambaikan isyarat agar saya menekat, dan dia memanggil saya. Kemudian saya diperkenalkan satu per satu kepada pejabat-pejabat tersebut. “Ini wartawan baru kita…,” katanya, lantas dia memuji-muji saya, di depan para pejabat tersebut. Pujian yang saya rasa waktu itu sedikit berlebihan, dan saya susah payah menahan hati agar tak jadi besar kepala.
Orang besar, kata seorang bijak, bukanlah orang yang ketika berada di sekitar orang lain, membuat orang lain merasa kecil, tetapi ia justru membuat orang lain merasa besar. Saya melihat itu pada diri Tjutjup Suparna pada saat itu. Saya, orang kecil ini, saat itu merasa menjadi besar hati, hanya dengan sebuah perlakuan kecil.
Tjutjup adalah walikota yang sigap. Tiap subuh sehabis salat, pria bersosok tegap layaknya seorang militer, berkeliling kota dengan motor besar putihnya. Ia tahu di mana sampah tak diangkut, di mana jalan tak tersapu, di mana pasar yang kotor. Maka, saat coffee morning dengan para kepala dinas, sebuah kegiatan rutinnya, jangan coba berbohong.
Soal sampah adalah prioritas penting bagi Tjutjup. Maka tak heran kala itu Balikpapan telah lima kali berturut-turut meraih Anugerah Adipura sebagai kota sedang terbersih, bahkan dua kali meraih Adipura Kencana. Singgahlah ke Balikpapan, dan akuilah bahwa ini kota memang bersih. Tapi, kami kala itu sebagai warga kota Balikpapan tak perlu pengakuan orang luar atau juri Anugerah Adipura. Kami sendiri merasakan bahwa kota kami itu memang bersih, itu membuat kami nyaman dan bangga, dan itulah kota yang kami bangun, kami jaga dan kami bela.
Saya ingat, saat saya menjadi reporter dan dapat pos liputan di Kantor Walikota, maka saat itu Kepala Dinas Kebersihannya adalah orang yang direkrut dari kalangan militer juga. Jika ada kegiatan besar, misalnya hari ulang tahun kota, maka sejumlah ruas jalan ditutup. Tak ada kendaraan yang boleh lewat. Di sejumlah titik di sepanjang ruas jalan itu didirikan panggung menampilkan hiburan gratis untuk warga kota. Yang ingin saya ceritakan adalah, begitu lekasnya nanti petugas kebersihan bekerja. Sebelum pukul 03.00 semua jalan itu sudah kembali bersih! Saya pernah membuktikannya, untuk satu laporan saya waktu itu.
Pemko Balikpapan kala itu juga punya satu kendaraan penyapu otomatis. Itu dibeli di Jerman, beberapa unit dan dioperasikan di sejumlah jalan utama kota. Di sana, penyapu jalan bekerja di waktu subuh. Sebelum pagi, semua jalan kota sudah kinclong tanpa sampah.
*
Ah, tapi apakah saya mengingat Kota Balikpapan dan himnenya hanya karena sampah? Ada yang lain. Itu mungkin konsep pembangunan kotanya. "Masterplan itu dokumen publik," kata Sekdako Balikpapan kala itu Imdaad (ya, benar dengan dua huruf a) Hamid. Beliau kelak juga menjadi Walikota Balikpapan berturut-turut dua periode menggantikan Pak Tjutjup.
Maka di kantor Walikota Balikpapan, terbentanglah peta besar rencana induk pengembangan kota. Di peta itu jelas tertera di mana kawasan hijau, pemukiman, rencana jalan lingkar, kawasan industri, daerah wisata. “Ini penting diketahui publik, supaya tak ada spekulan yang membuat lahan kita kelak bermasalah,” kata Imdaad.
Untuk kepentingan liputan kala itu saya beberapa kali mewawancarai Imdaad. Beliau, orang berperawakan kecil, berkacamata, dengan cara bicara khas orang Banjar, menjelaskan konsep pembangunan kota kepada saya seorang, sama bersemangatnya seperti ketika beliau presentasi di depan rapat paripurna DPRD.
Kita mungkin bisa melupakan apa yang dikatakan orang lain pada kita, tapi kita tak pernah melupakan bagaimana orang lain memperlakukan kita, kata orang bijak. Betapa bijak dan benarnya kalimat itu. Saya tak bisa melupakan perlakuan seorang Sekdako Balikpapan kala itu, saat dia melayani wawancara saya.
Saya ingat, waktu itu, Pak Imdaad dengan dinas terkait sedang punya sebuah proyek penting: relokasi pengusaha tempe! Ini proyek sederhana, tapi tepat guna, bermanfaat dan sama sekali tidak mengawang-awang.
Ada banyak dimensi dalam proyek itu. Ada kepentingan lingkungan, karena sejumlah pabrik tempe ternyata ada di tengah pemukiman penduduk dan itu menyebabkan kesulitan mengendalikan pencemaran. Ada keberpihakan pada industri dan pengusaha kecil, karena dalam rencana relokasi itu, Pemko Balikpapan mencadangkan satu kawasan industri khusus untuk pengusaha tempe. Seingat saya, proyek ini amat berhasil.
*
Saya mengingat himne itu, mungkin juga karena satu hal lain: lalu lintas di Balikpapan yang tertib. Ukurannya bagi saya bukan lagi Anugerah Wahana Tata Nugraha. Ini adalah penghargaan Republik kepada kota yang menata transportasi umum dengan baik. Kabar terakhir saya dengar tahun 2011 ini, April lalu (ini penghargaan memang diberikan setiap bulan ke-4 tiap tahun), Balikpapan kembali mendapat penghargaan tersebut untuk yang ke-16 kali. 16 kali? Itu artinya sejak saya reporter dulu, lalu saya tinggalkan kota itu, sampai hari ini, tak sekalipun Balikpapan tak mendapatkan penghargaan itu?
Karena hidup dengan kota yang sedemikian nyaman seperti Balikpapan, lalu pada banyak kesempatan mendengar sebuah himne yang tak sekadar berisi lirik yang kosong, izinkan saya untuk bangga meski hanya ketika saya sekadar mengenang bahwa saya pernah tinggal di sana. Kota yang dulu saya merasa ikut membangun (meski dengan peran kecil sebagai seorang reporter baru), saya ikut menjaganya, dan membelanya. Di kota yang senyaman itu, ah Acil Bimbo entah dapat mendapat ide dari mana: orang jadi religius karena merasa dicintai dan mencintai Tuhan. []
Pasti ada sesuatu pada lagu itu, dan pada kota Balikpapan itu, sehingga sesudah lebih dari sepuluh tahun kemudian, saya masih bisa mengingat lagu itu, seperti masih terdengar paduan suara dengan hikmat menyanyikannya. Oh ya, lagu itu diciptakan oleh Acil Bimbo. Saya tak tahu adakah kota lain juga mempunya lagu himne seindah milik kota Balikpapan itu, dan apakah Acil Bimbo atau personel Bimbo lainnya juga pernah menciptakan lagu untuk kota lain.
Sesuatu itu mungkin itu perlakuan amat simpatik Tjutjup Suparna, perwira angkatan laut yang saat itu menjadi walikota. Saya ingat, sebagai wartawan baru pada suatu hari saya hanya menunggu dari jauh, sebelum satu acara resmi dimulai di sebuah hotel. Pak Tjutjup sedang meriung bersama petinggi-petinggi kota. Saya melihat ada beberapa kepala dinas dan pemimpin lembaga daerah yang diam-diam mulai saya ingat nama dan wajahnya. Saya kaget ketika Pak Tjutjup melambaikan isyarat agar saya menekat, dan dia memanggil saya. Kemudian saya diperkenalkan satu per satu kepada pejabat-pejabat tersebut. “Ini wartawan baru kita…,” katanya, lantas dia memuji-muji saya, di depan para pejabat tersebut. Pujian yang saya rasa waktu itu sedikit berlebihan, dan saya susah payah menahan hati agar tak jadi besar kepala.
Orang besar, kata seorang bijak, bukanlah orang yang ketika berada di sekitar orang lain, membuat orang lain merasa kecil, tetapi ia justru membuat orang lain merasa besar. Saya melihat itu pada diri Tjutjup Suparna pada saat itu. Saya, orang kecil ini, saat itu merasa menjadi besar hati, hanya dengan sebuah perlakuan kecil.
Tjutjup adalah walikota yang sigap. Tiap subuh sehabis salat, pria bersosok tegap layaknya seorang militer, berkeliling kota dengan motor besar putihnya. Ia tahu di mana sampah tak diangkut, di mana jalan tak tersapu, di mana pasar yang kotor. Maka, saat coffee morning dengan para kepala dinas, sebuah kegiatan rutinnya, jangan coba berbohong.
Soal sampah adalah prioritas penting bagi Tjutjup. Maka tak heran kala itu Balikpapan telah lima kali berturut-turut meraih Anugerah Adipura sebagai kota sedang terbersih, bahkan dua kali meraih Adipura Kencana. Singgahlah ke Balikpapan, dan akuilah bahwa ini kota memang bersih. Tapi, kami kala itu sebagai warga kota Balikpapan tak perlu pengakuan orang luar atau juri Anugerah Adipura. Kami sendiri merasakan bahwa kota kami itu memang bersih, itu membuat kami nyaman dan bangga, dan itulah kota yang kami bangun, kami jaga dan kami bela.
Saya ingat, saat saya menjadi reporter dan dapat pos liputan di Kantor Walikota, maka saat itu Kepala Dinas Kebersihannya adalah orang yang direkrut dari kalangan militer juga. Jika ada kegiatan besar, misalnya hari ulang tahun kota, maka sejumlah ruas jalan ditutup. Tak ada kendaraan yang boleh lewat. Di sejumlah titik di sepanjang ruas jalan itu didirikan panggung menampilkan hiburan gratis untuk warga kota. Yang ingin saya ceritakan adalah, begitu lekasnya nanti petugas kebersihan bekerja. Sebelum pukul 03.00 semua jalan itu sudah kembali bersih! Saya pernah membuktikannya, untuk satu laporan saya waktu itu.
Pemko Balikpapan kala itu juga punya satu kendaraan penyapu otomatis. Itu dibeli di Jerman, beberapa unit dan dioperasikan di sejumlah jalan utama kota. Di sana, penyapu jalan bekerja di waktu subuh. Sebelum pagi, semua jalan kota sudah kinclong tanpa sampah.
*
Ah, tapi apakah saya mengingat Kota Balikpapan dan himnenya hanya karena sampah? Ada yang lain. Itu mungkin konsep pembangunan kotanya. "Masterplan itu dokumen publik," kata Sekdako Balikpapan kala itu Imdaad (ya, benar dengan dua huruf a) Hamid. Beliau kelak juga menjadi Walikota Balikpapan berturut-turut dua periode menggantikan Pak Tjutjup.
Maka di kantor Walikota Balikpapan, terbentanglah peta besar rencana induk pengembangan kota. Di peta itu jelas tertera di mana kawasan hijau, pemukiman, rencana jalan lingkar, kawasan industri, daerah wisata. “Ini penting diketahui publik, supaya tak ada spekulan yang membuat lahan kita kelak bermasalah,” kata Imdaad.
Untuk kepentingan liputan kala itu saya beberapa kali mewawancarai Imdaad. Beliau, orang berperawakan kecil, berkacamata, dengan cara bicara khas orang Banjar, menjelaskan konsep pembangunan kota kepada saya seorang, sama bersemangatnya seperti ketika beliau presentasi di depan rapat paripurna DPRD.
Kita mungkin bisa melupakan apa yang dikatakan orang lain pada kita, tapi kita tak pernah melupakan bagaimana orang lain memperlakukan kita, kata orang bijak. Betapa bijak dan benarnya kalimat itu. Saya tak bisa melupakan perlakuan seorang Sekdako Balikpapan kala itu, saat dia melayani wawancara saya.
Saya ingat, waktu itu, Pak Imdaad dengan dinas terkait sedang punya sebuah proyek penting: relokasi pengusaha tempe! Ini proyek sederhana, tapi tepat guna, bermanfaat dan sama sekali tidak mengawang-awang.
Ada banyak dimensi dalam proyek itu. Ada kepentingan lingkungan, karena sejumlah pabrik tempe ternyata ada di tengah pemukiman penduduk dan itu menyebabkan kesulitan mengendalikan pencemaran. Ada keberpihakan pada industri dan pengusaha kecil, karena dalam rencana relokasi itu, Pemko Balikpapan mencadangkan satu kawasan industri khusus untuk pengusaha tempe. Seingat saya, proyek ini amat berhasil.
*
Saya mengingat himne itu, mungkin juga karena satu hal lain: lalu lintas di Balikpapan yang tertib. Ukurannya bagi saya bukan lagi Anugerah Wahana Tata Nugraha. Ini adalah penghargaan Republik kepada kota yang menata transportasi umum dengan baik. Kabar terakhir saya dengar tahun 2011 ini, April lalu (ini penghargaan memang diberikan setiap bulan ke-4 tiap tahun), Balikpapan kembali mendapat penghargaan tersebut untuk yang ke-16 kali. 16 kali? Itu artinya sejak saya reporter dulu, lalu saya tinggalkan kota itu, sampai hari ini, tak sekalipun Balikpapan tak mendapatkan penghargaan itu?
Karena hidup dengan kota yang sedemikian nyaman seperti Balikpapan, lalu pada banyak kesempatan mendengar sebuah himne yang tak sekadar berisi lirik yang kosong, izinkan saya untuk bangga meski hanya ketika saya sekadar mengenang bahwa saya pernah tinggal di sana. Kota yang dulu saya merasa ikut membangun (meski dengan peran kecil sebagai seorang reporter baru), saya ikut menjaganya, dan membelanya. Di kota yang senyaman itu, ah Acil Bimbo entah dapat mendapat ide dari mana: orang jadi religius karena merasa dicintai dan mencintai Tuhan. []
Friday, September 16, 2011
Beri Dia Aplaus
DI tangga turun, ke dataran, ke teater pasir,
kita dihentikan sirkus, oleh dia yang sebut nama,
dengan agak jenaka, dalam berbagai bahasa:
"Ya, Tuan dan Puan, tertawalah karena aku
dari… (ia sebut sebuah kota). Beri aplaus aku!"
Kita tertawa. Aku kira setelah sulapan kecil itu,
salah seorang dari kita akan hilang selamanya.
Atau aku menjadi gambar monster tak bermata
dalam sebuah gambar besar, tato di dadamu.
kita dihentikan sirkus, oleh dia yang sebut nama,
dengan agak jenaka, dalam berbagai bahasa:
"Ya, Tuan dan Puan, tertawalah karena aku
dari… (ia sebut sebuah kota). Beri aplaus aku!"
Kita tertawa. Aku kira setelah sulapan kecil itu,
salah seorang dari kita akan hilang selamanya.
Atau aku menjadi gambar monster tak bermata
dalam sebuah gambar besar, tato di dadamu.
Aku Imsakkan Ingatan dari Namakau
TELAH aku imsakkan ingatan dari namakau
Aku sekarang puasa dari mengenang engkau
*
Di mesin ATM, aku terkunci, lupa kata kunci
Mencongak berapa bisa lagi, sisa transaksi,
berapa sudah tersia-sia, aku habis-habiskan,
hari-hari usiaku sendiri, sebelum puasa ini.
Di balik bilik ATM, aku dicengkeram amaran:
Saldo Anda tak pernah cukup untuk apa saja!
Aku sekarang puasa dari mengenang engkau
*
Di mesin ATM, aku terkunci, lupa kata kunci
Mencongak berapa bisa lagi, sisa transaksi,
berapa sudah tersia-sia, aku habis-habiskan,
hari-hari usiaku sendiri, sebelum puasa ini.
Di balik bilik ATM, aku dicengkeram amaran:
Saldo Anda tak pernah cukup untuk apa saja!
Wednesday, September 14, 2011
Menyongsong Pertemuan Penyair Korea-ASEAN II di Riau
Laungan Sound of Asia di Tanah Melayu
Kegiatan yang baru digelar untuk kali kedua setelah sukses diselenggarakan di Seoul, Korsel, 2-6 Desember 2010 lalu, diisi dengan berbagai kegiatan antara lain pembacaan puisi para penyair, pembacaan esai dan proses kreatif penyair, diskusi, kunjungan di tapak-tapak budaya yang bersejarah hingga pertukaran gagasan terkait upaya membangun persahabatan antarnegara di bidang seni sastra dan kebudayaan.
Rida K Liamsi, Direktur KAPLF II yang menjadi penanggung jawab iven akbar tahunan ini mengungkapkan, kegiatan ini bertujuan untuk membangun persahabatan dan solidaritas di kalangan para penyair negara-negara terkait dalam mendorong dan memacu kreativitas di bidang kesusastraan khususnya puisi di negara masing-masing.
Terpilihnya Riau sebagai tuan rumah KAPLF II tak terlepas dari rangkaian kegiatan iven sastra pertama di mana Rida menjadi salah satu utusan Indonesia bersama penyair Nirwan Dewanto. Dalam persidangan akhir KPALF I di Seoul tersebut, saat Indonesia mendapat tawaran sebagai tuan rumah untuk kali yang kedua, Rida langsung menangkap peluang itu.
Menurut Rida, banyak keuntungan bila iven sastra sebesar KAPLF tersebut digelar di tanah Melayu Riau. Di antaranya, momentum yang baik untuk mengenalkan Riau dengan segala kekayaan seni-budaya dan aspek-aspek lain kepada para penyair dan sastrawan yang memiliki kejelian dalam memandang sesuatu dengan menggunakan kaidah-kaidah estetika dan kehalusan budi. Diharapkan, penyair yang berada di Riau selama lima hari tersebut dapat melahirkan karya dengan setting lokasi atau nilai-nilai sosial-budaya yang berangkat dari tanah Melayu.
KAPLF II yang ditaja oleh Yayasan Sagang, mendapat dukungan Pemerintah Provinsi Riau melalui Gubernur Rusli Zainal saat panitia penyelenggara yang dipimpin langsung Rida beraudiensi dengan Gubri. Rusli Zainal meminta agar kegiatan sastra antarnegara ini dapat digelar secara sungguh-sungguh dengan menampilkan kekayaan khasanah seni budaya Melayu yang berkembang tunak dan matang di daerah ini. Penampilan-penampilan yang disuguhkan kepada para tamu hendaklah memberikan kesan yang baik sehingga mampu membangun romantisme pemikiran di kalangan para penyair berbagai negara tersebut.
Persiapan-persiapan nyata terus dilakukan oleh Tim Panitia Pengarah yang diketuai Prof Dr Yusmar Yusuf dan Tim Pelaksana yang diterahu oleh Darmawi Kahar (Armawi KH). Para penyair dari negara-negara terkait sudah pula dipilih oleh tim kurator sesuai wilayah tanggungjawab masing-masing. Para penyair dari Korsel dikoordinasikan langsung oleh kritikus sastra Indonesia yang sedang bertugas di Hankuk University, Seoul, Maman S Mahayana.
Peserta dari Korea Selatan adalah Ko Hyeong Ryeol, Lee Kyeong Im, Park Hyung Jun, Kim Tae Hyung, Joe Sue Jaa, Kim Young Chan, Cho Myeong, Chun Su ho, Lim Yun, An Heon Mi. Sedangkan peserta dari negara-negara ASEAN adalah Nguyen Huang Doc dan Do Thi Khank Phuong (Vietnam), Maung Pyiyt Minn dan Maung Day (Myanmar), Nick Rakib dan Phaosan Jewhwae (Thailand), Shamsudin Otham dan Hasyuda Abadi (Malaysia), Isa Kamari (Singapura), Hasyim Bin Abdul Hamid dan Suip Bin Abdul Wahab (Brune Darussalam), serta Michael Coroza dan Marne Kilates (Filipina).
Begitu pula Tim Kurator Indonesia di luar Riau dan Sumatera ditangani langsung oleh penyair Nirwan Dewanto yang telah menetapkan sejumlah nama, yakni Gunawan Maryanto (Jogjakarta), Hana Fransiska (Pontianak), Raudal Tanjung Banua (Jogjakarta), Zaim Rofiqi (Jakarta) dan Aan Mansur (Makassar).
Untuk para penyair Sumatera non-Riau dengan kurator penyair Taufik Ikram Jamil dan Fakhrunnas MA Jabbar telah memilih utusan penyair dari masing-masing provinsi kecuali Bengkulu, yakni Fikar W Eda (NAD), Afrion (Sumut), Esha Tegar Putra (Sumbar), Dimas Arika Miharja (Jambi), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Sunlie Thomas Alexander (Bangka-Belitung), Nurhayat Arif Permana (Palembang), Machzumi Dawood dan Hasan Aspahani (Kepulauan Riau).
Sedangkan penyair tuan rumah Riau dipilih oleh tim kurator yang terdiri atas penyair Husnu Abadi dan Hary B Kori’un. Mereka adalah Taufik Effendy Aria, Muhammad Badri, Budy Utamy, Jefri al Malay dan Marhalim Zaini.
Pemilihan para penyair yang diundang memiliki kriteria yang sudah ditetapkan oleh panitia penyelenggara. Pertimbangan itu meliputi kreatifitas kepenyairan, kontinuitas berkarya, mewakili generasi, penerbitan buku karya sendiri dan aspek-aspek lainnya. Meski sebenarnya masih ada sejumlah penyair lain yang memiliki kapabilitas kepenyairan yang patut diandalkan namun keterbatasan jumlah peserta mengakibatkan representasinya hanya bisa menampilkan seorang penyair saja.
Perhelatan sastra KAPLF II bakal ditempatkan di beberapa kabupaten di provinsi Riau selain Pekanbaru sendiri sebagai ibukota, yakni Kota Siak Sriindrapura dengan peninggalan sejarah Kesultanan Siak yang pernah masyhur di masa silam dan Candi Muara Takus di Kabupaten Kampar, sebuah candi Budha peninggalan Kerajaan Sriwijaya.
Oleh sebab itu, penyelenggaraan dan kunjungan di daerah-daerah yang memiliki nilai kesejarahan dan nilai sosial-budaya itu patut dijadikan sarana promosi pariwisata khususnya wisata sejarah dan budaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di daerah ini.
Pembukaan KAPLF II yang digelar di kawasan Gedung Daerah Riau sekaligus dijamu oleh Gubernur Rusli Zainal akan menampilkan berbagai atraksi seni budaya yang berbasis sastra seperti syair dan juga pembacaan puisi oleh Rusli Zainal sendiri dan Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri. Dalam acara ini juga akan ditandatangani kerja sama antara majalah sastra Sagang dengan majalah sastra Sipyung (Korsel). Bersamaan dengan kegiatan KAPLF II ini diterbitkan dan diluncurkan tiga buah buku masing-masing Directory Book: Malay Culture as World Heritage on Stage, Becoming After Seoul dan Antologi Puisi KAPLF II Sound of Asia.
Sumber: Riau Pos,11 September 2011
Labels:
KAPLF
[KAPLF II # 001] - Kami akan ada di Festival Ini
DI Korea-ASEAN (Korea- Malay) Poets Literature Festival (KAPLF), kami akan hadir. Kami adalah: Taufik Effendi Aria, Marhalim Zaini, Jefry Al-Malay, Muhammad Badri, Budy Utami, Mahzumi Dawood, Hasan Aspahani, Afrion, Esha Tegar Putr, Dimas Arika Mihardja, Isbedy Setiawan, Nurhayat Arif Permana, Sunlie Thomas Alexander, Fikar W Eda, Gunawan Maryanto, Hana Fransisca, M Aan Mansyur, Raudal Tanjung Banua, Zaim Rofiki.
Labels:
KAPLF
Wednesday, September 7, 2011
Sekadar Empat Kicauan
1. BELUM juga aku - juru ukur ini - bisa mengangkakan rindu dalam satu deret bilangan. Dulu aku katakan padamu, namamu jadi skala satuannya.
2. AKU mencintai jarak & jauh ini. Sebab, karena engkau, Jarak membuat dunia kita terasa luas. Jauh membuat kita lebih menghargai kesunyian.
3. DI hatimu, aku seperti terkunci sendiri, di ruang mesin ATM, lupa kata kunci, dan mesin ini juga tak berfungsi. Namamu, kata yang mengunci.
4. KITA letakkan, kita sebelahkan, perlahan, pertanyaan-pertanyaan yang tak terdokumentasikan, pada lipatan lembar halaman, buku Jassin.
2. AKU mencintai jarak & jauh ini. Sebab, karena engkau, Jarak membuat dunia kita terasa luas. Jauh membuat kita lebih menghargai kesunyian.
3. DI hatimu, aku seperti terkunci sendiri, di ruang mesin ATM, lupa kata kunci, dan mesin ini juga tak berfungsi. Namamu, kata yang mengunci.
4. KITA letakkan, kita sebelahkan, perlahan, pertanyaan-pertanyaan yang tak terdokumentasikan, pada lipatan lembar halaman, buku Jassin.
Monday, September 5, 2011
Rilke's Rue
DID the lover is a death --- the one who is to you she hugs so tight?
Love maybe not a journey. It may not have a distance,
but for you, to be reached, still it cannot be.
Did the lover is a cry? --- the one who cling to your eye?
Love may like that woman who sings
- with weep and grief in between - And left you, struck with woe.
Did the lover is a poem? --- the one who keeps the warmth of your heart?
You no longer wanted to deem the Love as whatever it may seem,
because which Poet want to bear the hindrance of it's burden?
(Translated by Lara Nur)
Love maybe not a journey. It may not have a distance,
but for you, to be reached, still it cannot be.
Did the lover is a cry? --- the one who cling to your eye?
Love may like that woman who sings
- with weep and grief in between - And left you, struck with woe.
Did the lover is a poem? --- the one who keeps the warmth of your heart?
You no longer wanted to deem the Love as whatever it may seem,
because which Poet want to bear the hindrance of it's burden?
(Translated by Lara Nur)
Can This Poem Make You Cry?
I wrote this from a messy life,
when age is a secret number,
yet it cannot be hidden any longer.
Can this poem make you cry?
But, hey, how dare I, to say that life is messy?
We may not be who we were before,
an unripe love to adore,
a careless care, with a blushed flush,
emotion in a letter to say the least
jammed between a chapter
of Pancasila Moral Studies.
Yes, surely we are no more Marys and Billys
who folded our school shirt's sleeves,
and run truant to the matinees,
at a theatre screening teenish romance,
with titles that had a limited vocab
of 'love', 'campus', or something like that.
So I wrote this poem from a memory no longer
reachable. A get-you theory that had gone
feeble. Because of that, would you cry?
***
I wrote this from a life - hmmm
is there a better word than - messy?
We have swallowed the age pill - and that means
we have a skill in deceiving how we feel
Like, when invited to attend a reunion party.
Auch, how many decades had it been
a school skirt as your second skin?
that which you had stealthily shortened
from its official length as written
on a student rulebook you were given?
Hey, how do you now call a lover
who can never be? Laugh as if nothing is amiss -
laughing at your own silly anxiety - when he asked
the question,"do you remember our first kiss?"
"That wasn't a kiss," you dismissed, "it wasn't!"
That's it, I wrote this from a memory that
so want to - though impossible - be forgotten,
and so want to - though infallible - be repeated,
so is there any use for a question so dry:
...can this poem make you cry?
We may now want to run from that love.
But, even if we try, can then life not be
hmmm - why have I lost my dictionary,
each time I want to write there's only - messy?
Actually, I should ask no more at a good bye,
whether this poem made you cry.
(Translated by Gilda Sagrado)
when age is a secret number,
yet it cannot be hidden any longer.
Can this poem make you cry?
But, hey, how dare I, to say that life is messy?
We may not be who we were before,
an unripe love to adore,
a careless care, with a blushed flush,
emotion in a letter to say the least
jammed between a chapter
of Pancasila Moral Studies.
Yes, surely we are no more Marys and Billys
who folded our school shirt's sleeves,
and run truant to the matinees,
at a theatre screening teenish romance,
with titles that had a limited vocab
of 'love', 'campus', or something like that.
So I wrote this poem from a memory no longer
reachable. A get-you theory that had gone
feeble. Because of that, would you cry?
***
I wrote this from a life - hmmm
is there a better word than - messy?
We have swallowed the age pill - and that means
we have a skill in deceiving how we feel
Like, when invited to attend a reunion party.
Auch, how many decades had it been
a school skirt as your second skin?
that which you had stealthily shortened
from its official length as written
on a student rulebook you were given?
Hey, how do you now call a lover
who can never be? Laugh as if nothing is amiss -
laughing at your own silly anxiety - when he asked
the question,"do you remember our first kiss?"
"That wasn't a kiss," you dismissed, "it wasn't!"
That's it, I wrote this from a memory that
so want to - though impossible - be forgotten,
and so want to - though infallible - be repeated,
so is there any use for a question so dry:
...can this poem make you cry?
We may now want to run from that love.
But, even if we try, can then life not be
hmmm - why have I lost my dictionary,
each time I want to write there's only - messy?
Actually, I should ask no more at a good bye,
whether this poem made you cry.
(Translated by Gilda Sagrado)
Saturday, September 3, 2011
Jam Imsak
DI Jembatan itu, menyeberanglah jam imsak
di tengah ragu ingin sekali ia berhenti, sejenak
Menunggu yang lewat, yang membangunkan
Sesayup bisik azan, muazin bertekak serak
Seperti ada soal yang ingin ia bayar jawaban,
Hai, Fulan, berapa umur puas kau puasakan?
Berlalulah anak-anak lelaki, itu, di Jembatan
bergantian menabuh beduk, memar kulit bulan
Esok, di Jembatan itu, akan lewat para lelaki,
mengeringkan keringat, sepaguan pagi hangat
di tengah ragu ingin sekali ia berhenti, sejenak
Menunggu yang lewat, yang membangunkan
Sesayup bisik azan, muazin bertekak serak
Seperti ada soal yang ingin ia bayar jawaban,
Hai, Fulan, berapa umur puas kau puasakan?
Berlalulah anak-anak lelaki, itu, di Jembatan
bergantian menabuh beduk, memar kulit bulan
Esok, di Jembatan itu, akan lewat para lelaki,
mengeringkan keringat, sepaguan pagi hangat
Subscribe to:
Posts (Atom)