Gambar dipinjam dari situs ini. |
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Sunday, February 27, 2011
Aku Bayangkan Ada Bagian Seperti Ini di Rumah Kami
Labels:
perpustakaan
Saturday, February 26, 2011
19. Jika Kau Susun Lagi Pantun yang Kumusnahkan
BUKANKAH semua peristiwa kita adalah sampiran?
Sampiran dari isi yang kita ungkai dan kita sembunyikan
Tahukah bahwa semua yang kupantunkan adalah jeritan?
Jeritan dari diam yang tak bisa lain kecuali kudiamkan
Jika engkau mencoba susun lagi pantun yang kuhancurkan
Pasti ada kata yang tak akan pernah lagi engkau temukan
Jika engkau mendengar sampai suara yang aku bisikkan
Ia telah melewati ancaman menghilang dan termusnahkan
Sampiran dari isi yang kita ungkai dan kita sembunyikan
Tahukah bahwa semua yang kupantunkan adalah jeritan?
Jeritan dari diam yang tak bisa lain kecuali kudiamkan
Jika engkau mencoba susun lagi pantun yang kuhancurkan
Pasti ada kata yang tak akan pernah lagi engkau temukan
Jika engkau mendengar sampai suara yang aku bisikkan
Ia telah melewati ancaman menghilang dan termusnahkan
Labels:
pantun
Satu Bait Tegak, Satunya Miring (2)
LAUT yang kau ombakkan ke dadaku, menumbangkan keberdiaman karang. Perasaan-perasaan lepas sebagai perahu kecil nelayan, tak lagi terikat, di tiang tambat, tapi tak tahu di mana tempat yang tepat menebar jala. Di perutku, ikan-ikan mati.
Di lautku, pencuri datang dan pergi. Membawa ikan-ikan yang cuma kupuja dalam bait dangkal puisi. Nelayan tidak hidup dengan bait yang hambar. Di tangannya, ia genggam luka-luka. Luka-luka ia garami dengan tiga garam: sejeram airlautku, segeram keringatku, sesuam airmataku.
Di lautku, pencuri datang dan pergi. Membawa ikan-ikan yang cuma kupuja dalam bait dangkal puisi. Nelayan tidak hidup dengan bait yang hambar. Di tangannya, ia genggam luka-luka. Luka-luka ia garami dengan tiga garam: sejeram airlautku, segeram keringatku, sesuam airmataku.
Friday, February 25, 2011
Satu Bait Tegak, Satunya Miring (1)
AKU bisa meniti pelangi, tapi buat apa? Sebab ia tak menyeberangkan aku ke mana-mana. Di cakrawala ini, aku terjebak dari ujung ke ujung. Tak pernah sampai ke selasar telagamu.
Tak ada telaga, hanya kubangan bubur lumpur yang terus-menerus menyembur. Tak ada pelangi, hanya warna-warna parau tangisan kami. Pecah dan patah menikami langitmu.
Tak ada telaga, hanya kubangan bubur lumpur yang terus-menerus menyembur. Tak ada pelangi, hanya warna-warna parau tangisan kami. Pecah dan patah menikami langitmu.
Wednesday, February 16, 2011
Dari Tichborne hingga Al-Bargouty
TERHADAP sejarah, kita punya dua pilihan. Terus mengingatnya, mengambil hikmat dari situ dan terbijakkan olehnya. Atau, pilihan kedua, melupakannya, tak mau belajar darinya, dan mengulanginya. Puisi, dengan cara yang unik, selalu hadir untuk menawarkan jalan lain: mengingatkan dan merawat akal sehat.
Kita memang mudah sekali lupa. Ketika salah seorang dari dwitunggal proklamator bangsa ini berkata, "Jangan sekali-kali melupakan sejarah!", saya kira dia bukan ingin minta dirinya dikenang. Sukarno tidak sekerdil itu. Ia mengingatkan kita sampai kapanpun bahwa pada bangsa ini, ada yang berharga untuk dipertahankan.
Saya ingat, saya pernah menerjemahkan "Elegi Tichborne". Sebuah sajak pedih yang ditulis dalam penjara oleh Chidiock Tichborne (1558–1586), seorang penyair yang tidak begitu dikenal. Saya petika seutuhnya:
Kobar masa mudaku tak ada hanya beku salju
Pesta gembiraku tak ada hanya sesaji nestapa,
Huma jagungku tak ada hanya padang gulma
Dan segala pahalaku tak ada hanya harap sia-sia;
Hari berganti, dan tak jua kulihat matahari,
Dan saat kutahu hidup, tuntaslah kehidupanku.
Kisahku kau dengar tapi tak kemana kau ceritakan,
Buahku jatuh, tapi masih menghijau daun-daunku,
Usia mudaku habis tapi tak jua aku menua,
Aku lihat dunia tapi tak sesiapa ada melihatku;
Benangku putus tapi belum juga ia tergulungkan
Dan saat kutahu hidup, tuntaslah kehidupanku.
Aku cari mautku dan kutemukan di rahimku
aku cari kehidupan dan ternyata itu keteduhan ,
Kutapaki anak tangga dunia dan aku tahu itu kuburku,
Dan kini aku mati, dan kini aku tak lagi apa-apa;
Gelasku penuh, dan kini gelasku jauh berlari,
Dan saat kutahu hidup, tuntaslah kehidupanku.
Tiga stanza di atas adalah sajak terakhir Chidiock (Charles) Tichborne (1558–1586) yang ia tulis di malam dalam tahanan di Tower of London, sebelum ia dihukum mati.
Sajak itu ia ia kirimkan sebagai surat dan ia tujukan kepada istrinya, Agnes. Sajak di atas selain termahsyur dengan judul "On The Eve of His Execution" juga dikenal dengan judul "Tichborne's Elegy", atau "My Prime of Youth is but a Frost of Cares".
Tichborne yang lahir di Southampton, dari orangtua beragama Katolik Roma, adalah penyair dan - ini kata yang aneh - konspirator. Kata terakhir itu disandangkan padanya karena ia dituduh merencanakan pembunuhan atas Ratu Elizabeth I.
Sang Ratu semula memperbolehkan pemeluk Katolisisme menjalankan keyakinannya. Tetapi ketika ada komunikasi yang putus dengan Keuskupan akibat dukungan Sang Ratu terhadap ajaran Kristen Protestan, maka sejarah berulang - sekali lagi ajaran Katolik dilarang di Inggris. Tichborne dan ayahnya ditangkap.
Tichborne kemudian ditahan-lepaskan tanpa pengadilan. Ia keluar masuk penjara, berkali-kali. Penjara jadi langganannya. Masa itu, di Inggris, sekularisme memang belum lagi datang memisahkan urusan negara dan agama.
Tak heran bila pada bulan Juni tahun 1586, Tichborne bersepakat dengan sebuah plot rencana pembunuhan atas Ratu Elizabeth dan menggantikannya dengan Ratu Mary dari Scotlandia yang beragama Katolik yang memang menunggu giliran berikutnya untuk naik tahta.
Pada tanggal 20 September 1586, Tichborne dieksekusi bersama kerabat perencana pembunuhan atas Ratu: Anthony Babington, John Ballard, dan empat konspirator lainnya. Isi perut mereka dikeluarkan saat mereka masih lagi bernafas, lalu mereka dipertontonkan di St Giles Field, London.
Begitulah cara penguasa kala itu menyebarkan teror dan membangkitkan efek jera. Tujuh konspirator menyusul dihukum serupa, meski kemudian Ratu sedikit melunak: perutnya dibelah dan diburaikan setelah sang terhukum nyaris mati di tiang gantungan.
*
Ya, terhadap sejarah, kita punya dua pilihan. Terus mengingatnya, mengambil hikmat dari situ dan terbijakkan olehnya. Atau, pilihan kedua, melupakannya, tak mau belajar darinya, dan mengulanginya. Sukarno mengingatkan kita untuk memilih yang pertama, jangan lupakan sejarah.
Saya terkenang Tichborne, sajak terakhirnya, dan latar kisah pemenjaraannya. Kita mungkin melupakan itu. Atau mungkin tak pernah tahu. Ketika kekuasaan berkelindan dengan agama, hal brutal bisa terjadi. Nyawa manusia jadi halal untuk dihabisi atas nama perbedaan keyakinan.
Kebrutalan bisa lahir ketika negara ada pada dua titik berseberangan, ketika negara begitu kuatnya seperti Inggris di zaman Ratu Elizabeth yang melarang Katolik dan memerintahkan pembunuhan atas penganutnya, atau ketika negara begitu lemahnya seperti terjadi di Indonesia saat ini.
Inilah Indonesia saat ini. Presiden tampil di depan kamera televisi mengatakan prihatin atas warganya yang dibantai oleh warga lain. Kedua kelompok itu adalah warga negara Indonesia, dan presiden hanya bilang prihatin.
Presiden yang sama berkata, negara tak boleh kalah dengan mafia. Nyatanya, kekuasaannya tak bisa apa-apa karena ia dikelilingi oleh jejaring kepentingan politik yang beroperasi persis seperti mafia.
*
Lepas dari konspirasinya menyusun rencana membunuh Ratu, Tichborne menjalankan tugas mulianya sebagai penyair. Ia menulis sajak untuk menjaga kewarasan, merawat akal sehat. Sajaknya abadi, menjaga kewarasan dari zaman ke zaman.
Puisi, hal yang remeh dan rapuh itu memang punya peran unik. Di Mesir, negeri yang keteguhan jutaan rakyatnya dengan jalan damai selama 18 hari dan berhasil menjatuhkan penguasa 30 tahun, ada seorang penyair bernama Tamim Al-Bargouty. Ia terusir dari negerinya karena menentang perang Irak. Mobarak sama saja dengan pendahulunya Anwar Sadat. Para penyair yang mencoba merawat akal sehat ditangkapi, masuk penjara atau terusir dari negerinya.
Dari Amerika, di mana dia mengajar di sebuah Universitas, Tamim mengirimkan sajaknya. Sajak itu dimuat di harian lokal di mana secara rutin ia menulis kolom di situ. Lalu dari sana sajaknya menyebar, fotokopi puluhan ribu lembar. "Tiap dua jam saya ditelepon stasiun radio dan televisi dan diminta membacakan sajak saya," kata Tamim.
Di Lapangan Tahrir, orang-orang pasang layar lebar, dan siaran televisi Aljazeera yang menayangkan resitasi sajak Tamim disorotkan ke sana. Sajaknya kira-kira dengan tegas mau berkata: Wahai Mesir, inilah saatnya! Media menyebutya penyair revolusioner. Tapi, saya kira tak penting apapun sebutannya. Tamim tak ingin jadi pahlawan. Ia bahkan bilang, terusir dari negerinya adalah hal remeh, karena banyak penyair Mesir di negerinya sendiri harus mendekam bertahun-tahun di penjara.
Penyair dan sajaknya, mengingatkan kekuasaan yang lupa. Tiga puluh tahun berkuasa, Mubarak mungkin mengira betapa kuatnya dia. Konsistensi 18 hari cukup untuk membuktikan sebaliknya,betapa rapuhnya kekuasaan itu.
Kita memang mudah sekali lupa. Ketika salah seorang dari dwitunggal proklamator bangsa ini berkata, "Jangan sekali-kali melupakan sejarah!", saya kira dia bukan ingin minta dirinya dikenang. Sukarno tidak sekerdil itu. Ia mengingatkan kita sampai kapanpun bahwa pada bangsa ini, ada yang berharga untuk dipertahankan.
Saya ingat, saya pernah menerjemahkan "Elegi Tichborne". Sebuah sajak pedih yang ditulis dalam penjara oleh Chidiock Tichborne (1558–1586), seorang penyair yang tidak begitu dikenal. Saya petika seutuhnya:
Kobar masa mudaku tak ada hanya beku salju
Pesta gembiraku tak ada hanya sesaji nestapa,
Huma jagungku tak ada hanya padang gulma
Dan segala pahalaku tak ada hanya harap sia-sia;
Hari berganti, dan tak jua kulihat matahari,
Dan saat kutahu hidup, tuntaslah kehidupanku.
Kisahku kau dengar tapi tak kemana kau ceritakan,
Buahku jatuh, tapi masih menghijau daun-daunku,
Usia mudaku habis tapi tak jua aku menua,
Aku lihat dunia tapi tak sesiapa ada melihatku;
Benangku putus tapi belum juga ia tergulungkan
Dan saat kutahu hidup, tuntaslah kehidupanku.
Aku cari mautku dan kutemukan di rahimku
aku cari kehidupan dan ternyata itu keteduhan ,
Kutapaki anak tangga dunia dan aku tahu itu kuburku,
Dan kini aku mati, dan kini aku tak lagi apa-apa;
Gelasku penuh, dan kini gelasku jauh berlari,
Dan saat kutahu hidup, tuntaslah kehidupanku.
Tiga stanza di atas adalah sajak terakhir Chidiock (Charles) Tichborne (1558–1586) yang ia tulis di malam dalam tahanan di Tower of London, sebelum ia dihukum mati.
Sajak itu ia ia kirimkan sebagai surat dan ia tujukan kepada istrinya, Agnes. Sajak di atas selain termahsyur dengan judul "On The Eve of His Execution" juga dikenal dengan judul "Tichborne's Elegy", atau "My Prime of Youth is but a Frost of Cares".
Tichborne yang lahir di Southampton, dari orangtua beragama Katolik Roma, adalah penyair dan - ini kata yang aneh - konspirator. Kata terakhir itu disandangkan padanya karena ia dituduh merencanakan pembunuhan atas Ratu Elizabeth I.
Sang Ratu semula memperbolehkan pemeluk Katolisisme menjalankan keyakinannya. Tetapi ketika ada komunikasi yang putus dengan Keuskupan akibat dukungan Sang Ratu terhadap ajaran Kristen Protestan, maka sejarah berulang - sekali lagi ajaran Katolik dilarang di Inggris. Tichborne dan ayahnya ditangkap.
Tichborne kemudian ditahan-lepaskan tanpa pengadilan. Ia keluar masuk penjara, berkali-kali. Penjara jadi langganannya. Masa itu, di Inggris, sekularisme memang belum lagi datang memisahkan urusan negara dan agama.
Tak heran bila pada bulan Juni tahun 1586, Tichborne bersepakat dengan sebuah plot rencana pembunuhan atas Ratu Elizabeth dan menggantikannya dengan Ratu Mary dari Scotlandia yang beragama Katolik yang memang menunggu giliran berikutnya untuk naik tahta.
Pada tanggal 20 September 1586, Tichborne dieksekusi bersama kerabat perencana pembunuhan atas Ratu: Anthony Babington, John Ballard, dan empat konspirator lainnya. Isi perut mereka dikeluarkan saat mereka masih lagi bernafas, lalu mereka dipertontonkan di St Giles Field, London.
Begitulah cara penguasa kala itu menyebarkan teror dan membangkitkan efek jera. Tujuh konspirator menyusul dihukum serupa, meski kemudian Ratu sedikit melunak: perutnya dibelah dan diburaikan setelah sang terhukum nyaris mati di tiang gantungan.
*
Ya, terhadap sejarah, kita punya dua pilihan. Terus mengingatnya, mengambil hikmat dari situ dan terbijakkan olehnya. Atau, pilihan kedua, melupakannya, tak mau belajar darinya, dan mengulanginya. Sukarno mengingatkan kita untuk memilih yang pertama, jangan lupakan sejarah.
Saya terkenang Tichborne, sajak terakhirnya, dan latar kisah pemenjaraannya. Kita mungkin melupakan itu. Atau mungkin tak pernah tahu. Ketika kekuasaan berkelindan dengan agama, hal brutal bisa terjadi. Nyawa manusia jadi halal untuk dihabisi atas nama perbedaan keyakinan.
Kebrutalan bisa lahir ketika negara ada pada dua titik berseberangan, ketika negara begitu kuatnya seperti Inggris di zaman Ratu Elizabeth yang melarang Katolik dan memerintahkan pembunuhan atas penganutnya, atau ketika negara begitu lemahnya seperti terjadi di Indonesia saat ini.
Inilah Indonesia saat ini. Presiden tampil di depan kamera televisi mengatakan prihatin atas warganya yang dibantai oleh warga lain. Kedua kelompok itu adalah warga negara Indonesia, dan presiden hanya bilang prihatin.
Presiden yang sama berkata, negara tak boleh kalah dengan mafia. Nyatanya, kekuasaannya tak bisa apa-apa karena ia dikelilingi oleh jejaring kepentingan politik yang beroperasi persis seperti mafia.
*
Lepas dari konspirasinya menyusun rencana membunuh Ratu, Tichborne menjalankan tugas mulianya sebagai penyair. Ia menulis sajak untuk menjaga kewarasan, merawat akal sehat. Sajaknya abadi, menjaga kewarasan dari zaman ke zaman.
Puisi, hal yang remeh dan rapuh itu memang punya peran unik. Di Mesir, negeri yang keteguhan jutaan rakyatnya dengan jalan damai selama 18 hari dan berhasil menjatuhkan penguasa 30 tahun, ada seorang penyair bernama Tamim Al-Bargouty. Ia terusir dari negerinya karena menentang perang Irak. Mobarak sama saja dengan pendahulunya Anwar Sadat. Para penyair yang mencoba merawat akal sehat ditangkapi, masuk penjara atau terusir dari negerinya.
Dari Amerika, di mana dia mengajar di sebuah Universitas, Tamim mengirimkan sajaknya. Sajak itu dimuat di harian lokal di mana secara rutin ia menulis kolom di situ. Lalu dari sana sajaknya menyebar, fotokopi puluhan ribu lembar. "Tiap dua jam saya ditelepon stasiun radio dan televisi dan diminta membacakan sajak saya," kata Tamim.
Di Lapangan Tahrir, orang-orang pasang layar lebar, dan siaran televisi Aljazeera yang menayangkan resitasi sajak Tamim disorotkan ke sana. Sajaknya kira-kira dengan tegas mau berkata: Wahai Mesir, inilah saatnya! Media menyebutya penyair revolusioner. Tapi, saya kira tak penting apapun sebutannya. Tamim tak ingin jadi pahlawan. Ia bahkan bilang, terusir dari negerinya adalah hal remeh, karena banyak penyair Mesir di negerinya sendiri harus mendekam bertahun-tahun di penjara.
Penyair dan sajaknya, mengingatkan kekuasaan yang lupa. Tiga puluh tahun berkuasa, Mubarak mungkin mengira betapa kuatnya dia. Konsistensi 18 hari cukup untuk membuktikan sebaliknya,betapa rapuhnya kekuasaan itu.
Labels:
kolom
Sunday, February 13, 2011
Petikan Gitar yang Mengingatkan Aku Padamu
: @captainugros
AKU menunggu, bertepuk ragu
Sampai nanti ia nyanyikan lagu itu
Lalu aku diam-diam
Menyembunyikan sebab tangisan
Jauh di dalam mata
Terlalu sore untuk bersedih
Dukacita makin meredup, ke cahaya
*
Kenangan, kaleng minuman ringan
Seperti kau melemparkannya
dari jendela trem
Aku memungutnya
Memastikan masih ada nama kita
di sana
*
Bagaimana petikan gitar itu
bisa mengingatkan aku padamu?
Aku adalah pemetik gitar yang gagal
Kekasih yang letih dan sudah lama batal
AKU menunggu, bertepuk ragu
Sampai nanti ia nyanyikan lagu itu
Lalu aku diam-diam
Menyembunyikan sebab tangisan
Jauh di dalam mata
Terlalu sore untuk bersedih
Dukacita makin meredup, ke cahaya
*
Kenangan, kaleng minuman ringan
Seperti kau melemparkannya
dari jendela trem
Aku memungutnya
Memastikan masih ada nama kita
di sana
*
Bagaimana petikan gitar itu
bisa mengingatkan aku padamu?
Aku adalah pemetik gitar yang gagal
Kekasih yang letih dan sudah lama batal
Labels:
poetography
Bahasa Itu, Kawan!
1. Bahasa itu, kawan, memberi banyak kemungkinan untuk kita, untuk mengucapkan sesuatu. Itu sebabnya puisi jadi mungkin
2. Cara ucap itu, kawan, adalah hutan luas, penyair pendahulu pengapling sekadar untuk puisi mereka. Sisa masih lapang untuk kita.
3. Membuka lahan bahasa memang bukan kerja mudah. Kita harus menebas semak, kawan, menebang pohon, berdarah kena duri.
4. Kalau lahan bahasa sudah kau buka, kau berkebun kata di situ, biar orang lain mencuri, lahan itu tetap milikmu, kawan
5. O, aku rindu para petani gigih! Yang berani masuk jauh ke dalam hutan bahasa! O, jangan telantarkan lahan bahasa kita!
6. O, meriahkan kebun kita dengan buka katamu, segarkan dengan hijau daun katamu, kejutkan dengan umbi rahasia katamu!
2. Cara ucap itu, kawan, adalah hutan luas, penyair pendahulu pengapling sekadar untuk puisi mereka. Sisa masih lapang untuk kita.
3. Membuka lahan bahasa memang bukan kerja mudah. Kita harus menebas semak, kawan, menebang pohon, berdarah kena duri.
4. Kalau lahan bahasa sudah kau buka, kau berkebun kata di situ, biar orang lain mencuri, lahan itu tetap milikmu, kawan
5. O, aku rindu para petani gigih! Yang berani masuk jauh ke dalam hutan bahasa! O, jangan telantarkan lahan bahasa kita!
6. O, meriahkan kebun kita dengan buka katamu, segarkan dengan hijau daun katamu, kejutkan dengan umbi rahasia katamu!
Friday, February 11, 2011
Aku Pernah Melihat Senyum Terindah di Dunia
: @captainugros
BEGINILAH, hukum dari penghakim ini aku terima:
Aku sampai padamu, tapi tak bisa mencapai engkau
*
Kau sang penghakim itu! Aku yang meminta dijatuhi
vonis seberat-beratnya: cinta tak bersambut cinta
Dari batas lingkar pagar, aku bukan bagian mereka
para turis menyilaukan engkau, menjunjung kamera
*
Ketika mereka bilang, "Aku sudah lihat senyum itu,
senyum terindah di dunia!", aku dengar tangis tiga:
tua tangis Leonardo, tajam tangismu, sesak tangisku.
Tiga tangis yang bersama-sama, serenta mau berkata,
"Kalian tak dengar tangis, tangis terindah di dunia!"
*
Beginilah, hukum dari penghakim ini aku jalani:
tak ada jeruji, tak ada sipir, tak ada jatah nasi
Artinya, kau tak tahu harus menjengukku di mana!
BEGINILAH, hukum dari penghakim ini aku terima:
Aku sampai padamu, tapi tak bisa mencapai engkau
*
Kau sang penghakim itu! Aku yang meminta dijatuhi
vonis seberat-beratnya: cinta tak bersambut cinta
Dari batas lingkar pagar, aku bukan bagian mereka
para turis menyilaukan engkau, menjunjung kamera
*
Ketika mereka bilang, "Aku sudah lihat senyum itu,
senyum terindah di dunia!", aku dengar tangis tiga:
tua tangis Leonardo, tajam tangismu, sesak tangisku.
Tiga tangis yang bersama-sama, serenta mau berkata,
"Kalian tak dengar tangis, tangis terindah di dunia!"
*
Beginilah, hukum dari penghakim ini aku jalani:
tak ada jeruji, tak ada sipir, tak ada jatah nasi
Artinya, kau tak tahu harus menjengukku di mana!
Labels:
poetography
Wednesday, February 9, 2011
POETOGRAPHY
Beberapa hari ini, entah sampai kapan, pasti nanti kami akan berhenti dan bosan, kami sedang bermain-main dengan apa yang kami namakan Poetography. Apa itu? Entahlah, kata itu tercetus begitu saja. Kami? Ya, kami saya dan Fajar Nugros aka @captainugros . Dia seorang produser dan sutradara.
Kami berkawan di twitter, kami saling mengiringi, aku iringi dia, dia iringi saya. Suatu hari dia melampirkan sebuah foto di satu kicauannya. Saya suka foto itu. Tanpa direncanakan, saya sajakkan foto itu. Saya temukan lagi beberapa foto, saya sajakkan lagi.
Saya bilang, kalau seorang Fajar Nugros memotret sesuatu, pasti itu disutradarai oleh hati. Sesuatu yang menggerakkan dia untuk memotret akan terbawa sejara ajaib dalam fotonya. Dan kemudian sesuatu yang entah apa itu terkirim juga ke saya. Itulah yang menggerakkan saya menyajak.
Komunikasi kami benar-benar hanya lewat twitter. Saya tidak banyak bertanya, foto apa dan apa yang ada di fotonya. Dia hanya menjelaskan sekenanya saja. Ini benar-benar sebuah "kerja budaya" he he. Oh, ya, jika ingin melihat foto apa yang saya sajakkan, silakan klik blog POETOGRAPHY ini.
Kami berkawan di twitter, kami saling mengiringi, aku iringi dia, dia iringi saya. Suatu hari dia melampirkan sebuah foto di satu kicauannya. Saya suka foto itu. Tanpa direncanakan, saya sajakkan foto itu. Saya temukan lagi beberapa foto, saya sajakkan lagi.
Saya bilang, kalau seorang Fajar Nugros memotret sesuatu, pasti itu disutradarai oleh hati. Sesuatu yang menggerakkan dia untuk memotret akan terbawa sejara ajaib dalam fotonya. Dan kemudian sesuatu yang entah apa itu terkirim juga ke saya. Itulah yang menggerakkan saya menyajak.
Komunikasi kami benar-benar hanya lewat twitter. Saya tidak banyak bertanya, foto apa dan apa yang ada di fotonya. Dia hanya menjelaskan sekenanya saja. Ini benar-benar sebuah "kerja budaya" he he. Oh, ya, jika ingin melihat foto apa yang saya sajakkan, silakan klik blog POETOGRAPHY ini.
Labels:
poetography
Sore di Jalanan Kota Kecil Groningen
: @captainugros
"DI depan itu, Adikku, kita akan berbelok!"
"Kemana, Kakak? Kirikah atau kanankah?"
"Ke atas, Adikku, ke arah matahari itu!"
*
DI Groningen, entah di mana kau di Groningen
Aku bayangkan sepasang sepeda dikayuh lekas
Dan bayangan itu tahu, dia tak mungkin bisa
ditinggalkan. Nanti, cakrawala akan sampai
ke matahari sore, bayangan itu terleburkan
Di bukan Groningen, entah di mana juga itu,
Aku dikejar bayangan yang lari dari satu sajak
"Aha, aku tahu jawaban yang diperdebatkan
oleh penyair tua dan bocah dari masa kecilnya!"
*
"Aku ingin sekali punya bayangan, sepeti kamu!"
"Tapi, kamu kan yang membikin kami berbayangan"
"Aku ingin sekali ada yang sampai bersepeda
ke sini, ke cahaya yang tak panjang terangnya"
"Aku nanti sampai ke sana, memetikmu, memetiknya"
"DI depan itu, Adikku, kita akan berbelok!"
"Kemana, Kakak? Kirikah atau kanankah?"
"Ke atas, Adikku, ke arah matahari itu!"
*
DI Groningen, entah di mana kau di Groningen
Aku bayangkan sepasang sepeda dikayuh lekas
Dan bayangan itu tahu, dia tak mungkin bisa
ditinggalkan. Nanti, cakrawala akan sampai
ke matahari sore, bayangan itu terleburkan
Di bukan Groningen, entah di mana juga itu,
Aku dikejar bayangan yang lari dari satu sajak
"Aha, aku tahu jawaban yang diperdebatkan
oleh penyair tua dan bocah dari masa kecilnya!"
*
"Aku ingin sekali punya bayangan, sepeti kamu!"
"Tapi, kamu kan yang membikin kami berbayangan"
"Aku ingin sekali ada yang sampai bersepeda
ke sini, ke cahaya yang tak panjang terangnya"
"Aku nanti sampai ke sana, memetikmu, memetiknya"
Labels:
poetography
Sehari Setelah Ibu Tak Ada
: @captainugros
SELAIN kami berduka, kami juga gelisah, Ibu
Seperti pemain biola yang tak tahu harus
memainkan apa: Setangkai Anggrek Bulan,
atau ninabobo yang terlalu kami rindukan
tapi tak pernah sempat engkau senandungkan
*
Selain kami bersedih, kami sangat lapar, Ibu
Kami, adalah anak-anakmu yang sungguh lelaki
Ini bukan lagi masakan yang kau siapkan
Yang kau sajikan dengan sesaf pertanyaan:
Sudah sejauh apa sepatu mengembarakanmu?
Sudah kalian siapkan tanah untuk kuburku?
Kenapa pergi lagi perempuan, yang pernah
kau perkenalkan sebagai ibu anak-anakmu?
*
Selain ikhlas, kami pun amat kehilangan, Ibu
Kami sudah lebih dahulu, meninggalkan kamu,
berebut waktu dengan hidup yang buru-buru,
menjadikan engkau ibu yang yatim dan piatu
SELAIN kami berduka, kami juga gelisah, Ibu
Seperti pemain biola yang tak tahu harus
memainkan apa: Setangkai Anggrek Bulan,
atau ninabobo yang terlalu kami rindukan
tapi tak pernah sempat engkau senandungkan
*
Selain kami bersedih, kami sangat lapar, Ibu
Kami, adalah anak-anakmu yang sungguh lelaki
Ini bukan lagi masakan yang kau siapkan
Yang kau sajikan dengan sesaf pertanyaan:
Sudah sejauh apa sepatu mengembarakanmu?
Sudah kalian siapkan tanah untuk kuburku?
Kenapa pergi lagi perempuan, yang pernah
kau perkenalkan sebagai ibu anak-anakmu?
*
Selain ikhlas, kami pun amat kehilangan, Ibu
Kami sudah lebih dahulu, meninggalkan kamu,
berebut waktu dengan hidup yang buru-buru,
menjadikan engkau ibu yang yatim dan piatu
Labels:
poetography
Tuesday, February 8, 2011
Di Stasiun Eurostar ke London
: @captainugros
INI hampir saja kukeluhkan
Kenapa, di sini
banyak sekali perpisahan
Tapi, bukankah memang untuk itu
stasiun diciptakan?
Betapa murah kesedihan
di sini
Aku harus pastikan
Ada cukup kisah recehan
Karena hanya itu yang bisa
membeli kepura-puraan
"Jangan terlalu mahal menghargai
cinta," kata seorang kawan
Dan itulah salahku,
karena itu aku tervonis
- tanpa pembela dan pembelaan -
oleh ini perjalanan
Seperti selalu
kita yang berpelukan itu
Memastikan kehilangan
Memutlakkan kesedihan
AKU tak mendekat
ke papan pengumumam
jadwal keberangkatan
dan ihwal kedatangan
Bukankah nanti
Tak akan ada engkau menunggu
di stasiun manapun
aku sudahkan kepergian?
INI hampir saja kukeluhkan
Kenapa, di sini
banyak sekali perpisahan
Tapi, bukankah memang untuk itu
stasiun diciptakan?
Betapa murah kesedihan
di sini
Aku harus pastikan
Ada cukup kisah recehan
Karena hanya itu yang bisa
membeli kepura-puraan
"Jangan terlalu mahal menghargai
cinta," kata seorang kawan
Dan itulah salahku,
karena itu aku tervonis
- tanpa pembela dan pembelaan -
oleh ini perjalanan
Seperti selalu
kita yang berpelukan itu
Memastikan kehilangan
Memutlakkan kesedihan
AKU tak mendekat
ke papan pengumumam
jadwal keberangkatan
dan ihwal kedatangan
Bukankah nanti
Tak akan ada engkau menunggu
di stasiun manapun
aku sudahkan kepergian?
Labels:
poetography
Monday, February 7, 2011
Di Stasiun Paris Gare Du Nord
: @captainugros
AKU kira itu pagi
Saat tidak tepat untuk berpisah
Pergi ke beda dua arah
Atau fragmen lain dari hari
yang tak ternamai?
Adegan yang disutradarai hati
Orang-orang berangkat dan datang
Sebagai diri sendiri
Dengan bekal koper-koper besar
berulang kali, cemas tertukar
Di stasiun ini kita tak lagi
memastikan siapa milik siapa
*
Adegan yang disutradarai hati
Jika kita berpisah juga
di Stasiun ini
Aku akan memelukmu
Setelah kuletakkan tas bepergianku
Agar sempurna
lingkar kedua tanganku di tubuhmu
AKU kira itu pagi
Saat tidak tepat untuk berpisah
Pergi ke beda dua arah
Atau fragmen lain dari hari
yang tak ternamai?
Adegan yang disutradarai hati
Orang-orang berangkat dan datang
Sebagai diri sendiri
Dengan bekal koper-koper besar
berulang kali, cemas tertukar
Di stasiun ini kita tak lagi
memastikan siapa milik siapa
*
Adegan yang disutradarai hati
Jika kita berpisah juga
di Stasiun ini
Aku akan memelukmu
Setelah kuletakkan tas bepergianku
Agar sempurna
lingkar kedua tanganku di tubuhmu
Labels:
poetography
Sunday, February 6, 2011
DI Seberang Notre Damme
: @captainugros
KAU mengunyah sepotong pizza beku
bertatapan dengan gedung murung itu
Kau merpati itu: Jantan yang ragu
Apa yang kaupatuki
Mungkin hanya bebijian anganmu
Dia menebarkannya
sebelum meninggalkanmu
*
Dia mengejarmu ke hingga yang mana saja,
juga di halaman terakhir majalah mahal itu
Tapi dia tak pernah ingin mencapaimu
Ada kaubayangkan - kau dan dia
Duduk bersisian, berkawan dengan sekotak Spago
menahan lapar dan dingin dari cuaca yang lain
Saling menawarkan sepotong pizza juga
Yang beku juga
Lalu kau dan dia, mencairkan dalam kunyahan
Perlahan. Perlahan.
KAU mengunyah sepotong pizza beku
bertatapan dengan gedung murung itu
Kau merpati itu: Jantan yang ragu
Apa yang kaupatuki
Mungkin hanya bebijian anganmu
Dia menebarkannya
sebelum meninggalkanmu
*
Dia mengejarmu ke hingga yang mana saja,
juga di halaman terakhir majalah mahal itu
Tapi dia tak pernah ingin mencapaimu
Ada kaubayangkan - kau dan dia
Duduk bersisian, berkawan dengan sekotak Spago
menahan lapar dan dingin dari cuaca yang lain
Saling menawarkan sepotong pizza juga
Yang beku juga
Lalu kau dan dia, mencairkan dalam kunyahan
Perlahan. Perlahan.
Labels:
poetography
Thursday, February 3, 2011
Lima Kisah Kecil Bunglon dan Kodok
1. Boing Bunglon sedang tidur. "Bangun!" Kata Kodi Kodok. "Kamu mimpi makan tomat ya?" Kok tahu? "Warnamu jadi merah!"
2. Boing Bunglon sedang tidur. "Bangun!" Kata Kodi Kodok. "Kamu mimpi makan tomat ya?" Kok tahu? "Warnamu jadi merah!"
3. Bagaimana membedakan si kembar Doki dan Kodi? "Tak perlu dibedakan, kami sama-sama kodok yang baik," kata mereka.
4. Kenapa kodok tidak berekor? "Karena kami diciptakan untuk jadi pelompat ulung," kata Kodi Kodok.
5. "Lidahku lebih panjang," kata Boing Bunglon. "Tapi aku bisa melompat jauh," kata Kodi Kodok.
2. Boing Bunglon sedang tidur. "Bangun!" Kata Kodi Kodok. "Kamu mimpi makan tomat ya?" Kok tahu? "Warnamu jadi merah!"
3. Bagaimana membedakan si kembar Doki dan Kodi? "Tak perlu dibedakan, kami sama-sama kodok yang baik," kata mereka.
4. Kenapa kodok tidak berekor? "Karena kami diciptakan untuk jadi pelompat ulung," kata Kodi Kodok.
5. "Lidahku lebih panjang," kata Boing Bunglon. "Tapi aku bisa melompat jauh," kata Kodi Kodok.
Gunting Waktu
TUBUHMU kalender baru, dengan tahun yang seakan tak mau berlalu di situ. Bulan-bulan mencatat cerita: kencan cemas dan harapan.
Maka kupetiklah. Dengan ragu di tangan, dan gemetar di hati. Seperti memetik seluruh engkau. Bagaimana nanti aku menanamnya?
Kau kutanam di samping sebatang pohon malam. Kau tumbuh dan merambat di situ. Aku suka menangis, menyiramkan airmataku.
Kelinci yang tertidur di mataku, terbangun, dan melompat. Ia tak takut lagi pada tajam gunting waktu. Ia rindu bulan dalam kalender tubuhmu.
Maka kupetiklah. Dengan ragu di tangan, dan gemetar di hati. Seperti memetik seluruh engkau. Bagaimana nanti aku menanamnya?
Kau kutanam di samping sebatang pohon malam. Kau tumbuh dan merambat di situ. Aku suka menangis, menyiramkan airmataku.
Kelinci yang tertidur di mataku, terbangun, dan melompat. Ia tak takut lagi pada tajam gunting waktu. Ia rindu bulan dalam kalender tubuhmu.
Warna Merah yang Sederhana
SEPERTI pertengkaran sepasang penari dan pertemuan terakhir di stasiun: dua adegan bergantian, dua nyanyian bersahutan.
Aku memungut kalung, terlempar dari dada yang gempa, di larik awal, di jalan menuju perkumpulan orang-orang kesepian.
Dia sudah menari, sejak membanting pintu, dan berlari ke lantai yang diresapi cahaya. Kita, hati kehilangan, mencoba saling menemukan.
Aku memungut kalung, terlempar dari dada yang gempa, di larik awal, di jalan menuju perkumpulan orang-orang kesepian.
Dia sudah menari, sejak membanting pintu, dan berlari ke lantai yang diresapi cahaya. Kita, hati kehilangan, mencoba saling menemukan.
Wednesday, February 2, 2011
Lagu Lima Ekor Katak dalam Selembar Lukisan Cina
Kami tahu tak banyak yang kami bisa
Tapi kami lakukan apa yang kami bisa
Takdir kami takdir para pengembara
Kenangan kami tumpah luas samudera
Kami tak bisa pergi jauh dari kami
Tapi kami tak akan bisa terhentikan
Kami tak pernah sembunyikan wajah
Kami merenangi arus takdir di dunia
:: Gambar dipinjam dari sini.
Tapi kami lakukan apa yang kami bisa
Takdir kami takdir para pengembara
Kenangan kami tumpah luas samudera
Kabarkan pada kami, siapa yang suka
berduka, jika tahu cara bernyanyi
merayakan hujan, seperti gembira kami?
Kami tak bisa pergi jauh dari kami
Tapi kami tak akan bisa terhentikan
Kami tak pernah sembunyikan wajah
Kami merenangi arus takdir di dunia
Kabarkan pada kami, siapa yang perlu
sayap, jika punya tunjang sepasang
kaki, sejenjang kaki belakang kami?
:: Gambar dipinjam dari sini.
Subscribe to:
Posts (Atom)