SEJAK 28 November 2008, kita punya Undang-undang Pornografi. Inilah Undang-undang yang perumusannya memakan waktu dan menguras energi luar biasa banyaknya. Inilah undang-undang yang - meskipun namanya tak memakai kata anti - yang tegas menolak pornografi, tapi setengah hati. Dan ini aneh.
Indonesia tak sendiri dalam hal ini. Saudia Arabia, Iran, Syria, Bahrain, Mesir, Uni Emirat Arab, Kuwait, Malaysia, Singapura, Kenya, India, Kuba, dan Cina, adalah negara-negara di dunia yang dengan tegas tidak melegalkan industri pornografi. Tapi, masing-masing tentu berbeda bagaimana cara mengatur material atau produk bermuatan pornografi.
UU Pornografi di Indonesia, usulannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah dimulai sejak tahun 1997. Draf pertama baru jadi sembilan tahun kemudian. Pada tahun 2006 DPR mulai membahas draf RUU yang saat itu berisi 11 bab dan 93 pasal.
Setelah melewati serangkaian rapat yang mahal, diwarnai aksi meninggalkan sidang oleh fraksi PDIP dan PDS, demo berganti dari pihak yang menentang dan mendukung, sampai bentrok fisik, dan perlawanan dari beberapa daerah yang merasa terancam, akhirnya undang-undang yang semula bernama RUU Pornografi dan Pornoaksi itu pun jadi. Di lembaran negara dia diberi nomor 44.
Harusnya, kalau kita patuh pada undang-undang itu, saat ini tidak ada satu pun materi pornografi tersimpan di rumah, di kantor, di mobil, di laptop, di komputer atau di telepon genggam kita.
Kenapa? Sebab di Bab VIII, Ketentuan Penutup, Pasal 43 disebutkan bahwa saat undang-undang ini berlaku, dalam waktu paling lama satu bulan (ya satu bulan) setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.
Saya tidak pernah mendengar ada gerakan massal warga menyerahkan materi pornografi ke kantor polisi. Ini, adalah bukti pertama dan telak betapa Undang-undang tersebut tak manjur!
Sebenarnya pakah pornografi menurut undang-undang tersebut?
Kita tengok Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1. Di sana disebutkan bahwa pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Undang-undang itu mungkin seperti puisi. Ditulis dengan amat serius, tapi tak banyak yang membacanya, apalagi yang mengerti. Ada beberapa bagian dari rumusan pornografi di Undang-undang Nomor 44 itu yang masih bisa diperdebatkan. Apakah batasan dari kecabulan itu? Apakah eksploitasi seksual itu? Apakah artinya melanggar norma kesusilaan itu? Tidak ada uraian soal itu di bagian penjelasan! Padahal inilah hal yang bisa menjerat siapa saja.
Lalu, beberapa pekan ini kita disergap skandal video seks pesohor kita. Kita layak cemas. Soalnya, si pesohor adalah sosok yang digemari luas di kalangan muda kita. Saya tak perlu menyebut namanya karena pasti sudah sebagian besar orang di negeri ini tahu. Di Twitter beberapa hari nama itu menjadi topik hangat. Inilah, menurut saya, saatnya kita menguji sekali lagi keampuhan Undang-Undang Pornografi kita itu.
Si sosok yang mirip itu dijerat dengan pasal-pasal dari undang-undang tersebut. Tapi, dia juga bisa lolos dengan berkelit di celah-celah regulasi tersebut.
Kenapa? Di penjelasan ada disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "membuat" sebagaimana termuat di pasal 4, adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Nah, kan? Inilah kesetengahhatian itu.
Lalu bagaimana dengan sangkaan memiliki dan menyimpan? Di penjelasan juga ada pengecualian "memiliki atau menyimpan". Itu boleh dilakukan asal untuk diri sendiri dan kepentingan sendiri. Nah! Saya kira, di sinilah UU ini tampak bolong tidak tegas. Si sosok mirip tadi, tinggal mengaku dan bilang bahwa itu adalah kepentingan sendiri, dengan begitu dia bisa melenggang lolos!
Adakah jaminan bahwa si mirip pesohor itu (atau pesohor lain) tak akan mengulangi hal yang sama? Tidak ada! UU tersebut gagal menyentuh tujuannya, yaitu memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat; memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
Belum lagi dipersidangkan, si pesohor kita itu sudah mendapat dukungan agar ia dibebaskan dari segala tuduhan. Artinya apa? Jangan-jangan para pendukung itu "tidak merasa dilanggar norma kesusilaannya", sementara kelompok lain di luar wilayah hukum sudah pula bertindak "menghukum" si pesohor itu, berdemo di rumahnya, sampai memaksa tutup restorannya. Lagi-lagi saya melihat UU Pornografi kita itu terancam tidak bergigi!
UU Pornografi kita itu, secara tidak langsung sebenarnya mengakui bahwa kita hidup di negeri yang diam-diam dikepung pornografi, kita tidak melegalkannya, tetapi kita ingin mengaturnya! Kita ingin melawannya, tapi kita tak cukup punya peluru dan senjata untuk berperang. Sebenarnya ini adalah keinginan yang baik dan benar. Bahkan seorang Steve Jobs merancang semua produk komputernya secara cerdas menyaring akses ke situs-situs porno.
UU Pornografi kita itu menunjukkan satu hal: betapa kikuknya kita menangani hal-ihwal pornografi – kata yang berasal dua kata dari bahasa Yunani yaitu pelacur dan tulisan itu. Ditambah lagi – dalam kasus skandal video seks pesohor kita itu tadi – kini penyabaran pornografi menjadi mudah dan lekas karena Internet.
Berikut ini gambaran tentang “betapa pornonya” dunia kita ini: Setiap detik Rp27 juta uang dibelanjakan untuk membeli materi pornografi! Setiap detik secara bersamaan, 28.258 orang menyaksikan gambar atau video porno di internet! Setiap detik 372 orang mengetikkan kata-kata yang menyerempet pornografi di mesin pencari. Dan di Amerika setiap 39 menit, diproduksi sebuah video porno! Amerika adalah produsen produk pornografi terbesar di dunia, disusul Brazil.
Dengan kepungan pornografi semeriah itu, dan intenet membuat dunia tak lebih hanyalah desa global, bisakah dan perlukah kita menutup semua akses ke sumber-sumber bermuatan pornografi di Internet? Menkominfo Tifatul Sembiring punya rencana itu. Tapi, di tengah iklim keterbukaan seperti saat ini, tindakan itu tidak popular dan secara teknik selalu ada celah untuk secara ilegal memperdagangkan pornografi di dunia maya. Kita bisa melihat apa yang terjadi di Cina.
Di awal tulisan ini sudah disebutkan bahwa negara itu melarang industri pornografi. Tapi apa yang terjadi? Ternyata penduduknya adalah mengkonsumsi produk-produk esek-esek itu paling rakus sedunia. Nilainya Rp246 triliun lebih, disusul Korea Selatan, Jepang, Amerika dan Australia. Kita juga bisa lihat, penghasilan terbesar nomor dua industri pornografi di dunia sekarang berasal dari Internet, setelah penjualan dan sewa video. Saya pesimis kita bisa membendung pornografi dengan UU Pornografi yang setengah hati itu.
Pesan dari kolom ini jelas: Kita harus serius membicarakan lagi soal pornografi dan UU Pornografi. Tapi, kali ini dengan kepala yang sangat dingin! ***