INI cerita tentang Ali Sadikin. Saya mendengarnya dari anggota Dewan Pers Bambang Harimurti. Ali Sadikin adalah gubernur yang paling berjasa membangun Jakarta.
Sampai ia meninggal 20 Mei 2008 orang masih nyaman memanggilnya Bang Ali. Ini bukan sapaan yang dibuat-buat, ini bukan sapaan yang asal terdengar akrab saja. Ia memang akrab dengan warga Jakarta. Ia dapat tempat khusus di benak warga Jakarta.
“Waktu ditunjuk menjadi Gubernur Jakarta, Bang Ali bingung bagaimana mau membangun. Anggarannya cuma Rp66 juta,” kata Bambang, dalam Pelatihan Ahli Dewan Pers, di Batam, Selasa lalu.
Padahal waktu itu, Jakarta – yang oleh Belanda disiapkan hanya dihuni oleh 600-800 ribu orang - sudah disesaki 3,4 juta jiwa. Jakarta adalah raksasa tidur yang perlu dibangunkan dengan dana dinosaurus. Masalahnya ekonomi saat itu sedang buruk sekali. Inflasi 600 persen. Bangunan sekolah, pusat pelayanan kesehatan, dan rumah ibadah minim. Jalanan mulai disesaki kendaraan. Infrastruktur lain? Huh, sama buruknya. Sebagai ibukota Negara, Jakarta memalukan.
Naluri Presiden Soekarno yang menunjuk Bang Ali waktu itu tepat. Bang Ali - Letnan Jenderal Angkatan Laut itu, orang yang ‘kopig’ alias keras kepala itu - tak menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan padanya.
Memang, cara yang ia tempuh, kelak ia sadari, adalah jalan penuh kontroversi: Ia melegalkan judi. Ia satukan kawasan pelacuran. Ia legalkan panti pijat dan tempat hiburan. Ini bukan perkara mudah. Tapi dari situ, saat itu, sekitar Rp 40 miliar masuk kas daerah DKI Jakarta tiap tahun. Mesin pembangunan pun bisa diputar cepat.
Puaskah Bang Ali? Dia cemas. Uang sebesar itu rawan dikorupsi. Aparat yang biasanya mengelola anggaran cekak, kini harus pegang uang banyak. Godaan makin besar.
Bagaimana Bang Ali menghindari ini? Kita beralih ke cerita lain lebih dahulu.
Pada zaman Bang Ali pula Adnan Buyung Nasution bergerak dengan Lembaga Bantuan Hukum. Ini sebuah kantor pengacara yang banyak mengadvokasi orang kecil, korban dari gerak laju pembangunan kota metropolitan itu. Ribuan gugatan dialamatkan oleh LBH ke Pemerintah DKI Jakarta. Pada banyak kasus, pemerintah kalah. Padahal, penopang dana utama dari lembaga hukum ini adalah Ali Sadikin juga, ya Bang Ali yang Gubernur DKI itu juga.
Pada zaman Bang Ali pula, pemerintah DKI lewat PT Pembangunan Jaya, memberi modal pada Goenawan Mohamad dan kawan-kawan mendirikan Majalah Tempo. Kita tahu, Tempo adalah majalah yang sejak awal menenggakkan idealisme jurnalistik yang ketat. Dan Pemerintah DKI Jakarta – si pemberi modal bagi Tempo - bukan obyek yang haram untuk ditelanjangi.
“Saya heran, dan semasa Bang Ali hidup pernah saya tanya langsung ke beliau,” kata Bambang Harimurti, petinggi di Tempo, yang pernah jadi Pemimpin Redaksi juga di majalah itu.
Apa jawaban Bang Ali, tokoh kelahiran Sumedang, 7 Juli 1927 itu? “Itulah cara saya mengawasi pegawai dan pembangunan di DKI. Itulah cara paling efektif agar korupsi tidak terjadi,” katanya.
Ini pilihan yang luar biasa cerdasnya. Dan tepat. Bang Ali tidak menempuh jalan memperbanyak aparat pengawas atau inspeksi yang hanya akan menambah anggaran gaji dan kemungkinan besar kelak akan tergoda korupsi juga.
“Kalau saya kasih dana untuk LBH Buyung dan Tempo-nya Goenawan, berapa besar, sih? Tapi, efektivitas pengendaliannya luar biasa,” kata Bang Ali, sebagaimana ditirukan oleh Bambang.
Bang Ali tentu tidak sempurna. Tapi, pilihannya pada banyak hal kini harus diakui adalah warisan teladan atas konsep, pemikiran dan tindakan yang hebat. Bang Ali memilih pers yang bebas dan penegakan hukum. Dengan dua hal itu, pengawasan jadi ketat, dan dana pembangunan tak mengalir ke kantong koruptor.
Bang Ali mendahului apa yang kelak ditemuka oleh Bank Dunia. Hasil penelitian lembaga tersebut, di Negara-negara yang persnya dijamin kebebasannya, kesejahteraan rata-rata jauh lebih tinggi dibandingkan Negara-negara yang refresif terhadap pers.
Ia berteriak keras menentang dan mengritik pemerintahan Suharto, dan ia dicap sebagai pembangkang! Ia membidani kelompok diskusi bernama Petisi 50 pada tahun 1980 yang bersuara keras terhadap ketidakberesan pemerintah saat itu. Karena aktivitasnya itu ia cekal pemerintahan Orde Baru, walaupun ia tak pernah diadili dan dipenjarakan.
Konsistensinya ia pertahankan sampai ia mati. Ia dimakamkan menumpang di makam istrinya. Ini adalah wasiat lamanya, karena selain cintanya pada wanita yang memberinya lima anak yang telah mendahului itu - dia tahu, lahan di Jakarta semakin sempit.
***
Batam 2010, tentu bukan Jakarta 1966. Tapi, saya amat yakin, kota ini perlu dipimpin oleh orang yang ‘kopig’, sekeras kepala Bang Ali. Keras, tidak asal keras. Ia harus tahu – mengutip lirik lagu pop – mau dibawa kemana kota ini. Lalu dengan pengetahuan itu, ia cerdas mencari cara agar kota ini berkembang ke arah itu.
Saya sangat mencintai momentum saat menyetir di sepanjang jalan Sekupang – dari simpang ke Tanjungriau ke pelabuhan itu. Kenapa? Pohon-pohon di median jalan dan di kiri-kanannya tumbuh sempurna dan membikin keteduhan yang luar biasa. Saya kira ini adalah ruas jalan terbaik di Batam.
Saya bayangkan ada pemimpin yang dengan keras kepala memerintahkan agar pohon peneduh di jalan utama ke Batam Center itu dicabut dan ditanami ulang, karena saya yakin pohon-pohon itu tak akan tumbuh hingga serindang jalan di Sekupang. Saya kira ada kesalahan sejak awal penanaman di situ.
Saya bayangkan ada pemimpin yang seperti Bang Ali di Jakarta memimpikan pusat perfilman Usmar Ismail menjadi seperti Hollywood. Saya bayangkan ada pemimpin yang mengonsep dan mewujudkan pusat kesenian di Batam, seperti Taman Ismail Marzuki di Jakarta. Yang bicara soal ini banyak. Tapi, saya belum melihat ada yang punya konsep yang baik, dan kemudian melangkah untuk sungguh-sungguh mewujudkannya.
Kota-kota terbaik di dunia, adalah kota yang berkembang dengan perencanaan yang ketat. Bukan kota yang tumbuh asal-asalan saja. Kawan saya yang sepelatihan kemarin, melihat Batam belum terlalu melenceng perkembangannya.
Artinya? “Ini bisa dikembalikan ke konsep semula, ke rancangan awal yang dibuat dengan sangat bagus oleh Otorita Batam. Seperti mimpi-mimpinya Pak Habibie waktu itulah,” katanya.
Jangan sampai, Habibie, kelak semakin menyesal dan menjadi seperti Bang Ali merasa “dikhianati”. Di mata Bang Ali, gubernur Jakarta sesudahnya, membuat Jakarta tumbuh menjadi kota yang tidak nyaman. Padahal dia dulu berkata, "Sebagai pemimpin, saya harus melindungi dan menyejahterakan rakyat. Itu prinsip saya."
Batam perlu pemimpin yang seperti itu. Orang yang sadar menyebut dirinya adalah Pemimpin, tahu tugasnya adalah melindungi dan menyejahterakan rakyat, dan kukuh memegang itu sebagai prinsip. Adakah? Harus ada. Kita harus menemukannya, tapi mungkin tidak di baliho kepagian yang memamerkan senyum lebar yang sama sekali tidak manis. ***