SEJAK 28 November 2008, kita punya Undang-undang Pornografi. Inilah Undang-undang yang perumusannya memakan waktu dan menguras energi luar biasa banyaknya. Inilah undang-undang yang - meskipun namanya tak memakai kata anti - yang tegas menolak pornografi, tapi setengah hati. Dan ini aneh.
Indonesia tak sendiri dalam hal ini. Saudia Arabia, Iran, Syria, Bahrain, Mesir, Uni Emirat Arab, Kuwait, Malaysia, Singapura, Kenya, India, Kuba, dan Cina, adalah negara-negara di dunia yang dengan tegas tidak melegalkan industri pornografi. Tapi, masing-masing tentu berbeda bagaimana cara mengatur material atau produk bermuatan pornografi.
UU Pornografi di Indonesia, usulannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah dimulai sejak tahun 1997. Draf pertama baru jadi sembilan tahun kemudian. Pada tahun 2006 DPR mulai membahas draf RUU yang saat itu berisi 11 bab dan 93 pasal.
Setelah melewati serangkaian rapat yang mahal, diwarnai aksi meninggalkan sidang oleh fraksi PDIP dan PDS, demo berganti dari pihak yang menentang dan mendukung, sampai bentrok fisik, dan perlawanan dari beberapa daerah yang merasa terancam, akhirnya undang-undang yang semula bernama RUU Pornografi dan Pornoaksi itu pun jadi. Di lembaran negara dia diberi nomor 44.
Harusnya, kalau kita patuh pada undang-undang itu, saat ini tidak ada satu pun materi pornografi tersimpan di rumah, di kantor, di mobil, di laptop, di komputer atau di telepon genggam kita.
Kenapa? Sebab di Bab VIII, Ketentuan Penutup, Pasal 43 disebutkan bahwa saat undang-undang ini berlaku, dalam waktu paling lama satu bulan (ya satu bulan) setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.
Saya tidak pernah mendengar ada gerakan massal warga menyerahkan materi pornografi ke kantor polisi. Ini, adalah bukti pertama dan telak betapa Undang-undang tersebut tak manjur!
Sebenarnya pakah pornografi menurut undang-undang tersebut?
Kita tengok Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1. Di sana disebutkan bahwa pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Undang-undang itu mungkin seperti puisi. Ditulis dengan amat serius, tapi tak banyak yang membacanya, apalagi yang mengerti. Ada beberapa bagian dari rumusan pornografi di Undang-undang Nomor 44 itu yang masih bisa diperdebatkan. Apakah batasan dari kecabulan itu? Apakah eksploitasi seksual itu? Apakah artinya melanggar norma kesusilaan itu? Tidak ada uraian soal itu di bagian penjelasan! Padahal inilah hal yang bisa menjerat siapa saja.
Lalu, beberapa pekan ini kita disergap skandal video seks pesohor kita. Kita layak cemas. Soalnya, si pesohor adalah sosok yang digemari luas di kalangan muda kita. Saya tak perlu menyebut namanya karena pasti sudah sebagian besar orang di negeri ini tahu. Di Twitter beberapa hari nama itu menjadi topik hangat. Inilah, menurut saya, saatnya kita menguji sekali lagi keampuhan Undang-Undang Pornografi kita itu.
Si sosok yang mirip itu dijerat dengan pasal-pasal dari undang-undang tersebut. Tapi, dia juga bisa lolos dengan berkelit di celah-celah regulasi tersebut.
Kenapa? Di penjelasan ada disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "membuat" sebagaimana termuat di pasal 4, adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Nah, kan? Inilah kesetengahhatian itu.
Lalu bagaimana dengan sangkaan memiliki dan menyimpan? Di penjelasan juga ada pengecualian "memiliki atau menyimpan". Itu boleh dilakukan asal untuk diri sendiri dan kepentingan sendiri. Nah! Saya kira, di sinilah UU ini tampak bolong tidak tegas. Si sosok mirip tadi, tinggal mengaku dan bilang bahwa itu adalah kepentingan sendiri, dengan begitu dia bisa melenggang lolos!
Adakah jaminan bahwa si mirip pesohor itu (atau pesohor lain) tak akan mengulangi hal yang sama? Tidak ada! UU tersebut gagal menyentuh tujuannya, yaitu memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat; memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
Belum lagi dipersidangkan, si pesohor kita itu sudah mendapat dukungan agar ia dibebaskan dari segala tuduhan. Artinya apa? Jangan-jangan para pendukung itu "tidak merasa dilanggar norma kesusilaannya", sementara kelompok lain di luar wilayah hukum sudah pula bertindak "menghukum" si pesohor itu, berdemo di rumahnya, sampai memaksa tutup restorannya. Lagi-lagi saya melihat UU Pornografi kita itu terancam tidak bergigi!
UU Pornografi kita itu, secara tidak langsung sebenarnya mengakui bahwa kita hidup di negeri yang diam-diam dikepung pornografi, kita tidak melegalkannya, tetapi kita ingin mengaturnya! Kita ingin melawannya, tapi kita tak cukup punya peluru dan senjata untuk berperang. Sebenarnya ini adalah keinginan yang baik dan benar. Bahkan seorang Steve Jobs merancang semua produk komputernya secara cerdas menyaring akses ke situs-situs porno.
UU Pornografi kita itu menunjukkan satu hal: betapa kikuknya kita menangani hal-ihwal pornografi – kata yang berasal dua kata dari bahasa Yunani yaitu pelacur dan tulisan itu. Ditambah lagi – dalam kasus skandal video seks pesohor kita itu tadi – kini penyabaran pornografi menjadi mudah dan lekas karena Internet.
Berikut ini gambaran tentang “betapa pornonya” dunia kita ini: Setiap detik Rp27 juta uang dibelanjakan untuk membeli materi pornografi! Setiap detik secara bersamaan, 28.258 orang menyaksikan gambar atau video porno di internet! Setiap detik 372 orang mengetikkan kata-kata yang menyerempet pornografi di mesin pencari. Dan di Amerika setiap 39 menit, diproduksi sebuah video porno! Amerika adalah produsen produk pornografi terbesar di dunia, disusul Brazil.
Dengan kepungan pornografi semeriah itu, dan intenet membuat dunia tak lebih hanyalah desa global, bisakah dan perlukah kita menutup semua akses ke sumber-sumber bermuatan pornografi di Internet? Menkominfo Tifatul Sembiring punya rencana itu. Tapi, di tengah iklim keterbukaan seperti saat ini, tindakan itu tidak popular dan secara teknik selalu ada celah untuk secara ilegal memperdagangkan pornografi di dunia maya. Kita bisa melihat apa yang terjadi di Cina.
Di awal tulisan ini sudah disebutkan bahwa negara itu melarang industri pornografi. Tapi apa yang terjadi? Ternyata penduduknya adalah mengkonsumsi produk-produk esek-esek itu paling rakus sedunia. Nilainya Rp246 triliun lebih, disusul Korea Selatan, Jepang, Amerika dan Australia. Kita juga bisa lihat, penghasilan terbesar nomor dua industri pornografi di dunia sekarang berasal dari Internet, setelah penjualan dan sewa video. Saya pesimis kita bisa membendung pornografi dengan UU Pornografi yang setengah hati itu.
Pesan dari kolom ini jelas: Kita harus serius membicarakan lagi soal pornografi dan UU Pornografi. Tapi, kali ini dengan kepala yang sangat dingin! ***
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Wednesday, June 23, 2010
Friday, June 18, 2010
Kau adalah Luka di Lukaku
KAU adalah luka di punggungku. Sayat sakit
itu seperti lembut tanganmu, sepanjang malam
mengelusku, dan aku tak mau tidur.
KAU adalah luka di dahiku. Aku
memperlama lafaz doa dalam sujudmalamku,
menikmati makin parah perih itu.
KAU adalah luka di lidahku. Tiap
kali terasa sakitnya, aku seperti
sedang dipaksa menyebut namamu.
KAU adalah luka di telapak tanganku.
Aku menadah darah sendiri, agar tak
ada orang tahu ada luka di situ.
KAU adalah luka di dua kakiku.Luka
bekas kulepas besi belenggu, yang kini
tak lagi menahanku mengejar menemukanmu.
KAU adalah luka di hatiku. Aku menunggu
kelak kau bertanya, "dengan apa kusembuhkan
luka itu?" Dan kujawab, "lukai saja lagi aku!"
itu seperti lembut tanganmu, sepanjang malam
mengelusku, dan aku tak mau tidur.
KAU adalah luka di dahiku. Aku
memperlama lafaz doa dalam sujudmalamku,
menikmati makin parah perih itu.
KAU adalah luka di lidahku. Tiap
kali terasa sakitnya, aku seperti
sedang dipaksa menyebut namamu.
KAU adalah luka di telapak tanganku.
Aku menadah darah sendiri, agar tak
ada orang tahu ada luka di situ.
KAU adalah luka di dua kakiku.Luka
bekas kulepas besi belenggu, yang kini
tak lagi menahanku mengejar menemukanmu.
KAU adalah luka di hatiku. Aku menunggu
kelak kau bertanya, "dengan apa kusembuhkan
luka itu?" Dan kujawab, "lukai saja lagi aku!"
Dasar-dasar Ilmu Hukum
MELIUS EST ACCIEPERE QUAM
FACERE INJURIAM - Begitu benarnya!
Mencintaimu jauh lebih baik daripada
kenyataan bahwa kau tidak mencintaiku.
UT SEMENTEM FECERIS ITA METES -
Memang aku telah menanam, aku ingin
memetiknya di hatimu. Aku yang menabur,
kirim badaimu padaku!
IN DUBIO PRO REO - Jika kau ragu,
secepatnya kau terima saja aku. Jika kau ragu,
selekasnya kau bebaskan aku: mencintaimu.
COGITATIONIS PENAM PATITUR - Karena
aku memikirkan kamu. Jika siksa hati ini adalah
hukuman atasnya, aku tak akan naik banding!
RES NULLIUS VREDIT OCCUPANTI - Apakah
aku harus menelantarkan diriku di depan engkau?
Agar kau ambil aku, agar kau miliki aku!
LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALI -
Cintaku ini adalah undang-undang khususku,
kini. Karenamu, aku patuh padanya!
MELIUS EST ACCIEPERE QUAM FACERE
INJURIAM - Begitu benarnya! Mencintaimu jauh
lebih baik drpd kenyataan bahwa kau tidak mencintaiku.
HODI MIHI CRAS TIBI - Lupakan aku, abaikan
rinduku! Aku tak akan bertanya ini imbang atau
timpang: hatiku tetap mengekalkannya!
CONTANTE JUSTITIE - Aku tak punya saksi
atas perkara cinta ini. Jika kau tolak, aku
tak perlu pembela. Sidang aku selekasnya!
NE BIS IN IDEM - Dan aku sudah dihukum
berkali-kali atas kasus ini: aku mencintaimu.
Adililah aku dengan perkara ini, ribuan kali
FACERE INJURIAM - Begitu benarnya!
Mencintaimu jauh lebih baik daripada
kenyataan bahwa kau tidak mencintaiku.
UT SEMENTEM FECERIS ITA METES -
Memang aku telah menanam, aku ingin
memetiknya di hatimu. Aku yang menabur,
kirim badaimu padaku!
IN DUBIO PRO REO - Jika kau ragu,
secepatnya kau terima saja aku. Jika kau ragu,
selekasnya kau bebaskan aku: mencintaimu.
COGITATIONIS PENAM PATITUR - Karena
aku memikirkan kamu. Jika siksa hati ini adalah
hukuman atasnya, aku tak akan naik banding!
RES NULLIUS VREDIT OCCUPANTI - Apakah
aku harus menelantarkan diriku di depan engkau?
Agar kau ambil aku, agar kau miliki aku!
LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALI -
Cintaku ini adalah undang-undang khususku,
kini. Karenamu, aku patuh padanya!
MELIUS EST ACCIEPERE QUAM FACERE
INJURIAM - Begitu benarnya! Mencintaimu jauh
lebih baik drpd kenyataan bahwa kau tidak mencintaiku.
HODI MIHI CRAS TIBI - Lupakan aku, abaikan
rinduku! Aku tak akan bertanya ini imbang atau
timpang: hatiku tetap mengekalkannya!
CONTANTE JUSTITIE - Aku tak punya saksi
atas perkara cinta ini. Jika kau tolak, aku
tak perlu pembela. Sidang aku selekasnya!
NE BIS IN IDEM - Dan aku sudah dihukum
berkali-kali atas kasus ini: aku mencintaimu.
Adililah aku dengan perkara ini, ribuan kali
Tak Semata Mata dan Metafora Lainnya
MATAMU sepasang taman. Kelinci-kelinci
kecil berlompatan, seperti airmataku, jika
aku menangis dulu. Bulu matamu, pagar pandan.
Rambutmu serat-serat hujan malam. Aku
menenun dengan tangan. Sepasang balam
berdiam di pagar titian mataku-matamu.
Lidahmu hiu kecil merah jambu, bersirip ajaib,
yang mengecipakkan kata-kata mantra,
saat ia merenang di teluk teduh: mulutku.
Alismu kebun buluh. Sebatang kutebang,
kucuri waktu petang. Nanti, di tengah sunyi,
aku mengendap datang: memancing bimbang.
Telingamu kupu-kupu. Kepaknya mengonserkan
partitur warna sayapnya. Ada yang ia bisikkan
selalu: larva rindu. Kelak menetas di hatimu.
Bibirmu kawanan angsa merah. Berenang
melingkari danau, bening dan hening. Aku?
Pemburu piatu, busurku patah, habis anak panah.
Dadamu padat kubis, kupuja tumbuhnya
selapis-selapis.Warna putih itu, kutabung
dari terang pertama, fajar bangkit.
kecil berlompatan, seperti airmataku, jika
aku menangis dulu. Bulu matamu, pagar pandan.
Rambutmu serat-serat hujan malam. Aku
menenun dengan tangan. Sepasang balam
berdiam di pagar titian mataku-matamu.
Lidahmu hiu kecil merah jambu, bersirip ajaib,
yang mengecipakkan kata-kata mantra,
saat ia merenang di teluk teduh: mulutku.
Alismu kebun buluh. Sebatang kutebang,
kucuri waktu petang. Nanti, di tengah sunyi,
aku mengendap datang: memancing bimbang.
Telingamu kupu-kupu. Kepaknya mengonserkan
partitur warna sayapnya. Ada yang ia bisikkan
selalu: larva rindu. Kelak menetas di hatimu.
Bibirmu kawanan angsa merah. Berenang
melingkari danau, bening dan hening. Aku?
Pemburu piatu, busurku patah, habis anak panah.
Dadamu padat kubis, kupuja tumbuhnya
selapis-selapis.Warna putih itu, kutabung
dari terang pertama, fajar bangkit.
Wednesday, June 16, 2010
[kolom] Mau Dibawa ke Mana Batam Kita?
INI cerita tentang Ali Sadikin. Saya mendengarnya dari anggota Dewan Pers Bambang Harimurti. Ali Sadikin adalah gubernur yang paling berjasa membangun Jakarta.
Sampai ia meninggal 20 Mei 2008 orang masih nyaman memanggilnya Bang Ali. Ini bukan sapaan yang dibuat-buat, ini bukan sapaan yang asal terdengar akrab saja. Ia memang akrab dengan warga Jakarta. Ia dapat tempat khusus di benak warga Jakarta.
“Waktu ditunjuk menjadi Gubernur Jakarta, Bang Ali bingung bagaimana mau membangun. Anggarannya cuma Rp66 juta,” kata Bambang, dalam Pelatihan Ahli Dewan Pers, di Batam, Selasa lalu.
Padahal waktu itu, Jakarta – yang oleh Belanda disiapkan hanya dihuni oleh 600-800 ribu orang - sudah disesaki 3,4 juta jiwa. Jakarta adalah raksasa tidur yang perlu dibangunkan dengan dana dinosaurus. Masalahnya ekonomi saat itu sedang buruk sekali. Inflasi 600 persen. Bangunan sekolah, pusat pelayanan kesehatan, dan rumah ibadah minim. Jalanan mulai disesaki kendaraan. Infrastruktur lain? Huh, sama buruknya. Sebagai ibukota Negara, Jakarta memalukan.
Naluri Presiden Soekarno yang menunjuk Bang Ali waktu itu tepat. Bang Ali - Letnan Jenderal Angkatan Laut itu, orang yang ‘kopig’ alias keras kepala itu - tak menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan padanya.
Memang, cara yang ia tempuh, kelak ia sadari, adalah jalan penuh kontroversi: Ia melegalkan judi. Ia satukan kawasan pelacuran. Ia legalkan panti pijat dan tempat hiburan. Ini bukan perkara mudah. Tapi dari situ, saat itu, sekitar Rp 40 miliar masuk kas daerah DKI Jakarta tiap tahun. Mesin pembangunan pun bisa diputar cepat.
Puaskah Bang Ali? Dia cemas. Uang sebesar itu rawan dikorupsi. Aparat yang biasanya mengelola anggaran cekak, kini harus pegang uang banyak. Godaan makin besar.
Bagaimana Bang Ali menghindari ini? Kita beralih ke cerita lain lebih dahulu.
Pada zaman Bang Ali pula Adnan Buyung Nasution bergerak dengan Lembaga Bantuan Hukum. Ini sebuah kantor pengacara yang banyak mengadvokasi orang kecil, korban dari gerak laju pembangunan kota metropolitan itu. Ribuan gugatan dialamatkan oleh LBH ke Pemerintah DKI Jakarta. Pada banyak kasus, pemerintah kalah. Padahal, penopang dana utama dari lembaga hukum ini adalah Ali Sadikin juga, ya Bang Ali yang Gubernur DKI itu juga.
Pada zaman Bang Ali pula, pemerintah DKI lewat PT Pembangunan Jaya, memberi modal pada Goenawan Mohamad dan kawan-kawan mendirikan Majalah Tempo. Kita tahu, Tempo adalah majalah yang sejak awal menenggakkan idealisme jurnalistik yang ketat. Dan Pemerintah DKI Jakarta – si pemberi modal bagi Tempo - bukan obyek yang haram untuk ditelanjangi.
“Saya heran, dan semasa Bang Ali hidup pernah saya tanya langsung ke beliau,” kata Bambang Harimurti, petinggi di Tempo, yang pernah jadi Pemimpin Redaksi juga di majalah itu.
Apa jawaban Bang Ali, tokoh kelahiran Sumedang, 7 Juli 1927 itu? “Itulah cara saya mengawasi pegawai dan pembangunan di DKI. Itulah cara paling efektif agar korupsi tidak terjadi,” katanya.
Ini pilihan yang luar biasa cerdasnya. Dan tepat. Bang Ali tidak menempuh jalan memperbanyak aparat pengawas atau inspeksi yang hanya akan menambah anggaran gaji dan kemungkinan besar kelak akan tergoda korupsi juga.
“Kalau saya kasih dana untuk LBH Buyung dan Tempo-nya Goenawan, berapa besar, sih? Tapi, efektivitas pengendaliannya luar biasa,” kata Bang Ali, sebagaimana ditirukan oleh Bambang.
Bang Ali tentu tidak sempurna. Tapi, pilihannya pada banyak hal kini harus diakui adalah warisan teladan atas konsep, pemikiran dan tindakan yang hebat. Bang Ali memilih pers yang bebas dan penegakan hukum. Dengan dua hal itu, pengawasan jadi ketat, dan dana pembangunan tak mengalir ke kantong koruptor.
Bang Ali mendahului apa yang kelak ditemuka oleh Bank Dunia. Hasil penelitian lembaga tersebut, di Negara-negara yang persnya dijamin kebebasannya, kesejahteraan rata-rata jauh lebih tinggi dibandingkan Negara-negara yang refresif terhadap pers.
Ia berteriak keras menentang dan mengritik pemerintahan Suharto, dan ia dicap sebagai pembangkang! Ia membidani kelompok diskusi bernama Petisi 50 pada tahun 1980 yang bersuara keras terhadap ketidakberesan pemerintah saat itu. Karena aktivitasnya itu ia cekal pemerintahan Orde Baru, walaupun ia tak pernah diadili dan dipenjarakan.
Konsistensinya ia pertahankan sampai ia mati. Ia dimakamkan menumpang di makam istrinya. Ini adalah wasiat lamanya, karena selain cintanya pada wanita yang memberinya lima anak yang telah mendahului itu - dia tahu, lahan di Jakarta semakin sempit.
***
Batam 2010, tentu bukan Jakarta 1966. Tapi, saya amat yakin, kota ini perlu dipimpin oleh orang yang ‘kopig’, sekeras kepala Bang Ali. Keras, tidak asal keras. Ia harus tahu – mengutip lirik lagu pop – mau dibawa kemana kota ini. Lalu dengan pengetahuan itu, ia cerdas mencari cara agar kota ini berkembang ke arah itu.
Saya sangat mencintai momentum saat menyetir di sepanjang jalan Sekupang – dari simpang ke Tanjungriau ke pelabuhan itu. Kenapa? Pohon-pohon di median jalan dan di kiri-kanannya tumbuh sempurna dan membikin keteduhan yang luar biasa. Saya kira ini adalah ruas jalan terbaik di Batam.
Saya bayangkan ada pemimpin yang dengan keras kepala memerintahkan agar pohon peneduh di jalan utama ke Batam Center itu dicabut dan ditanami ulang, karena saya yakin pohon-pohon itu tak akan tumbuh hingga serindang jalan di Sekupang. Saya kira ada kesalahan sejak awal penanaman di situ.
Saya bayangkan ada pemimpin yang seperti Bang Ali di Jakarta memimpikan pusat perfilman Usmar Ismail menjadi seperti Hollywood. Saya bayangkan ada pemimpin yang mengonsep dan mewujudkan pusat kesenian di Batam, seperti Taman Ismail Marzuki di Jakarta. Yang bicara soal ini banyak. Tapi, saya belum melihat ada yang punya konsep yang baik, dan kemudian melangkah untuk sungguh-sungguh mewujudkannya.
Kota-kota terbaik di dunia, adalah kota yang berkembang dengan perencanaan yang ketat. Bukan kota yang tumbuh asal-asalan saja. Kawan saya yang sepelatihan kemarin, melihat Batam belum terlalu melenceng perkembangannya.
Artinya? “Ini bisa dikembalikan ke konsep semula, ke rancangan awal yang dibuat dengan sangat bagus oleh Otorita Batam. Seperti mimpi-mimpinya Pak Habibie waktu itulah,” katanya.
Jangan sampai, Habibie, kelak semakin menyesal dan menjadi seperti Bang Ali merasa “dikhianati”. Di mata Bang Ali, gubernur Jakarta sesudahnya, membuat Jakarta tumbuh menjadi kota yang tidak nyaman. Padahal dia dulu berkata, "Sebagai pemimpin, saya harus melindungi dan menyejahterakan rakyat. Itu prinsip saya."
Batam perlu pemimpin yang seperti itu. Orang yang sadar menyebut dirinya adalah Pemimpin, tahu tugasnya adalah melindungi dan menyejahterakan rakyat, dan kukuh memegang itu sebagai prinsip. Adakah? Harus ada. Kita harus menemukannya, tapi mungkin tidak di baliho kepagian yang memamerkan senyum lebar yang sama sekali tidak manis. ***
Sampai ia meninggal 20 Mei 2008 orang masih nyaman memanggilnya Bang Ali. Ini bukan sapaan yang dibuat-buat, ini bukan sapaan yang asal terdengar akrab saja. Ia memang akrab dengan warga Jakarta. Ia dapat tempat khusus di benak warga Jakarta.
“Waktu ditunjuk menjadi Gubernur Jakarta, Bang Ali bingung bagaimana mau membangun. Anggarannya cuma Rp66 juta,” kata Bambang, dalam Pelatihan Ahli Dewan Pers, di Batam, Selasa lalu.
Padahal waktu itu, Jakarta – yang oleh Belanda disiapkan hanya dihuni oleh 600-800 ribu orang - sudah disesaki 3,4 juta jiwa. Jakarta adalah raksasa tidur yang perlu dibangunkan dengan dana dinosaurus. Masalahnya ekonomi saat itu sedang buruk sekali. Inflasi 600 persen. Bangunan sekolah, pusat pelayanan kesehatan, dan rumah ibadah minim. Jalanan mulai disesaki kendaraan. Infrastruktur lain? Huh, sama buruknya. Sebagai ibukota Negara, Jakarta memalukan.
Naluri Presiden Soekarno yang menunjuk Bang Ali waktu itu tepat. Bang Ali - Letnan Jenderal Angkatan Laut itu, orang yang ‘kopig’ alias keras kepala itu - tak menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan padanya.
Memang, cara yang ia tempuh, kelak ia sadari, adalah jalan penuh kontroversi: Ia melegalkan judi. Ia satukan kawasan pelacuran. Ia legalkan panti pijat dan tempat hiburan. Ini bukan perkara mudah. Tapi dari situ, saat itu, sekitar Rp 40 miliar masuk kas daerah DKI Jakarta tiap tahun. Mesin pembangunan pun bisa diputar cepat.
Puaskah Bang Ali? Dia cemas. Uang sebesar itu rawan dikorupsi. Aparat yang biasanya mengelola anggaran cekak, kini harus pegang uang banyak. Godaan makin besar.
Bagaimana Bang Ali menghindari ini? Kita beralih ke cerita lain lebih dahulu.
Pada zaman Bang Ali pula Adnan Buyung Nasution bergerak dengan Lembaga Bantuan Hukum. Ini sebuah kantor pengacara yang banyak mengadvokasi orang kecil, korban dari gerak laju pembangunan kota metropolitan itu. Ribuan gugatan dialamatkan oleh LBH ke Pemerintah DKI Jakarta. Pada banyak kasus, pemerintah kalah. Padahal, penopang dana utama dari lembaga hukum ini adalah Ali Sadikin juga, ya Bang Ali yang Gubernur DKI itu juga.
Pada zaman Bang Ali pula, pemerintah DKI lewat PT Pembangunan Jaya, memberi modal pada Goenawan Mohamad dan kawan-kawan mendirikan Majalah Tempo. Kita tahu, Tempo adalah majalah yang sejak awal menenggakkan idealisme jurnalistik yang ketat. Dan Pemerintah DKI Jakarta – si pemberi modal bagi Tempo - bukan obyek yang haram untuk ditelanjangi.
“Saya heran, dan semasa Bang Ali hidup pernah saya tanya langsung ke beliau,” kata Bambang Harimurti, petinggi di Tempo, yang pernah jadi Pemimpin Redaksi juga di majalah itu.
Apa jawaban Bang Ali, tokoh kelahiran Sumedang, 7 Juli 1927 itu? “Itulah cara saya mengawasi pegawai dan pembangunan di DKI. Itulah cara paling efektif agar korupsi tidak terjadi,” katanya.
Ini pilihan yang luar biasa cerdasnya. Dan tepat. Bang Ali tidak menempuh jalan memperbanyak aparat pengawas atau inspeksi yang hanya akan menambah anggaran gaji dan kemungkinan besar kelak akan tergoda korupsi juga.
“Kalau saya kasih dana untuk LBH Buyung dan Tempo-nya Goenawan, berapa besar, sih? Tapi, efektivitas pengendaliannya luar biasa,” kata Bang Ali, sebagaimana ditirukan oleh Bambang.
Bang Ali tentu tidak sempurna. Tapi, pilihannya pada banyak hal kini harus diakui adalah warisan teladan atas konsep, pemikiran dan tindakan yang hebat. Bang Ali memilih pers yang bebas dan penegakan hukum. Dengan dua hal itu, pengawasan jadi ketat, dan dana pembangunan tak mengalir ke kantong koruptor.
Bang Ali mendahului apa yang kelak ditemuka oleh Bank Dunia. Hasil penelitian lembaga tersebut, di Negara-negara yang persnya dijamin kebebasannya, kesejahteraan rata-rata jauh lebih tinggi dibandingkan Negara-negara yang refresif terhadap pers.
Ia berteriak keras menentang dan mengritik pemerintahan Suharto, dan ia dicap sebagai pembangkang! Ia membidani kelompok diskusi bernama Petisi 50 pada tahun 1980 yang bersuara keras terhadap ketidakberesan pemerintah saat itu. Karena aktivitasnya itu ia cekal pemerintahan Orde Baru, walaupun ia tak pernah diadili dan dipenjarakan.
Konsistensinya ia pertahankan sampai ia mati. Ia dimakamkan menumpang di makam istrinya. Ini adalah wasiat lamanya, karena selain cintanya pada wanita yang memberinya lima anak yang telah mendahului itu - dia tahu, lahan di Jakarta semakin sempit.
***
Batam 2010, tentu bukan Jakarta 1966. Tapi, saya amat yakin, kota ini perlu dipimpin oleh orang yang ‘kopig’, sekeras kepala Bang Ali. Keras, tidak asal keras. Ia harus tahu – mengutip lirik lagu pop – mau dibawa kemana kota ini. Lalu dengan pengetahuan itu, ia cerdas mencari cara agar kota ini berkembang ke arah itu.
Saya sangat mencintai momentum saat menyetir di sepanjang jalan Sekupang – dari simpang ke Tanjungriau ke pelabuhan itu. Kenapa? Pohon-pohon di median jalan dan di kiri-kanannya tumbuh sempurna dan membikin keteduhan yang luar biasa. Saya kira ini adalah ruas jalan terbaik di Batam.
Saya bayangkan ada pemimpin yang dengan keras kepala memerintahkan agar pohon peneduh di jalan utama ke Batam Center itu dicabut dan ditanami ulang, karena saya yakin pohon-pohon itu tak akan tumbuh hingga serindang jalan di Sekupang. Saya kira ada kesalahan sejak awal penanaman di situ.
Saya bayangkan ada pemimpin yang seperti Bang Ali di Jakarta memimpikan pusat perfilman Usmar Ismail menjadi seperti Hollywood. Saya bayangkan ada pemimpin yang mengonsep dan mewujudkan pusat kesenian di Batam, seperti Taman Ismail Marzuki di Jakarta. Yang bicara soal ini banyak. Tapi, saya belum melihat ada yang punya konsep yang baik, dan kemudian melangkah untuk sungguh-sungguh mewujudkannya.
Kota-kota terbaik di dunia, adalah kota yang berkembang dengan perencanaan yang ketat. Bukan kota yang tumbuh asal-asalan saja. Kawan saya yang sepelatihan kemarin, melihat Batam belum terlalu melenceng perkembangannya.
Artinya? “Ini bisa dikembalikan ke konsep semula, ke rancangan awal yang dibuat dengan sangat bagus oleh Otorita Batam. Seperti mimpi-mimpinya Pak Habibie waktu itulah,” katanya.
Jangan sampai, Habibie, kelak semakin menyesal dan menjadi seperti Bang Ali merasa “dikhianati”. Di mata Bang Ali, gubernur Jakarta sesudahnya, membuat Jakarta tumbuh menjadi kota yang tidak nyaman. Padahal dia dulu berkata, "Sebagai pemimpin, saya harus melindungi dan menyejahterakan rakyat. Itu prinsip saya."
Batam perlu pemimpin yang seperti itu. Orang yang sadar menyebut dirinya adalah Pemimpin, tahu tugasnya adalah melindungi dan menyejahterakan rakyat, dan kukuh memegang itu sebagai prinsip. Adakah? Harus ada. Kita harus menemukannya, tapi mungkin tidak di baliho kepagian yang memamerkan senyum lebar yang sama sekali tidak manis. ***
Labels:
kolom
Sunday, June 6, 2010
Dimana Engkau Saat Sajak Ini Kutulis?
Sajak Kavi Matasukma
Dan dia mendampingimu, menggenggam tanganmu, seakan
dengan begitu, terbagilah sakit yang kau tanggung saat itu.
Lelakikah anakmu? Atau perempuan? Apakah nanti kata-kata
indah yang kita ciptakan akan kau namakan pada anak yang dia
azankan itu? Pada anakmu dan anaknya - bukan anak kita - itu?
*
Apakah engkau sedang di taman? Mengajari anakmu jalan?
Dan dia, mencemaskan kalian dari jauh, dari kursi yang teduh.
Di kursi itu, harusnya duduk aku, membaca naskah buku puisi,
yang hendak kuterbitkan sebagai persembahan buat engkau.
*
Apakah engkau sedang membayangkan aku menulis puisi?
Puisi ini, puisi yang mungkin kelak kau bacakan buat anakmu,
anak yang kau namai seperti namaku. "Aku ingin dia menjadi
penyair seperti kamu," katamu, saat dulu kita berpisah, dan
aku pergi membawa undangan pernikahan, yang mencantumkan
namamu dan nama seseorang (yang pasti bukan namaku) itu.
*
Atau, apakah engkau sedang terbaring di sebuah makam?
Dia menziarahimu. Bersama anak yang lahir sempat, seperti
bertukar nyawa denganmu. Anakmu-anaknya, bukan anakku.
: Shania SaphanaAPAKAH engkau sedang terbaring di rumah sakit bersalin?
Dan dia mendampingimu, menggenggam tanganmu, seakan
dengan begitu, terbagilah sakit yang kau tanggung saat itu.
Lelakikah anakmu? Atau perempuan? Apakah nanti kata-kata
indah yang kita ciptakan akan kau namakan pada anak yang dia
azankan itu? Pada anakmu dan anaknya - bukan anak kita - itu?
*
Apakah engkau sedang di taman? Mengajari anakmu jalan?
Dan dia, mencemaskan kalian dari jauh, dari kursi yang teduh.
Di kursi itu, harusnya duduk aku, membaca naskah buku puisi,
yang hendak kuterbitkan sebagai persembahan buat engkau.
*
Apakah engkau sedang membayangkan aku menulis puisi?
Puisi ini, puisi yang mungkin kelak kau bacakan buat anakmu,
anak yang kau namai seperti namaku. "Aku ingin dia menjadi
penyair seperti kamu," katamu, saat dulu kita berpisah, dan
aku pergi membawa undangan pernikahan, yang mencantumkan
namamu dan nama seseorang (yang pasti bukan namaku) itu.
*
Atau, apakah engkau sedang terbaring di sebuah makam?
Dia menziarahimu. Bersama anak yang lahir sempat, seperti
bertukar nyawa denganmu. Anakmu-anaknya, bukan anakku.
Friday, June 4, 2010
Kudengar Kau Menutup Pintu Amat Perlahan
SEPERTI aku tinggal di kota ini, sendirian
Jalanan, lelampuan dengan nyala yang enggan,
sebuah alamat ratusan langkah kutinggalkan
Sudah kita bercakap, buat kali penghabisan,
kalimat-kalimat singkat, dengan jeda diam,
yang memperlambat perputaran jejaruman jam
Seperti aku tersesat di kota ini, sendirian
"Seberapa hampa kau akan merasa kehilangan?"
kita bergantian, mengucapkan itu pertanyaan,
tadi, di pintumu, seperti pengganti salam
perpisahan. Lalu, aku putar badan, berjalan,
dan kudengar kau menutup pintu amat perlahan.
Jalanan, lelampuan dengan nyala yang enggan,
sebuah alamat ratusan langkah kutinggalkan
Sudah kita bercakap, buat kali penghabisan,
kalimat-kalimat singkat, dengan jeda diam,
yang memperlambat perputaran jejaruman jam
Seperti aku tersesat di kota ini, sendirian
"Seberapa hampa kau akan merasa kehilangan?"
kita bergantian, mengucapkan itu pertanyaan,
tadi, di pintumu, seperti pengganti salam
perpisahan. Lalu, aku putar badan, berjalan,
dan kudengar kau menutup pintu amat perlahan.
Wednesday, June 2, 2010
[Kolom] Wajar Bila Terucap
KARENA Gigi, saya tak akan pernah merasa tua untuk mengidentikkan diri dengan sebuah grup musik. Kalau ada kelompok musik yang ingin saya doakan agar tak akan pernah bubar sampai kapan pun (kecuali oleh jemputan maut), maka itu adalah Gigi. Kalau ada kelompok musik yang akan saya tonton terus konsernya, tentu jika saya ada waktu untuk itu, maka itu adalah Gigi.
Saya tak terlalu mengerti musik, maka alasan saya menjadi anggota tak tercatat Gigikita (julukan untuk penggemar Gigi) tidaklah sesuatu yang musikal. Gigi mulai mengibarkan bendera kecilnya pada tahun 1994. Tepatnya 22 Maret 1994. Itulah tahun-tahun akhir saya menuntut ilmu di perguruan tinggi. Sejak awal tahun 1990-an, televisi swasta di Indonesia mulai memancarkan siaran. Tayangan musik waktu itu adalah sesuatu yang baru, dan karena itu sangat menarik.
Klip video di televisi selain menjadi cara promosi kaset rekaman, juga menjadi cara untuk menikmati musik. Kalau Anda tahu bagaimana format acara Aneka Ria Safari dengan MC abadi Eddy Sud, atau Orkes Telerama, di TVRI dulu, maka Anda bisa pasti bisa ikut merasakan betapa nikmatnya menonton klip video dengan kualitas visual yang nyeni.
Gigi muncul di masa-masa itu. Bagi saya kemunculannya tak terlalu meyakinkan. Album "Angan" nyatanya memang "hanya" terjual 100 ribu keping. Itu masa-masa yang sulit bagi sebuah kelompok musik menjual album. Apalagi Gigi yang musiknya saja waktu itu masih belum jelas maunya. Di kuping saya yang tak terlalu cerdas mencerna musik, Gigi ini tanggung. Ragu-ragu. Lagunya tak terlalu menjual, jauh kalah dengan Dewa atau Slank yang lebih dahulu besar, tapi juga kualitasnya tak sekelas Krakatau misalnya, yang waktu itu berkibar karena permainan yang personelnya yang banyak diacungi jempol.
Personelnya pun boros: enam orang! Aria Baron, Thomas Ramdhan, Ronald Fristianto, Dewa Budjana dan Armand Maulana. Saya waktu itu salah satu orang yang bilang, "tunggu, satu per satu personel itu akan rontok!"
Bagi saya, waktu itu Gigi ibarat sarjana baru lulus, dan mulai mencari kerja ke mana-mana. Tak meyakinkan, tapi karir kebesaran mereka perlahan menangga dan meninggi. Ini adalah identifikasi pertama diri saya dengan Gigi. Kelak sebagai sarjana baru, saya mencangkok semangat itu.
Di tahun-tahun pertama saya menjadi wartawan di Balikpapan, Gigi adalah kelompok yang ikut menempa keterampilan jurnalistik saya. Liputan konser musik tidak terlalu menarik minat wartawan baru. Oleh redaktur kota saya yang sialnya adalah guru gitar, saya justru diberi tugas khusus: tak ada artis yang bisa lolos dari liputanmu kalau mereka tampil ke Balikpapan! Dan harus eksklusif!
Eksklusif? Arti sederhananya koran lain tak dapat. Dan saya tunaikan tugas itu dengan baik. Konser Gigi - pada tahun 1996 itu, konser-konser dengan sponsor merek rokok juga mulai lazim - adalah liputan saya yang dipuji oleh si redaktur yang sempat mengajari saya main gitar, tapi saya tetap saja tak bisa-bisa.
Saya harus dapat bahan tulisan yang tidak didapat koran lain. Caranya? Sejak awal saya bantu publikasi panitia, dengan janji saya akan ikut menjemput di Bandara, berada di belakang panggung selama pertunjukan, dan ikut semua kegiatan Gigi sebelum mereka kembali ke Jakarta. Dari pengalaman itu saya punya rumus hebat: tempat terbaik untuk meliput konser musik adalah di belakang panggung! Kita dapat ruh panggung, ikut merasakan jiwa si penampil, dan bisa menangkap suasana seluruh pertunjukan dengan utuh. Itulah terjemahan terbaik saya atas kata eksklusivitas. Saya juga jadi reporter yang produktif. Liputan rangkaian satu konser itu tak akan habis dimuat sehari. Maka, saya punya tulisan bersambung untuk seminggu lamanya.
Benar, tahun 1996 itu, Gigi mulai rontok. Baron - personel yang menulis nyaris semua lirik untuk album Gigi yang pertama (Angan, 1994) dan kedua (Dunia, 1995) - keluar. Album ketiganya diberi nama 3/4.
"Ini album ketiga, ketika personel Gigi tinggal empat orang," kata Armand Maulana, sambil menyantap udang bakar di Restoran Seafood Bumahai, yang kami singgahi untuk makan siang sebelum ke Gigi ke bandara. Oh ya, waktu itu saya sempat mengajari Armand bagaimana caranya mengupas udang itu. Saya ikut juga di mobil yang membawa mereka dari hotel ke restoran itu. Armand agak terlambat dan sempat lama ditunggu. "Sori, sembahyang dulu," katanya.
Kepada saya yang sudah dia tahu bahwa saya adalah wartawan, Armand buru-buru berpesan, "Lu jangan tulis ya?"
"Tulis yang mana, Kang? Sembahyang? Kan menarik, rocker rajin salat," kata saya. Saya mengerti dan sepakat untuk meng-off-the-record-kan soal itu. (Dan sekarang, maaf, Armand, kalau itu sekarang saya tulis!)
Ini pertanyaan basi tapi waktu itu saya ajukan juga, hanya karena saya ingin dapat penjelasan langsung dari mereka. Kenapa Gigi? "Gigi kan indah. Semua orang punya dan perlu gigi. Kunci dari senyum yang indah itu adalah Gigi yang baik. Dengan musik kami ingin memperindah jiwa semua orang," kata Armand. Aha! Saya sudah tahu, Kang, dari jawabanmu di televisi. Terima kasih, untuk mengulanginya.
Dan saya menulis penuh opini - tapi ini dibiarkan dan bahkan dibela oleh si redaktur gondrong sok seniman itu. Saya bilang dalam berita saya, Armand itu seperti gigi seri, fungsinya estetis, frontman band, penampil utama. Budjana? Dengan cabikan gitarnya, dia adalah gigi taring, yang mencabik-cabik perhatian penonton, sesekali menusuk tajam. Thomas dan (waktu itu drummernya masih) Ronald? Mereka adalah sebarisan gigi geraham yang mengunyah seluruh irama lagu, menyinambungkan sepanjang irama! (Aha! Ngawur banget kan? )
Album 3/4 yang mereka promosikan saat itu adalah album yang memantapkan posisi Gigi di hati penggemar, dan menegaskan mereka punya tempat khusus di ranah musik Indonesia. Mereka adalah band yang aksi panggungnya ngangenin. Armand kemudian banyak ditiru oleh vokalis-vokalis yang datang belakangan, baik yang mengaku maupun yang tidak. Ibaratnya, sarjana yang coba-coba kerja dulu, kini sudah jadi asisten manajer, atau manajer dan menikmati pekerjaannya, juga meyakini bahwa inilah karirnya!
Menonton Gigi di tahun 1996, beberapa kali lagi hingga tahun 2000, dan 14 tahun kemudian di tahun 2010, di Ballroom Hotel Novotel rasanya tak ada bedanya: Gigi, dengan formasi akhir Armand, Budjana, Thomas dan penggebuk grum Gusti Hendy, adalah magnet di panggung! Saya tak merasa terlalu tua untuk ikut bernyanyi bersama penonton yang rata-rata 20 tahun di bawah saya usianya. Aha!
Thomas, sebenarnya sempat keluar di album 2x2. 2X2 ini juga penanda perjalanan Gigi. Ini album keempat, saat personel aslinya tinggal 2 orang: Armand dan Budjana. Opet Alatas, dan Budi Haryono sempat masuk memperkuat Gigi sebelum mereka mantap dengan formasi terakhir tadi. Jadi, dengan pengakuan ini, wahai Gigi, wajar bila terucap nama kalian di kolom ini! (Anda yang mengaku Gigikita, pasti tahu kalimat terakhir ini dipetik dari lagu apa di album yang mana) ***
Saya tak terlalu mengerti musik, maka alasan saya menjadi anggota tak tercatat Gigikita (julukan untuk penggemar Gigi) tidaklah sesuatu yang musikal. Gigi mulai mengibarkan bendera kecilnya pada tahun 1994. Tepatnya 22 Maret 1994. Itulah tahun-tahun akhir saya menuntut ilmu di perguruan tinggi. Sejak awal tahun 1990-an, televisi swasta di Indonesia mulai memancarkan siaran. Tayangan musik waktu itu adalah sesuatu yang baru, dan karena itu sangat menarik.
Klip video di televisi selain menjadi cara promosi kaset rekaman, juga menjadi cara untuk menikmati musik. Kalau Anda tahu bagaimana format acara Aneka Ria Safari dengan MC abadi Eddy Sud, atau Orkes Telerama, di TVRI dulu, maka Anda bisa pasti bisa ikut merasakan betapa nikmatnya menonton klip video dengan kualitas visual yang nyeni.
Gigi muncul di masa-masa itu. Bagi saya kemunculannya tak terlalu meyakinkan. Album "Angan" nyatanya memang "hanya" terjual 100 ribu keping. Itu masa-masa yang sulit bagi sebuah kelompok musik menjual album. Apalagi Gigi yang musiknya saja waktu itu masih belum jelas maunya. Di kuping saya yang tak terlalu cerdas mencerna musik, Gigi ini tanggung. Ragu-ragu. Lagunya tak terlalu menjual, jauh kalah dengan Dewa atau Slank yang lebih dahulu besar, tapi juga kualitasnya tak sekelas Krakatau misalnya, yang waktu itu berkibar karena permainan yang personelnya yang banyak diacungi jempol.
Personelnya pun boros: enam orang! Aria Baron, Thomas Ramdhan, Ronald Fristianto, Dewa Budjana dan Armand Maulana. Saya waktu itu salah satu orang yang bilang, "tunggu, satu per satu personel itu akan rontok!"
Bagi saya, waktu itu Gigi ibarat sarjana baru lulus, dan mulai mencari kerja ke mana-mana. Tak meyakinkan, tapi karir kebesaran mereka perlahan menangga dan meninggi. Ini adalah identifikasi pertama diri saya dengan Gigi. Kelak sebagai sarjana baru, saya mencangkok semangat itu.
Di tahun-tahun pertama saya menjadi wartawan di Balikpapan, Gigi adalah kelompok yang ikut menempa keterampilan jurnalistik saya. Liputan konser musik tidak terlalu menarik minat wartawan baru. Oleh redaktur kota saya yang sialnya adalah guru gitar, saya justru diberi tugas khusus: tak ada artis yang bisa lolos dari liputanmu kalau mereka tampil ke Balikpapan! Dan harus eksklusif!
Eksklusif? Arti sederhananya koran lain tak dapat. Dan saya tunaikan tugas itu dengan baik. Konser Gigi - pada tahun 1996 itu, konser-konser dengan sponsor merek rokok juga mulai lazim - adalah liputan saya yang dipuji oleh si redaktur yang sempat mengajari saya main gitar, tapi saya tetap saja tak bisa-bisa.
Saya harus dapat bahan tulisan yang tidak didapat koran lain. Caranya? Sejak awal saya bantu publikasi panitia, dengan janji saya akan ikut menjemput di Bandara, berada di belakang panggung selama pertunjukan, dan ikut semua kegiatan Gigi sebelum mereka kembali ke Jakarta. Dari pengalaman itu saya punya rumus hebat: tempat terbaik untuk meliput konser musik adalah di belakang panggung! Kita dapat ruh panggung, ikut merasakan jiwa si penampil, dan bisa menangkap suasana seluruh pertunjukan dengan utuh. Itulah terjemahan terbaik saya atas kata eksklusivitas. Saya juga jadi reporter yang produktif. Liputan rangkaian satu konser itu tak akan habis dimuat sehari. Maka, saya punya tulisan bersambung untuk seminggu lamanya.
Benar, tahun 1996 itu, Gigi mulai rontok. Baron - personel yang menulis nyaris semua lirik untuk album Gigi yang pertama (Angan, 1994) dan kedua (Dunia, 1995) - keluar. Album ketiganya diberi nama 3/4.
"Ini album ketiga, ketika personel Gigi tinggal empat orang," kata Armand Maulana, sambil menyantap udang bakar di Restoran Seafood Bumahai, yang kami singgahi untuk makan siang sebelum ke Gigi ke bandara. Oh ya, waktu itu saya sempat mengajari Armand bagaimana caranya mengupas udang itu. Saya ikut juga di mobil yang membawa mereka dari hotel ke restoran itu. Armand agak terlambat dan sempat lama ditunggu. "Sori, sembahyang dulu," katanya.
Kepada saya yang sudah dia tahu bahwa saya adalah wartawan, Armand buru-buru berpesan, "Lu jangan tulis ya?"
"Tulis yang mana, Kang? Sembahyang? Kan menarik, rocker rajin salat," kata saya. Saya mengerti dan sepakat untuk meng-off-the-record-kan soal itu. (Dan sekarang, maaf, Armand, kalau itu sekarang saya tulis!)
Ini pertanyaan basi tapi waktu itu saya ajukan juga, hanya karena saya ingin dapat penjelasan langsung dari mereka. Kenapa Gigi? "Gigi kan indah. Semua orang punya dan perlu gigi. Kunci dari senyum yang indah itu adalah Gigi yang baik. Dengan musik kami ingin memperindah jiwa semua orang," kata Armand. Aha! Saya sudah tahu, Kang, dari jawabanmu di televisi. Terima kasih, untuk mengulanginya.
Dan saya menulis penuh opini - tapi ini dibiarkan dan bahkan dibela oleh si redaktur gondrong sok seniman itu. Saya bilang dalam berita saya, Armand itu seperti gigi seri, fungsinya estetis, frontman band, penampil utama. Budjana? Dengan cabikan gitarnya, dia adalah gigi taring, yang mencabik-cabik perhatian penonton, sesekali menusuk tajam. Thomas dan (waktu itu drummernya masih) Ronald? Mereka adalah sebarisan gigi geraham yang mengunyah seluruh irama lagu, menyinambungkan sepanjang irama! (Aha! Ngawur banget kan? )
Album 3/4 yang mereka promosikan saat itu adalah album yang memantapkan posisi Gigi di hati penggemar, dan menegaskan mereka punya tempat khusus di ranah musik Indonesia. Mereka adalah band yang aksi panggungnya ngangenin. Armand kemudian banyak ditiru oleh vokalis-vokalis yang datang belakangan, baik yang mengaku maupun yang tidak. Ibaratnya, sarjana yang coba-coba kerja dulu, kini sudah jadi asisten manajer, atau manajer dan menikmati pekerjaannya, juga meyakini bahwa inilah karirnya!
Menonton Gigi di tahun 1996, beberapa kali lagi hingga tahun 2000, dan 14 tahun kemudian di tahun 2010, di Ballroom Hotel Novotel rasanya tak ada bedanya: Gigi, dengan formasi akhir Armand, Budjana, Thomas dan penggebuk grum Gusti Hendy, adalah magnet di panggung! Saya tak merasa terlalu tua untuk ikut bernyanyi bersama penonton yang rata-rata 20 tahun di bawah saya usianya. Aha!
Thomas, sebenarnya sempat keluar di album 2x2. 2X2 ini juga penanda perjalanan Gigi. Ini album keempat, saat personel aslinya tinggal 2 orang: Armand dan Budjana. Opet Alatas, dan Budi Haryono sempat masuk memperkuat Gigi sebelum mereka mantap dengan formasi terakhir tadi. Jadi, dengan pengakuan ini, wahai Gigi, wajar bila terucap nama kalian di kolom ini! (Anda yang mengaku Gigikita, pasti tahu kalimat terakhir ini dipetik dari lagu apa di album yang mana) ***
Subscribe to:
Posts (Atom)