KAWANMU penyair itu bertanya, "gambar ini
cocok untuk iklan apa ya?" Sambil dia
tunjukkan foto seorang lelaki, bertopi
nganga paruh enggang, merenungkan apa
yang bisa dipatuki dari dunia tua ini.
Engkau justru membayangkan di kepalamu
tumbuh sayap. Supaya pikiranmu yang
suka macam-macam itu bebas terbang,
bebas hinggap, bebas mengepak, bebas
mendekap. Bebas pergi, pun bebas pulang.
"Gambar ini, lho, Pak!" kata kawanmu
penyair itu, ia sorongkan lebih dekat padamu,
gambar seperti kamar kerja, ada loket
di dindingnya, seperti peternakan pikiran,
unggas-unggas petelur unggulan yang belum
punya sepasang nama berbahasa latin yang
kalau ditulis hurufnya harus dimiringkan.
Engkau membayangkan kepalamu adalah sarang,
dan engkau sendiri adalah unggas paling
jago mengeram dan menetaskan telur gagasan.
Orang ramai datang padamu, membawa telur
yang bercangkang lucu, yang bercangkang batu,
yang bercangkang kayu, yang bercangkang
belacu, yang bercangkang waktu. "Mari-mari,"
katamu gembira selalu, "mari kutetaskan
jadi makhluk bersayap baru, biar meriah
langit kita, tak diterbangi oleh unggas
yang itu-itu hanya dan itu-itu saja.
"Maksud saya, ini gambarnya, Pak!" Gambar
telur yang terhampar di lantai, oleh
kawanmu penyair dibentangkan padamu; gambar
telur yang satu per satu dihitung oleh
lelaki berjas rapi itu; gambar telur yang
banyak, tetapi sepertinya hanya ada sebutir
yang sangat ditunggu oleh Dewi entah dari
mitologi mana, Dewi yang fotonya dipajang
di dinding itu.
Engkau kini membayangkan engkaulah telur
sebutir yang ditunggu itu. Tetapi, sebagai telur,
engkau mengerami dirimu sendiri, engkau
menetaskan dirimu sendiri. Dan begitulah,
agaknya caramu menjawab pertanyaan kawanmu
penyair itu. Meski dia sepertinya tak akan
pernah berhenti bertanya padamu. Dan engkau
pun tak pernah berhenti mengerami dan menetaskan
telur yang dititipkan padamu, membayangkan apa
saja dari apapun gambar yang disodorkan padamu.
Tulis Akhir Postingan Anda