Esai Hasan Aspahani
:: Kesan pembacaan atas "Puan Kecubung" buku puisi Jimmy Maruli Alfian.
SOSOK pennyair Jimmy Maruli Alfian, saya lihat seperti seorang pemancing handal. Sebagai pembaca saya adalah kawan yang ia ajak pergi memancing. Dia tidak memancing di laut lepas. Ia tidak mengajak saya menentang badai nun di tengah samudera sana, lalu bertaruh nyawa menaklukkan seekor hiu atau baraccuda raksasa.
Ia mengajak saya memancing di danau tenang, di hutan di belakang kampung yang seluk beluknya amat ia kuasai. Sekilas saya lihat, saya percaya danau itu alangkah dalamnya. Sesekali ia juga membawa saya memancing di sebuah sungai. Lumayan deras juga arusnya. Panjang sekali sungai itu sebenarnya. Saya curiga, bahwa dia belum lagi mengajak saya memancing di bagian-bagian paling menarik dari sungai itu.
Memancing bersama Jimmy sungguh mengasyikkan. Ia selalu bisa memastikan bahwa setiap kali ia pasang umpan di mata kailnya, lalu ia lemparkan dengan gaya yang aduhai anggunnya, lalu tunggulah, pasti akan ada ikan yang menggelepar di sana.
Memang perlu sedikit kesabaran untuk memastikan umpan yang ia pasang tadi tadi disambar ikan. Bagi Jimmy --- dan bagi saya kawan yang ia ajak memancing --- di situlah asyiknya memancing. Yaitu, di saat-saat tali menegang, ditarik kesana-kemari oleh ikan yang baru saja tersadar telah menelan umpan berkail. Tapi, semakin liar gerakannya, semakin menancap lengkung ujung mata kail itu di rongga mulutnya.
***
Memerhatikan ikan-ikan hasil pancingan Jimmy, serta-merta mengingatkan saya pada banyak pemancing mahir yang saya yakin sekali telah ia kaji tuntas.
Akurasi dan variasi diksinya mengingatkan saya pada kepiawaian Sitok Srengenge. Diksi sajak-sajaknya menunjukkan bahwa dia adalah punya kosa kata yang kaya. Ini umpan penting bagi pemancing mahir seperti dia. Di sepanjang larik-larik sajaknya ia pasang bebunyian yang ramai sekali, berdentingan, berdentuman. Seperti lagu kecil yang tak henti ia siulkan, sementara tali pancing ia ulurkan.
Aura intelektualitas meruap di beberapa tempat dalam sajaknya. Ia tidak hanya mengandalkan rasa hati ketika menyajak. Ia juga - dengan takaran yang pas - menampilkan gelisah olah pikiran. Saya melihat sosok Subagio Sastrowardoyo pada sisi itu. Hanya saja, pada Jimmy, caranya menyusupkan produk pikirannya terasa jauh lebih halus.
Rujukan-rujukan bacaan Jimmy amat luas. Ia tak peduli dari mana rujukan itu berasal: tradisi atau introduksi. Sama saja baginya. Ia dengan terampil mengolah sebagai bahan, atau sekadar menyisipkan sebagai bumbu penguat rasa. Ini membuat saya harus menyandingkannya dengan Goenawan Mohamad.
Tetapi, Jimmy tidak terjebak di keteduhan bayang-bayang nama-nama besar tadi. Jimmy tegak berdiri di kaplingnya sendiri. Ia sudah punya alamat. Begitulah saya lihat. Jimmy menyair dengan tabiat yang telah matang dan tenang sekali. "Puan Kecubung" adalah pembuktian kepenyairannya. Sebuah bukti penting dan lengkap, bahwa ia adalah penyair kuat yang harus diperhitungkan.
Saya tandai yang khas dalam sajak-sajaknya: ia suka memaparkan adegan kecil - semacam bagian yang bisa dimainkan oleh pelakon di panggung. Mungkin dengan ini ia memanfaatkan pengalamannya berteater. Perhatikan petikan ini: ... menjatuhkan letak pisau, pura-pura terpercik air, lalu berteriak melaknat ("Rumah Juru Timbang 2"). Perhatikan lagi" ... ah, langkahmu selalu tergesa / setiap melintasi pintu gereja: / membetulkan lipata sarung, ... (Lomba Domba). Juga ini: ..katamu, sambil membuka gorden ruang tamu Perhatikan / mengeraskan suara televisi yang menggerutu / kau mengikat ujung kresek yang sengkarut, bergegas mandi ("Pergi ke Binatu"). Saya perhatikan, petikan-petikan tadi tampak benar menjadi semacam kronologi sebuah adegan. Atau penggalan kecil sebuah lakon di panggung teater, bukan?
Buat saya, "bait-bait beradegan" ini kekuatan dan kekhasan Jimmy. Meskipun --- saya sayangkan --- ia tak manfaatkan ini di banyak sajaknya.
Saya sangat ingin tahu, bagaimana ia membangun pondasi kepenyairan yang begitu kukuh pada usia 20-an. Saya sungguh ingin tahu bagaimana proses yang ia jalani, sehingga ia lekas sekali matang - ini bukan penilaian negatif. Ini sebuah pujian tulus.
Pasti dia punya bakat yang kuat, bak benih unggul pilihan. Pasti, komunitas di mana ia bergiat telah pula menyiapkan persemaian baginya dengan sangat baik. Pasti, iklim kepenyairan di Lampung telah pula menyuburkan dan menjaga tumbuh kembangnya sebagai penyair. Saya kira, ia perlu menulis semacam pengakuan kreatif dan itu pasti akan membuka lebih banyak lagi kemungkinan pemaknaan atas sajaknya yang sesungguhnya sudah teramat kaya itu. Jangan takut, kadang-kadang wilayah di luar puisi itu bisa juga membantu memperlapang ladang puisi.
Lalu apa tantangan selanjutnya? Sapardi telah mencontohkan bagaimana memberanjakkan sajak dari buku ke buku di tiga buku pertamanya, seraya juga mempertahankan sesuatu yang memang harus dijaga. Tiga buku yang saya sebut puncak-puncak kepenyairan Sapardi. Saya ingin melihat Jimmy juga bergerak di buku atau di sajak-sajak berikutnya.
Sebagai pemancing mahir, ia tak harus memancing jauh ke laut bebadai --- tapi sesekali perlu juga ia ambil tantangan itu.***
Tiban Indah Permai, Mei 2009