: bersama Dedy dan Aan
"KALAU sempat singgahlah di kedai ayahmu," kata Ibu padaku.
Aku saat itu sebenarnya hanya pulang singgah sebentar dengan
baju baru yang sudah bisa kukancingkan sendiri, tanpa jemari ibu.
Bukan karena takut kualat bila kakiku menuruti perintah ibu. Seperti
kuduga, di sana aku hanya bertemu ayah yang sedang tertidur
seakan sedang dininabobokan lagu dari radio gelombang AM.
Pasar loakan, barang kenangan. Pasar kenangan, barang loakan.
Aku kasihan membangunkannya. Aku rasa cukup kuperhatikan
saja pemandangan itu: seorang lelaki dengan kepala tenggelam
dalam topi, bersandar miring pada tumpukan surat kabar lama,
dan tebaran bak mega-mega: kantong plastik di depannya.
Suara anak-anak riuh di sungai yang arusnya tak bisa lagi jauh.
Tadi kulewati kebun pisang, dan empang kerontang yang dulu
bagi kami adalah kolam senang, kolam renang, kolam kubang.
"Permisikan aku anakmu, Ayah," kataku, dan kuselipkan kartu nama
di lemari kecil di belakangnya, lemari berisi bendera tua, yang ingin
sekali mencapai tarap pusaka, juga barang-barang bekas lainnya,
sepatu lars, baju loreng, selongsong peluru, granat kosong, pistol
berkarat, lencana tak berkancing, bambu yang pernah runcing,
ransel bolong...
Pasar loakan, barang kenangan. Pasar kenangan, barang loakan.
Kakiku kini membawaku lagi, ke entah mana. Aku tak terkejut
bila nanti ada sekawanan capung terbang lalu menjatuhkan
kartu-kartu nama kosong. Begitulah cara ayahku dan aku saling
mengingatkan. "Kau jajakan barang loakan dari pasar kenangan,"
katanya, "kau jual barang kenangan di pasar loakan," jawabku.