Kalau ada tangan yang mengulurkan kenyang dari perut nasi
       hingga enyah lapar ini, Kaulah tangan itu.
Kalau ada kenyang yang meliputi nasi hingga bergerak tangan
       ini membukanya, Kaulah kenyang itu.
Kalau ada nasi yang menghidupkan kembali jiwa lapar hingga
       bangkit kekuatan tangan ini, Kaulah nasi itu.
Tapi kalau ada lapar yang bergerak menggeliat merebut nasi
       untuk sekadar kenyang hingga tergoncang seluruh bumi,
Kaulah airmata ini.
Amin.
(Doa I, Abdul Hadi WM, Tergantung Pada Angin, Budaya Jaya, 1977)
a. Mari kita bagi sajak sepuluh larik ini pada dua bagian. Larik satu hingga enam kita sebut saja sebagai pemanasan. Larik genap adalah satu bagian dengan larik ganjil sebelumnya yang dipisahkan dengan pemenggalan. Pemenggalan sepertinya tidak terlalu dipertimbangkan oleh penyair sehingga tidak banyak menambah kekuatan puisi. Lihatlah posisi kata hingga di awal larik ke-2 dan di akhir larik ke-5, dan di tengah larik pada bagian lain. Fungsi kata sambung itu sama penting. Tetapi dimana letaknya di dalam larik tampaknya tak terlalu dipentingkan oleh penyair.
b. Empat larik terakhir adalah bagian terpanas dari puisi ini. Ada ledakan pada larik "Kaulah airmata ini", dan ledakan itu adalah klimaks yang memang dihendaki dan dipersiapkan dalam puisi. Larik-larik pemanasan tadi adalah Dan diredam lagi ledakan kemudian dengan larik sekata "Amin". Strategi pengaturan emosi pada sajak ini boleh dikatakan berhasil. Sebagai pembaca saya bisa ikut hanyut pada pasang naik dan turun geloranya.
c. Ada lima kata kunci: perut, nasi, tangan, lapar, kenyang. Lima kata-kata itu lalu dimain-mainkan, maka terciptalah:
       - tangan mengulurkan kenyang dari perut nasi hingga enyah lapar
       - kenyang yang meliputi nasi hingga bergerak tangan membukanya
       - nasi yang menghidupkan jiwa lapar hingga bangkit kekuatan tangan
       - lapar yang bergerak merebut nasi untuk sekedar kenyang
Kalimat-kalimat itu sudah dipindahkan oleh penyair dari keseharian kedalam alam puisi. Perut, nasi, tangan, lapar dan kenyang dalam puisi berhasil dilainkan dari kesehariannya. Inilah hakikat dari kerja menyair: memindahkan keseharian kata-kata sekaligus membuat alasan perpindahan itu agar di alamnya yang baru dia (posisi kata-kata, hubungan-hubungan sesama kata) terasa wajar dengan ketidakwajarannya. Lalu dari kerja "melainkan" muncullah kemungkinan pemaknaan yang bermacam-macam.
d. Lalu apa makna dari sajak ini? Penyair sudah menyebutnya sebagai doa. Aku dalam puisi, menyadari bahwa Engkaulah yang memberi kenyang, engkaulah yang memberi rasa lapar sehingga si aku bergerak untuk mencari kenyang, engkaulah si pemberi rezeki sehingga aku harus bekerja agar engkau membagikan nasi yang halal. Tetapi si aku tidak ingin jadi orang lapar yang hanya memburu kenyang. Jika itu yang terjadi maka si aku berharap agar Engkau mengingatkannya. Si aku menyesali sekali jika itu terjadi. Sesal itu cukup dilambangkan dengan airmata. Begitulah kira-kira.