/1/
SEMAKIN ramai saja bis di terminal antarkota.
Dia duduk di kursi dekat jendela: walaupun tahu
tak akan ada yang melambai untuk kepergiannya.
Kota telah menjadi seekor ular raksasa: menelan
hidup yang lengah, lalu menguyah perlahan-perlahan.
Hanya akan ada selumur, sisa-sisa nama kuburan.
/2/
SEMAKIN ramai saja bis di terminal antarkota.
Dia nanti ingin turun di tengah perjalanan. Lalu
menyelilir hutan, sampai jejak kisah itu ia temukan.
"Dulu ada sekelompok pemburu singgah di desa
itu. Mengajari anak lelaki meruncingkan mata panah
Dan memikat hati gadis dengan tubuh bergetah."
Seorang lelaki pemburu terpisah dari kelompoknya.
"Dialah lelaki yang memberi benih di rahimku, dan
engkaulah anak yang membuatnya semakin tak
menyesal menggantikan busur dengan tugal dan
garu," kata ibunya bercerita, kisah yang selalu ia
pinta. Tapi ibu tak pernah ingat wajah dan nama.
Ibunya lalu berkisah tentang seekor ular raksasa.
/3/
SEMAKIN ramai saja bis di terminal antarkota.
Gerbang selamat datang: semakin mirip rahang.
Dari bangku paling belakang, ada yang terbayang.
Dulu hutan itu mengenali bau tubuhnya. Seperti
ia petakan setapak jalan di telapak kakinya.
"Ada ular raksasa membuka jalan untuk kita,"
katanya kepada teman-teman sepermainannya.
Lalu akar api menunjang, lalu daun api melebat
lalu cabang api memanjang, lalu sulur api memanjat.
Ah, sempatkah hirup hembus nafas bertukar?
Bau daging hangus terbakar. Akhir kisah ular?
"Ibu, yakinkan aku. Di kuburkobarapi, bermakam
ular raksasa ataukah dia, lelaki tempatku berbapa?