Esai Hasan Aspahani
Mau jadi penyair? Ya berkaryalah. Memangnya siapa yang memberi status penyair kepada Raja Ali Haji? Kepada Amir Hamzah? Kepada Sutardji Calzoum Bachri? Atau kepada Hasan Aspahani? Karyalah yang menjadikan seseorang itu jadi penyair atau bukan. Memangnya Dolorosa Sinaga disebut permatung kalau dia tidak membuat sebuah karya patung pun? Memangnya, Amri Yahya itu disebut pelukis kalau dia tidak melukis sebidang kanvas pun? Memangnya GM Sudarta itu mau disebut kartunis kalau dia tidak menciptakan tokoh Oom Pasikom?
Tentu berkarya saja tidak cukup, dan lantas kau disebut sebagai penyair. Kalau hanya kau simpan di map dan diselipkan di laci, siapa yang tahu bagus tidaknya karyamu? Siarkan karyamu setelah kau yakin itu layak disebut sebagai karya bermutu, dan bisa pula mendukung niatmu untuk disebut sebagai penyair. Eit, jangan putus asa kalau redaktur menolak karyamu. Jangan memaki bahwa redaktur sastra itu penguasa yang otoriter.
Menyiarkan dan menebarkan karya tidak harus lewat satu majalah, satu surat kabar, atau jurnal saja. Kenapa tidak kau bukukan saja sendiri? Kenapa tidak mencari cara menyebarkan lain yang lebih kreatif, tidak cengeng, dan bahkan cara itu bersama karya hebatmu bisa dengan cepat mengangkat kau ke singgasana penyair, kalau memang itu yang benar-benar hendak kau duduki. Kau bisa ikut lomba cipta puisi, kau juga bisa kirim ke situs sastra, atau buatlah situs sendiri.
Mau contoh? Buatlah brosur puisi, buatlah pembacaan puisi keliling dari sekolah ke sekolah, dari terminal ke terminal, atau buatlah majalah sastra sendiri. Kamu pikir Taufik Ikram Jamil itu siapa kalau tidak ketekunannya berkarya dan membina sejumlah majalah sastra seperti Berdaulat, Menyimak dan Sagang.
Kau pikir D. Zawawi Imron itu mengemis-ngemis ke redaktur sastra supaya karyanya dimuat? Kau pikir siapa yang menerbitkan buku puisi Sapardi Djoko Damono pertama kali? Bukan penerbit tapi seorang pelukis bernama Jeihan. Lalu apakah Jeihan yang mengangkat SDD sebagai penyair? Bukan, tapi karyanya itu.
Mutu karya. Itulah pemaknaan tunggal. Tapi, ingat mutu tidak dilihat dari dimuat tidaknya sebuah karya di media. Karena belum tentu yang dimuat itu bagus, dan sebaliknya yang tak dimuat belum tentu jelek. Tak ada jalan pintas. Karena seorang redaktur itu orang yang makan gaji. Itu hanya sebuah jabatan struktural di sebuah media. Ia bisa dan kadang sangat subjektif.
Eh kira-kira dimana posisi seorang kritikus, ya? Apa pedulinya kita? Dulu memang ada HB Jassin yang tak bisa ditampik telah membesarkan dan menemukan seorang Chairil Anwar. Tapi, kembalilah tengok karyanya. Jassin mungkin tak akan pasang badan membela Chairil (apa untungnya?) kalau karyanya memang tak bermutu? Terbukti toh Jassin benar sampai sekarang, puisi-puisi Chairil tetap saja tak kehilangan kebaruannya.
Jadi kembali lagi ke karyamu. Kalau memang mutiara, kritisi akan tahu meskipun ia menyelam dalam dan kau berada dalam cangkang yang keras tebal pejal. Selamat jadi penyair, eh selamat membuat syair.***