1. Puisi tentu saja boleh menampilkan suara zamannya, tetapi ia bukan budak zaman. Puisi selalu berdepan-depan dengan zaman. Penyair tidak tercakup atau tertunduk pada sejarah, malah ia mencipta sejarah.
2. Puisi tidak teraih hanya dengan sekadar menghiraukan pesan, isi, dan atau tema. Puisi terutama memberikan perhatian maksimal terhadap cara pengungkapan bahasanya, bila tidak, maka yang dihasilkan adalah puisi yang tidak menghiraukan puisi.
3. Puisi boleh diniatkan kosong dari tema atau tanpa pesan. Puisi yang demikian ini bisa jadi hanya berupa rangkulan akrab terhadap ungkapan atau kata-kata, bahkan sekadar bunyi-bunyian dari kata-kata. Tapi jika dibuat padu dan utuh, terkendali, menarik dan cantik serta unik, maka pembaca akan segera sibuk mencarikan pesan atau makna pada sajak itu.
4. Sebaliknya, sajak yang mengandung pesan sebesar apapun jika ia tidak menghiraukan cara pengucapannya, takkan kunjung dianggap sajak yang berhasil.
5. Puisi boleh dibuat seperti memotret kenyataan. Tapi puisi yang baik bukan potret yang datar. Ada nilai plus yang diharapkan bisa didapat ketika menatap atau membaca puisi potret tadi. Jika tidak maka pembaca tentu lebih suka menatap langsung pada kenyataan.
6. Cara mengungkap atau cara mengucap, adalah salah satu unsur penting mendapatkan nilai plus dalam sebuah sajak.
* Dari Perihal Sajak yang Tak Dimuat dalam buku Sutardji Calzoum Bachri Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2001.