Bagaimana kemudian anda mampu menyimpan setiap puisi yang merembes begitu saja dari rahim kreatif anda padahal anda tak lagi mempersiapkan selimut untuk menghangatkan puisi-puisi itu? - Joey Chemod VS
Dulu iya, saya mempersiapkan diri. Dulu saya merasa menulis puisi itu seperti tugas. Jangan salah, tugas itu saya terima dengan senang hati.
Saya adalah petugas puisi yang baik. Dulu saya petugas puisi yang disiplin. Saya mencari tahu apa saja dan di mana saja tentang puisi. Dengan internet, semua itu jadi mudah. Sajak-sajak Neruda, Li Po, Whitman, dll saya baca dengan bernafsu, karena saya merasa, sebagai petugas puisi yang baik saya harus kenal semua jenis puisi. Saya juga menyimpan dan membaca banyak buku puisi. Paling banyak di antara jenis buku puisi lain. Jadilah puisi-puisi saya kala itu sebagai puisi sebagai hasil penugasan. Tapi sekali lagi, saya menerima tugas itu dengan ikhlas. Saya bahagia
menjalankan tugas itu. Hasilnya pun menyeronokkan saya.
Sekarang tidak lagi. Puisi seperti teman. Kami tidak saling mengikat. Kami tidak saling membebani. Kami tidak terikat apa-apa kecuali pertemanan itu sendiri. Kadang-kadang ada juga kami saling berjanji untuk bertemu. Dan dia atau saya tidak datang pada waktu dan tempat yang sudah dijanjikan. Ya, kami tidak kecewa. Pertemanan kami tulus. Kadang-kadang kami bertemu di tempat-tempat yang tak tertuga tanpa rencana. Saya kadang melihat dia di pasar, di poster film, di bungkus rokok, di iklan surat kabar. Kadang saya tidak melihat dia, meskipun kemudian saya bahwa dia sebenarnya ada ketika saya ada di tempat X, Y, atau Z.
Nanti? Entahlah. Mungkin akan jadi musuh, atau menjadi istri yang paling memahami, atau menjadi anak-anak batin. Yang pasti saya akan tetap mencari bagian dari puisi itu yang bisa terus menerus saya cintai. Ehm musuh juga harus dicintai bukan? Karena, kata orang bijak, musuhlah yang paling tahu dan akan membongkar kelemahan-kelemahan kita. Lagi pula apa sih yang abadi dalam hidup ini? Kawan bisa jadi musuh, demikian sebaliknya. Tapi saya tidak cemas dengan ketidakabadian itu. Sekali lagi hubungan saya dengan puisi, apapun bentuknya adalah tulus belaka.