/1/
Dia sekarang sudah punya rumah,
rumah idaman yang sudah lama diidamkan.
"Selamat tinggal episode gelandangan,
selamat tinggal periode kontrakan.
Sekarang aku sudah menjadi tuan rumah di rumah sendiri."
Dia menyebut rumahnya: rumah pintu.
Sebab atapnya pintu, lantainya pintu,
dindingnya pintu, langit-langitnya pintu,
jendelanya pintu, apalagi pintunya: tentu saja pintu!
Ketika pertama kali menempati rumah itu,
sang hujanlah yang pertama kali bertamu.
Lalu pagi hari ia nyalakan matahari.
Klik. Saklar dipencet sekali, lalu teranglah sepanjang hari.
Kalau terlalu menyengat panas, dia bentangkan gorden awan.
/2/
Sebenarnya dia sudah sangat tenteram,
tinggal di rumahnya yang nyaman:
rumah pintu, rumah penuh taman.
Sampai suatu hari, datanglah petugas dinas perumahan.
Menanyakan IMB, sertifikat, dan menagih pajak bumi dan bangunan.
"Segera lunasi tunggakan,
atau rumah ini harus segera dikosongkan!"
/3/
Dia pun pergi, meninggalkan rumah dengan penuh penyesalan.
"Salahku sendiri, kenapa selama ini tak pernah menutup pintu.
Hingga orang-orang gampang nonton dan melaporkan
betapa nyaman dan amannya aku di rumah itu."
Padahal sudah lama orang seperti dia divonis kutukan:
"Dilarang berbahagia, seumur kehidupan."
Hukuman paling sadis tanpa pembelaan.
/4/
Sekarang dia menjadi pengelana. Mengembarai hari.
Mengendarai kaki sendiri. Memedomani hati sendiri.
Mencari rumah yang tanpa pintu.
Rumah yang entah di mana,
tapi dia tahu ada: sudah lama ia ditunggu di sana.