TINGGAL sepucuk surat. Setelah kantong terpal
     tebal itu kosong dijemput alamat alamat.
     Tukang pos tua terus saja mengayuh pedal
     sepeda, sampai seseorang membubuhkan
     tanda tangan pada tanda terima. Ini surat
     tercatat. Seperti berabad lama. Tukang pos
     itu tak ingin merasa tua. Umurnya tak dicatat.
TINGGAL sepucuk surat. Dengan nama dan
     alamat yang seperti sangat dikenalnya. Dia
     sedang menuju kesana. Mengantarkan surat
     satu-satunya yang masih tersisa. Pasti si
     peneriman surat ini sedang menunggu di sana -
     begitulah selalu ada kalimat itu. Menyemangatinya.
     Meskipun kadang-kadang ada yang tak kurang
     bertata krama memaki makinya karena kiriman
     yang terlambat tiba. Kok belum diantar? Ini kan
     surat sangat kilat? Kok paketnya rusak? Bapak
     yang membukanya ya? Kok prangkonya dicopot?
     Ah begitu banyak kok yang membuatnya semakin tua.
     Siksa usia yang terus dilawannya.
TINGGAL sepucuk surat. Begitu ingin dia membukanya.
     Tapi itu tentus aja tidak akan pernah diperbuatnya.
     Melanggar kode etik profesinya. Melanggar sumpah.
     Hingga dia tua, dia sangat mencintai pekerjaan itu.
     Pengantar surat adalah pekerjaan sangat mulia.
     Dia muliakan dirinya dengan menjadi pengantar
     surat terbaik di kota ini. Ia bekejra 24 jam sehari
     semalam. Ia mengantar surat ke alamat alamat
     yang paling sulit dicapai pelayanan pos negeri ini.
     Tanpa tropi tanpa medali tanpa sertifikat penghargaan.
     Ia baktikan seluruh hidupnya sampai tua usianya.
TINGGAL sepucuk surat. Dan dia tiba-tiba teringat
     satu-satunya surat yang pernah ia terima. Surat
     panggilan kerja dari jawatan pos. Satu-satunya
     surat yang masih terlipat rapi di dompetnya. Tersimpan
     bersama kartu pengenal pegawai pos yang sangat
     dibanggakannya.
TINGGAL satu-satunya surat. Dengan nama dan alamat
     yang sangat dikenalnya. Sepertinya. Sepertinya. Dia sangat
     mengenal selok belok pelosok gang pojok kota ini. Seperti
     pernah diantarnya sepucuk surat ke alamat ini dulu. Tapi
     dia tak lagi percaya pada ingatannya yang tua. Tapi dia tak
     ingin menodai bertahun-tahun pengabdiannya dengan
     kesalahan karena tak berhasil mengantar satu-satunya
     yang saat itu tersisa.
sep 2003