Monday, September 8, 2003

Tentang Seorang Tukang Pos Tua

TINGGAL sepucuk surat. Setelah kantong terpal

     tebal itu kosong dijemput alamat alamat.

     Tukang pos tua terus saja mengayuh pedal

     sepeda, sampai seseorang membubuhkan

     tanda tangan pada tanda terima. Ini surat

     tercatat. Seperti berabad lama. Tukang pos

     itu tak ingin merasa tua. Umurnya tak dicatat.



TINGGAL sepucuk surat. Dengan nama dan

     alamat yang seperti sangat dikenalnya. Dia

     sedang menuju kesana. Mengantarkan surat

     satu-satunya yang masih tersisa. Pasti si

     peneriman surat ini sedang menunggu di sana -

     begitulah selalu ada kalimat itu. Menyemangatinya.

     Meskipun kadang-kadang ada yang tak kurang

     bertata krama memaki makinya karena kiriman

     yang terlambat tiba. Kok belum diantar? Ini kan

     surat sangat kilat? Kok paketnya rusak? Bapak

     yang membukanya ya? Kok prangkonya dicopot?

     Ah begitu banyak kok yang membuatnya semakin tua.

     Siksa usia yang terus dilawannya.



TINGGAL sepucuk surat. Begitu ingin dia membukanya.

     Tapi itu tentus aja tidak akan pernah diperbuatnya.

     Melanggar kode etik profesinya. Melanggar sumpah.

     Hingga dia tua, dia sangat mencintai pekerjaan itu.

     Pengantar surat adalah pekerjaan sangat mulia.

     Dia muliakan dirinya dengan menjadi pengantar

     surat terbaik di kota ini. Ia bekejra 24 jam sehari

     semalam. Ia mengantar surat ke alamat alamat

     yang paling sulit dicapai pelayanan pos negeri ini.

     Tanpa tropi tanpa medali tanpa sertifikat penghargaan.

     Ia baktikan seluruh hidupnya sampai tua usianya.



TINGGAL sepucuk surat. Dan dia tiba-tiba teringat

     satu-satunya surat yang pernah ia terima. Surat

     panggilan kerja dari jawatan pos. Satu-satunya

     surat yang masih terlipat rapi di dompetnya. Tersimpan

     bersama kartu pengenal pegawai pos yang sangat

     dibanggakannya.



TINGGAL satu-satunya surat. Dengan nama dan alamat

     yang sangat dikenalnya. Sepertinya. Sepertinya. Dia sangat

     mengenal selok belok pelosok gang pojok kota ini. Seperti

     pernah diantarnya sepucuk surat ke alamat ini dulu. Tapi

     dia tak lagi percaya pada ingatannya yang tua. Tapi dia tak

     ingin menodai bertahun-tahun pengabdiannya dengan

     kesalahan karena tak berhasil mengantar satu-satunya

     yang saat itu tersisa.



sep 2003