Wednesday, November 30, 2011

Tintin, Herge, Spielberg dan Ruang Antarpanel yang Hilang


MAAF Tuan Steven Spielberg dan Tuan Peter Jackson, saya tidak terlalu suka dengan film Tintin yang sudah dengan sedemikian canggih Anda jadikan, Anda persiapkan sejak 1983, pada tahun kematian Herge – sang kreator komik itu, dan menghabiskan anggaran raksasa itu.



Saya tidak akan kehabisan bahan untuk memuji kehebatan film Tuan itu – teknologi 3D yang nyaris sempurna, sangat canggih tapi tidak meninggalkan “rasa komiknya yang kuno” ,  kecermatan menyusun cerita dengan menggabungkan tiga judul buku komik asli, dan karakter yang hidup persis seperti ketika pembaca membayangkannya saat membuka lembar-demi lembar buku komiknya - tapi biarkan saya untuk tetap mencintai komiknya saja, dan saya harus bilang, film Tuan yang semula saya harap membuat saya lebih mencintai versi komiknya, ternyata mengganggu rasa cinta saya.

Sederhana saja, saya kehilangan ruang antarpanel yang menjadi rahasia sihir dan daya pikat komik Tintin dan komik apa saja. Ya, ruang antarpanel! Jika komik adalah rangkaian gambar yang terjukstaposisi, terdampingkan secara berurutan, maka kunci kehebatannya adalah ruang antarpanel itu.

Terima kasih pada Scott McCloud - eksponen komik yang dengan gigih mempertahankan, merumuskan kembali, menemukan lagi potensi komik, dan mengembalikan komik sebagai seni dengan segala kemungkinan yang bisa dikembangkan dari situ - yang dengan jenius sudah merumuskan hal itu.

Di ruang antarpanel itulah imajinasi saya sebagai pembaca bermain. Dan itulah kunci kenikmatannya. Dua gambar yang berdampingan, adalah tanda, untuk memulai dan mengakhiri imajinasi. Rangkaian gambar dalam komik adalah arus imajinasi yang mengalir dari dan di dalam ruang-ruang kosong antarpanel itu.  Sederhananya begini: misalnya, ada dua panel gambar, satu bergambar bayi, satu bergambar sosok jompo. Maka ruang kosong antar dua panel itu adalah bentangan waktu puluhan tahun, dari bayi hingga tua, imajinasi pembaca bisa mengisi cerita apa saja pada bentangan waktu itu. Itulah, secara sederhana bagaimana mekanisme sebuah cerita dalam komik bekerja., menurut Tuan McCloud.

Bertahun-tahun menikmati komik, dan sempat saya bermimpi kelak menjadi komikus (mungkin mimpi ini masih saya pelihara hingga saat ini),  saya tidak memahami itu. Tapi, untuk menikmati sesuatu kita toh tak harus paham lebih dahulu, seperti halnya puisi, hal lain yang juga memikat saya, dan sebagian waktu hidup saya curahkan untuknya.

Saya kenal Tintin ketika SD. Saya lupa judul apa yang saya baca waktu itu. Saya meminjam baca sebentar kepada anak guru saya yang kebetulan teman sekelas saya. Mereka tinggal di rumah dinas, di seberang sekolah. Dalam ingatan yang rambang, rasanya dari komik itu saya melihat adegan Tintin di padang pasir, naik onta, kejar-kejaran naik jip. Saya tidak puas membacanya, tapi tentu saya tahu diri, saya tidak akan meminjamnya untuk dibawa pulang. Komik itu saya pikir pasti mahal. Saya sangat kecewa, ketika kemudian menemukan robekan komik Tintin di halaman rumah kawan saya itu. Baginya, rupanya komik itu sama sekali tak ada harganya. Saya terpikir kenapa tidak saya minta saja komik itu.

Bertahun-tahun saya hanya memendam penasaran. Waktu itu saya tidak tahu sudah semendunia apakah Tintin. Saat itu, kira-kira tahun 1979, artinya komik Tintin yang mulai diterbitkan tahun 1929 sudah berusia 50 tahun. Satu karakter komik menembus waktu setengah abad, pasti ada yang luar biasa di komik itu.

Kelak ketika SMA di Balikpapan, saya bertemu lagi dengan Tintin. Kawan sekelas saya, anak seorang karyawan Pertamina punya koleksi lengkap. Kami hanya bisa membaca di rumahnya. Dia sangat cermat mengelola koleksi komiknya. Saat itu saya membaca sebagian dari serial Tintin, yang paling saya ingat Penerbangan 714. Ada adegan Tintin dan kawan-kawan mendarat di Bandara Kemayoran, bertemu bekantan, dan komodo.

Bekantan itu salah satu habitatnya ada di hutan Airhitam - National Geographic pernah meliput ini - di kecamatan yang sama dengan kampung kelahiran saya. Pikiran remaja saya yang penuh mimpi petualangan itu menyimpulkan satu hal: Hebat sekali Herge! Dia tidak pernah ke Indonesia. Imajinasi dan riset yang tekunlah yang membuat dia menyampaikan Tintin ke Indonesia.

Saya membaca semua koleksi Tintin saat menjadi mahasiswa. Pacar saya - yang kini jadi istri saya- punya koleksi lengkap. Sebenarnya bukan punya dia. Ada seorang sahabat kecilnya yang menitipkan padanya. Kawan itu tahu, pacar saya adalah penyimpan yang cermat. Tapi, sampai hari ini, koleksi itu tak pernah ia minta kembali.

Membaca komik Tintin saat mahasiswa memang sangat telat. Ketika itu tentu saja waktu sudah sebagian tersita oleh praktikum dan diktat. Tapi, Tintin, saya kira sampai kapanpun tak akan kehabisan daya pikat. Bukankah Tintin adalah komik yang oleh Herge (mungkin dengan selera seloroh yang luar biasa) disebutkan sebagai Jurnal untuk Anak Muda usia 7 hingga 77 tahun? Saya masih punya waktu 36 tahun untuk membacanya, dan pada saat itu saya akan tetap merasa sebagai Anak Muda.

Mudah sekali siapa saja merasukkan diri ke diri Tintin. Ia bukan superhero - saya tak suka, Spiderman, Batman dan Superman, yang semuanya sama-sama lahir dari komik. Lahir dari dunia imajinasi juga.  Maksud saya, kesukaan saya pada karakter-karakter hero itu tak akan pernah mengalahkan kegemaran saya pada Tintin. Tintin hanyalah seorang remaja, tidak jelas berapa persisnya usianya, mungkin di awal 20-an. Dia tidak harus menyamar menjadi sosok lain jika dia harus menyelesaikan sebuah perkara. Ia tampil sebagai dirinya sendiri. Tintin yang lurus, serius, sama sekali tidak jenaka. Tapi kisahnya bisa membuat pembaca terpingkal-pingkal.

Dan yang paling penting, Tintin adalah seorang wartawan. Dalam alam pikir kanak-kanak dan remaja saya - dirangsang oleh Tintin - saya bayangkan, ah, betapa sedapnya menjadi wartawan. Banyak hal yang bisa membawanya mengunjungi berbagai belahan dunia. Tintin juga mengajari pembacanya untuk berani, berpikir solutif, cermat menganalisa persoalan, lekas bertindak, dan tak pernah putus asa.

Bagaimana Herge menciptakan Tintin? Herge adalah lafal Prancis dari RG, kebalikan inisial George Prosper Remi, komikus Belgia kelahiran tahun 1907, dan diberkahi usia panjang. Herge meninggal pada usia 75 tahun, pada tahun 1983. Sepanjang hidupnya, dia menghasilkan 24 serial Petualangan Tintin, sejumlah komik dengan tokoh lain, dan satu konsep coret-coretan komik Tintin yang belum selesai, dan kini sudah diterbitkan juga. Konsep terakhir itu diterbitkan apa adanya, sebagai sebuah komik yang tak selesai. 

Herge bukanlah anak yang cemerlang di sekolah. Ia lebih suka main, dolanan dengan kawan-kawannya di jalanan. Tapi satu hal, dia suka ikut kegiatan kepramukaan, dan dia jago menggambar. Kelebihan yang terakhir itu lekas ditangkap oleh pembinanya, di mana kelak ia dipercaya menjadi illustrator di majalah kepanduan Belgia.

Herge pernah menjadi wartawan foto di suratkabar Le Vingtième Siècle, dengan hasil-hasil jepretan yang memuaskan redaksi. Ia kemudian dipercaya menangani lembaran anak-anak. Di situlah cikal-bakal Tintin lahir.  Seperti dirinya, Herge membuat karakter Tintin sebagai seorang wartawan, meskipun dalam cerita komiknya tidak pernah ada adegan Tintin menulis atau mengirim berita, dan tak jelas pada surat kabar apa dia bekerja.  Apapun, komik Tintin berhasil melejitkan oplah suratkabar Le Vingtième Siècle, hingga enam kali lipat.

Siapakah sebenarnya Tintin? Herge pernah mengakui sosok fisiknya ia ambil dari adiknya Paul Remi. Tapi karakter keseluruhannya adalah dia sendiri.  ”Tintin adalah diri saya sendiri. Dia mencerminkan hal terbaik dan cemerlang dari dalam diri saya; dia itu kesuksesan ganda saya; saya bukan seorang pahlawan. Tapi seperti semua bocah-usia-15-tahun, saya bermimpi menjadi seseorang.... dan saya tak pernah berhenti bermimpi. Tintin melengkapi banyak hal-hal yang ingin saya capai,” kata Herge dalam sebuah wawancara. []