SEHABIS pemakaman mamaku, aku bertemu dengannya. Dia tak banyak berubah, selalu berpakaian sederhana, juga di saat-saat penting seperti pemakaman ini. Penampilannya seperti hendak pergi ke kebun: baju batik lusuh yang warnanya sudah sangat pudar, celana dengan ujung yang gantung dan lipatan di ujung bawah pipa celananya itu koyak.
Begitulah memang dia sejak kukenal dulu, selagi aku masih kanak-kanak. Ia selalu tampil dengan sangat sederhana, kecuali apa yang ia kenakan di kepalanya. Ya, pecinya. Pada saat-saat penting, misalnya kenduri, perayaan hari-hari besar Islam di masjid besar kampung kami, atau pada hari Jumat, ia selalu memakai peci terbaik, yang selalu tampak baru. Peci itu sedikit membantu kebagusan penampilannya tapi sama sekali tak bisa menyelamatkannya dari salah duga orang yang baru bertemu atau mengenal dia.
Orang akan mudah mengira dia hanyalah lelaki tukang ambil upah. Itu adalah pekerjaan paling rendah dalam struktur sosial di kampung kami. Itu tidak sepenuhnya salah. Dia dulu, bertahun-tahun, sejak memulai hidup, beristri, beranak, adalah tukang ambil upah.
Memang itulah pekerjaan dia. Di kampung kami, di mana kesejahteraan bersumber dari kebun kelapa, banyak tersedia pekerjaan untuk orang upahan. Dari menebas gulma, hingga mengupas sabut buah kelapa. Di antaranya tersedia pekerjaan bagi pemanjat kelapa saat panen, pengangkut buah kelapa dengan lanjung-lanjung rotan, menghanyutkan buah kelapa di sungai hingga sampai ke muara. Itu pekerjaan rutin. Kelapa dipanen berkala setiap tiga bulan.
Saya memanggilnya Paman Penanam Pisang. Setiap kali pulang dari pekerjaan mengambil upah, dia meluangkan waktu untuk mencari tunas anak pisang. Di tanah-tanah kosong di antara pohon-pohon kelapa, atau di sepanjang parit-parit irigasi, dan di batas-batas petak kebun-kebun kelapa di kampung kami, oleh pemilik yang rajin, akan ditanami pohon pisang. Hasil panen pisang, tidak seberapa, dibandingkan tanaman utama kelapa. Tapi, itu jauh lebih baik daripada lahan-lahan kosong itu dibiarkan sama sekali kosong.
Paman Penanam Pisang melihat peluang itu. Di lahan kosong kebun, dengan seizin pemiliknya, ia tanami pohon pisang. Kelak hasilnya ia bagi, tapi ada juga pemilik kebun yang mengikhlaskan saja seluruh hasil pisang itu kepada Paman Penanam Pisang. Dengan cara itulah ia mengubah kehidupannya. Ia sekarang bukan lagi hanya seorang tukang ambil upah. Ia sekarang pemilik kebun kelapa terluas di kampung kami.
Secara ekonomi Paman Penanam Pisang sudah berubah. Ia sudah naik ke tingkat tertinggi dalam struktur kehidupan orang kampung kami, ia sekarang termasuk salah seorang pemilik kebun kelapa terluas, sudah naik haji - inilah mimpi dan cita-cita tertinggi penduduk kampung kami, meskipun seringkali itu menjadi sumber bencana terbesar.
Ya, secara ekonomi Paman Penanam Pisang sudah berubah, meskipun secara penampilan fisik ia sama sekali tak berubah: ia tetap sederhana, dengan baju dan celana lusuh, seakan hendak berangkat atau pulang dari kerja mengambil upah, seperti penampilannya sejak dulu aku mengenalnya.
“Paman nanti malam ikut tahlilan dan mengaji di rumah kami?” tanyaku setelah menyalami, dan kami berpelukan, seusai pemakaman ibuku.
“Pasti saya akan datang. Saya berutang banyak pada almarhumah mamamu,” katanya, dan aku mengikuti pandangannya ke arah gundukan tanah segar, yang baru saja, beberapa menit lalu, menimbun jenazah ibuku. Dua kayu ulin sebagai nisan ditancapkan di gundukan itu. Pada salah satunya lewat pahatan yang diolesi kapur, terbaca nama ibuku, tahun lahir, dan tanggal kematiannya. Rangkaian janur, dan untaian bunga di serat-serat pelepah batang pisang tergantung di kedua nisan itu, dan sebagaian lainnya terhampar menutupi gundukan tanah.
“Bukan utang uang atau harta. Saya berutang pelajaran bagaimana membangun hidup. Jika tidak karena pelajaran dari ibumu itu, dan jika bukan karena dorongan semangat dari ayahmu, saya tidak akan bisa mengubah nasib saya, menjadi seperti sekarang ini,” kata Paman Penanam Pisang dengan senyum yang selalu ada di wajahnya, seakan mengisyaratkan bahwa selalu ada rasa bahagia di hatinya.
***
KAMI – di kampung kami - memulai rangkaian tahlilan sejak magrib, dan berakhir setelah Isya. Di rumah kami, jemaah sudah berkumpul sejak magrib. Setelah salat magrib berjamaah, diteruskan salat hadiah, lalu membaca surah Yasiin, kemudian dirangkai dengan tahlil dan doa arwah. Kami menyediakan santap malam sekadarnya. Setelah itu, jemaah satu per satu pamit, kecuali keluarga dekat yang masih bertahan, meneruskan obrolan yang begitu asyiknya, kadang-kadang sampai jauh malam.
Aku mengumpulkan buku surah Yasiin, melipat kain-kain batik peninggalan Ibu yang dibentang jadi kain sembahyang. Saya menciumi wangi mori kain batik itu, seperti dulu ketika puluhan tahun lalu dibeli oleh Ibu dari penjual kain keliling, dengan mencicil. Kain batik yang sama, menudungi liang lahat saat jenazah mama dikebumikan. Begitulah dulu keinginan mama. “Kalau aku mati nanti, aku mau liang lahatku dinaungi kain yang kubeli sendiri,” kata Mama.
Saya melihat Paman Penanam Pisang duduk dengan nyaman di sudut, sedang berbicara dengan abah yang sesekali harus berdiri menyalami tamu jemaah tahlilan yang pamit. Paman Penanam Pisang selalu memilih tempat duduk yang membuat kehadirannya tak teperhatikan. Begitulah selalu dia. Tak pernah ingin menonjolkan diri. Tak pernah mengambil bagian banyak dalam pembicaraan-pembicaraan di keluarga kami. Aku menghampirinya, menyalaminya, dan memintanya berdiri. Dia mengikutiku. Aku membawanya duduk ke tengah ruangan rumah.
“Sebentar,” kataku, “saya ingin malam ini kita mendengarkan cerita Paman Penanam Pisang tentang almarhum Mama kami.” Paman Penanam Pisang tersipu-sipu. Malu. Orang-orang, sepupuku, paman-pamanku yang lain, bibi-bibi yang sudah menyelesaikan pekerjaan di dapur, sudah berkumpul semuanya di ruangan tengah rumah kami.
Paman semakin gugup. Ia tak terbiasa bicara di depan orang banyak. “Ah, anak kemenakanku yang satu ini ada-ada saja. Saya tak bisa bicara. Saya ini orang bodoh. Dari dulu, semua orang di kampung ini tahu, saya hanya seorang lelaki yang bodoh,” kata Paman.
“Tadi sehabis pemakaman almarhumah mama kami, paman sekilas bilang berutang besar pada Mama kami. Saya kira Paman bisa ceritakan itu saja, apa sebenarnya utang paman kepada Mama kami,” kata saya, memancingnya membuka pembicaraan. Saya lihat dia mulai tenang, dan tetap dengan senyumnya, dia memandangi saya, lalu menatap ke semua keluarga yang kini memperhatikan dia.
“Ya, saya ingin orang yang bodoh. Sekolah SD tidak tamat. Hampir di setiap kelas saya pernah tidak naik. Di setiap kelas saya harus jalani dua tahun. Sepuluh tahun saya baru selesaikan kelas 5. Begitu sampai di kelas enam saya merasa sudah sangat tua. Saya malu, dan akhirnya saya berhenti.
“Tidak ada yang membanggakan pada saya. Semua keluarga pasti malu mengakui bahwa saya adalah sepupu, atau kemenakan mereka. Para kemenakan juga tak ada yang bangga mengaku saya sebagai pamannya.
“ Tidak ada harapan bagi saya. Kecuali satu hal: saya tidak malas. Dan itulah yang selalu diingatkan oleh almarhumah Kakak, almarhum mamamu,” katanya. Ketika menyebut mama dia mengarahkan wajah ke saya. Saya tersenyum dan menangkap ketulusan pada ucapan itu.
“Kakak selalu bilang, Tuhan memberi kepintaran yang berbeda-beda. Tapi itu bukan untuk merendahkan yang satu di hadapan yang lain. Kepintaran hanyalah satu syarat untuk membangun kehidupan yang berhasil baik, ada satu modal penting lain yang sepenuhnya tergantung pada kita: mengatasi kemalasan.
“Kakak selalu bilang, orang pintar tapi malas tidak akan pernah jadi orang yang berhasil. Jauh lebih baik orang yang dianggap bodoh, atau memang bodoh seperti saya, tapi dia lawan kemalasannya. Itu membuat dia bisa menjadi orang yang berhasil dan punya kelak kehidupan yang baik dan nyaman.
“ Saya tahu kakak bukan orang yang bodoh. Dia hanya tidak punya kesempatan menempuh pendidikan resmi di sekolah. Tapi, saya tahu persis, kakak bukan orang yang malas. Saya belajar dari dia. Dalam banyak hal, saya meniru dia. Itu yang perlahan-lahan mengubah hidup saya, membawa saya menemukan harga diri saya. Itulah utang terbesar saya pada almarhumah kakak.
Semua keluarga yang masih ada di ruangan tengah rumah kami terdiam. Tenggalam dalam kenangan masing-masing terhadap almarhumah mama. Demikian juga aku. Paman Penanam Pisang merasa tidak nyaman dan merasa sudah terlalu banyak bicara. Ia sendiri tampaknya tidak percaya bisa bicara sepanjang itu. Dia salah tingkah dan pamit pulang. “Besok pagi-pagi saya mau menebang pisang,” katanya.[]
:: Kolom ini adalah bagian awal dari novel berjudul “Paman Penanam Pisang”.