Sunday, November 6, 2011

[Ruang Renung # 258] Sebuah Pengakuan yang Indah

PERKENALAN pertama saya dengan puisi berlangsung di sebuah sungai dengan sejumlah senja. Demikian Goenawan Mohamad menulis di esainya "Fragmen: Peristiwa" (Puisi dan Antipuisi, 2011). Ini sebuah pengakuan yang indah. Mari kita telusuri keindahannya dari kutipan selanjutnya berikut ini.

Ketika umur saya velum belasan tahun, kata Goenawan, saya sering mendengarkan para nelayan bernyanyi di sebuah tikungan sungai tak jauh dari rumah kami, ketika hari lewat magrib. Mereka mulai mendayung perahu mereka ke arah muara. Dengan mata saya yang rabun, saya tak pernah dapat melihat mereka dengan jelas, apalagi ketika perahu bergerak menjauh. Gelap memang sudah mulai menutupi.



Pakain mereka umumnya coklat tua, terbuat dari kain belacu kasar yang dicelup tungu, pewarna dari kulit kayu hutan. Perahu agak besar untuk 16 orang itu hanya diberi dua atau tiga lampu petromaks, di antaranya di buritan, di bawah tiang kedua yang dihiasi dengan ukiran kayu sesosok tubuh Mahabharata. Di dapur yang terbuka dua-tiga anak yang dibawa ke laut mulai memasang tungku, menanak nasi. Dan orang-orang dewasa mendayung, sambil menyanyi.

Seseorang akan melantangkan suaranya, solo, dan tiap kali, ambil dayung panjang itu diempaskan, awak yang kain akan menyahut dalam paduan suara.

Apa yang mereka lagukan hanya sepatah-sepatah saya tangkap. Mereka mengubah-ubahnya tiap kali di sana-sini. Tapi selalu ada sugesti erotik, juga melankoli, pada pelbagai baris. Tubuh perempuan. Si jantan yang tak beruang. Nama kembang sebagai metafor. Seorang tokoh dari cerita Damarwulan. Yang sayu bertaut dengan yang bergairah, yang cemas berjalin dengan yang nikmat dan bebas, dan suasana bergema itu seakan-akan tengah merayakan kebersamaan dalam kerja dan tualang--- tapi tak satu pun yang sebenarnya saya pahami. Lagi pula, inilah yang terjadi tiap kali: berangsur-angsur kata-kata itu akan makin terdengar lamat-lamat.

Ketika kemudian saya mengenal dan menyukai puisi, suara nyanyian menuju muara itulah yang selalu saya ingat. Puisi datang pertama kali kepada saya melalui nadanya, suara yang bergerak menjauh, ketika hari tiga perempat gelap. []