KITA tamu terakhir restoran rugi ini, memesan gulai kelinci. Di genangan kuah itu, duka melompat kian kemari, riang sekali. Bagai lagu dan tari Chica dan Adi.
Pada semangkuk gulai ini, mengapung sepasang mata kelinci, memandangi kita, seperti tatap penjaga gerbang tinggi, memergoki kita mau lari, bolos sekolah lagi.
Sepi sekarang memenuhi semua kursi di restoran ini, menemani kita yang saling menunggu, siapa yang lebih dahulu menangis, dan siapa yang lalu mengikuti.