Wednesday, August 4, 2010

[KOLOM] Dia Sumbangkan 99 Persen Kekayaannya

Warren Buffet
Hari-hari ini, saya berpikir tentang uang. Bukan tentang bagaimana cara mendapatkannya, tetapi tentang betapa nisbinya benda itu, dan rasanya kini saya semakin realistis memandangnya.

Hari-hari ini saya berpikir tentang Warren Buffet, orang paling kaya sedunia, yang setelah dibujuk oleh Bill Gates, secara resmi menyatakan menyumbangkan seluruh kekayaannya untuk kegiatan sosial, untuk dana amal kemanusiaan (kecuali dia minta kurang dari 1 persen untuk disisakan!). Karena itu saya ingin sekali jadi orang sekaya dia!

Apa? Tidak percaya? Benar tidak salah, Buffet hanya minta kurang dari 1, satu, S.A.T.U persen. Janjinya ada disiarkan di Majalah Fortune Indonesia edisi perdana. Ia tulis sendiri. Janji saya: lebih dari 99 persen kekayaan akan digunakan untuk kegiatan amal semasa saya hidup atau setelah saya meninggal.

Buffet juga menimbau agar orang kaya di Amerika menjaminkan setidaknya separo dari kekayaan mereka untuk amal. Saya tak tahu berapa banyak orang yang menyambut imbauan itu. Tapi, itu sungguh terdengar sangat mulia.



Buffet sendiri, sudah sejak tahun 2006 memberikan teladan tentang kedermawanan. Ia sejak tahun itu secara bertahap menghibahkan sahamnya di Berkshire Hathaway, hingga terserahkan seluruhnya kepada yayasan filantropi, tanpa sisa lagi yang ia miliki. Saat ini, sudah 20 persen sahamnya tak di tangannya lagi. Dan selanjutnya, setiap setahun otomatis empat persen sahamnya ia sedekahkan. Bukan uangnya, tapi persen sahamnya, artinya si penerima, akan terus menerus menerima hasil dari saham itu.

“Saya tidak bahagia dengan keputusan itu,”  katanya. Ia tidak menyesal. Ia rupanya  tidak bahagia karena merasa belum banyak memberi, lalu ia ikrarkan tekad itu: menyerahkan lebih dari  99 dari seluruh kekayaannya.

Uang, sebenarnya tidak ada. Baiklah, uang itu ada, tapi abstrak! Uang hanya konsep. Konsep nilai, kata Richard Templar, dalam "The Rule of Wealth" atau “Kaidah-kaidah Kesejehateraan” (sebenarnya Templar melarang saya dan siapa pun yang membaca buku itu - dia menyebutnya Penganut Kaidah - memberi tahu orang lain bahwa saya adalah seorang penganut kaidah).

Pertanyaan Templar itu kira-kira begini: kalau saya pegang selembar uang Rp100 ribu, apa sebenarnya yang membuat lembaran itu bernilai 100 ribu? Ada serangkaian peristiwa sebelumnya. Ada serangkaian kesepatakan, tentang nilai-nilai. Ada kesepakatan dengan negara yang menetapkan nilai mata uang. Ada kesepakatan dengan bank sentral yang menetapkan lembaran tu bernilai Rp100 ribu.

Ada kesepakatan dengan lembaga yang mempekerjakan saya tentang berapa nilai tenaga dan waktu yang saya curahkan untuk memberi nilai pada lembaga bernama perusahaan itu. Saya tentu saja boleh tidak sepakat dengan itu.

Kalau uang itu adalah nilai, maka apa hubungannya dengan nilai-nilai yang lain? Nilai kesalehan sosial seseorang? Nilai yang saya peroleh ketika saya menolong dengan tulus?

Kawan saya membantah saya. Kata kawan saya itu, "sekarang semua diukur dengan uang! Kita bisa ditinggikan atau direndahkan orang tergantung berapa uang yang kita simpan."

Kawan saya ada benarnya. Saya tak bantah dia. Uang, karena kelenturannya, karena kemudahan konsep nilainya, akhirnya menjadi alat ukur perantara nyaris untuk segala hal. Dan memang untuk itulah dia ada: sebagai alat tukar. Ah, satu lagi alasan untuk tak terlalu mendewakan uang. Ia ternyata memang hanya alat. Alat tukar.

Uang, sekali lagi itu adalah kesepakatan yang kita sering lupa bahwa itu "hanya" kesepakatan. Artinya, kita bisa tidak sepakat. Saya mengingat beberapa peristiwa dulu, yang memapar ke saya bagaimana  kesepakatan itu bisa diabaikan.

Dulu, ketika bekerja membangun hutan tanaman industri, kamp kami dekat dengan perkambungan suku Dayak. Mereka kerap datang membawa sayur, buah, dan minta ditukar dengan barang saja: gula atau garam.  Primitif? Tidak, uang tak bernilai di tangan mereka, karena itu, dengan cara itu mereka menolak kesepakatan memegang nilai-nilai uang itu. Sepadankah garam dan gula dengan sayur yang mereka berikan? Itu soal lain. Itu soal kesepakatan lain. Bagi mereka, itu sepadan.

Ada batas-batas lain, yang dengan amat mudah, membuat uang jadi tidak berdaya. Misalnya, saya punya uang ratusan juga. Jumlah  yang cukup untuk membayar harga sebuah rumah yang saya inginkan. Tapi, si pemilik tidak ingin menjualnya, atau sudah menjual ke orang lain. Saya dan uang saya benar-benar tidak berdaya. Uang saya tidak bisa memenuhi hasrat saya untuk memiliki rumah itu.

***

Hari-hari ini saya memabaca Warren Buffet dan saya ingin kaya. Apakah kaya? Bagi Buffet, kaya itu sepertinya adalah: dia tidak cemas lagi dengan apa saja. Ia tak cemas lagi dengan bagaimana ia harus menjalani sisa hidupnya. Ia tak cemas lagi, bagaimana masa depan tiga anaknya. Kaya, bagi Buffet bukan memiliki banyak benda.

“Anak-anak telah menerima jumlah yang signifikan untuk kebutuhan mereka saat ini dan masa datang,” kata Buffet, dan yang penting, tiga anaknya itu bukanlah anak orang kaya yang manja. “Mereka hidup nyaman dan produktif,” kata Buffet.

Salah satu anaknya, menjadi musisi. “Saya tak melarang, saya dukung dia, tapi saya tak akan pernah memberi dia modal untuk rekaman,” kata Buffet.

Masa depan, dan anak-anak. Itu yang sering mencemaskan kita. Buffet telah mengatas kecemasan itu. Dan kini, baginya  aset yang paling berharga adalah waktu. Ya, waktu. W.A.K.T.U.  “Ikrar ini (menyumbangkan 99 persen dari seluruh kekayaannya), tak membuat saya menyumbangkan aset paling berharga, yaitu waktu,” katanya. Dia malah bisa mendapatkan waktu lebih banyak. Sesungguhnya, tidak mudah bagi Buffet untuk menjadi kaya, mengumpulkan nilai kekayaan yang berkali-kali menempatkannya dalam urutan pertama orang terkaya di dunia. “Saya telah bekerja!” katanya. Dan ia percaya pada keberuntungan. Dan kini ia ingin mengembalikan itu kepada yang lebih memerlukan. Itu yang ia perlukan, bukan lagi uang atau benda.  

“Sering terjadi, koleksi harta malah berbalik memiliki si empunya,” kata Buffet. Harta, rumah lusinan, pesawat pribadi bisa jadi beban. Buffet melepaskan semua itu. Ia mengubah gaya hidupnya.

Selain waktu, Buffet amat sadar, ia punya aset lain yang tak teruangkan, katanya, “Aset saya yang paling bernilai, selain kesehatan adalah berkumpul bersama teman-teman lama.”

Kawan saya bilang, “Buffet kan sudah kaya, sudah bosan dia jadi orang kaya”. Saya kali ini ingin membantah kawan saya itu. Benarkah dengan apa yang ada pada saya sekarang, pada keadaan saya sekarang ini, benar-benar tak ada yang bisa saya berikan pada orang lain yang membutuhkan? Saya memang masih mencemaskan masa depan saya dan istri saya nanti. Saya juga masih belum pasti dengan masa depan anak-anak saya dan saya bekerja keras untuk itu. Tapi, rasanya, banyak yang saya bisa berikan, tidak perlu menunggu sekaya Buffet dan tak harus memberi sebanyak yang sanggup ia berikan.[]