KITA tak pernah peduli pada surat Penyair Besar
kepada Penyair Muda itu. Maka, kita pun terus
bertukar sajak cinta (dan akhirnya demikianlah:
sajak menjadi alasan dan jalan kita bercinta)
"Maukah kau menyajakkan (lagi) Mataku?" katamu.
Aku pun masuk ke matamu, dan di sebuah tempat
(seperti teluk pantai teduhnya), aku direbut
ombak. Mungkin saat itu kau sedang memejam
(aku seperti melayari malam), ketika itulah
kutemukan sebait yang kuyakini sebagai sajak:
Matamu lampu mercu, menyuar lelaki pelayar,
kau tak melihatku, aku menatapi dengan rindu.
"Hmmm, sekarang, sajakkanlah dadaku," pintamu.
Ah, betapa ingin dan alangkah takut aku menulis
sajak tentang bagian tubuh dari mana kelak kau
dipanggil Mama oleh anak-anak kita itu.
Banyak penyair di luar percintaan kita, menulis
dadadara kekasih mereka itu dengan berbagai
metafora, tapi aku (dalam bait sajak yang kutulis
setelah kau pinta itu) menjadikannya metafora,
(sebenarnya itu sajak paling gairah yang tak
pernah ingin kuselesaikan, selamanya...)
"Inilah sajak yang paling dada. Biar aku saja
yang menyimpannya, dan biar kuberitahu judul
apa yang aku ingin kau berikan pada sajak itu.
Judul sajak cinta ini paling tepat diletakkan di
dada bukan di kepala," katamu, mendekap sajakku.
Demikianlah, kita punya alasan yang kuat dan jalan
yang panjang untuk bercinta. Setiap kali menulis
sajak, aku seperti membaca dadamu, aku seperti
sedang menambahkan bait-bait baru pada sajak
tentang dadamu di dadadaramu itu.