AKU akan melupakan Nobel Sastra, apalagi
cuma Khatulistiwa Literary Award (KLA)
dan
aku akan merasa berhasil mengatasi
semua angkatan dalam sejarah sastra
dan
aku tak akan lagi takjub pada mantra
Tardji, imaji Sapardi, balada Rendra
dan
aku tak akan menulis puisi lain lagi
bila
kutemukan sajak sebait saja, bait
yang ajaib yang kalau kubacakan
maka
orang melupakan batu petir ponari itu
lalu
mereka yang sedang sakit tersembuhkan
mereka yang dikepung sedih terhiburkan
mereka yang lama miskin tercukupkan
mereka yang diam bisu tersuarakan
mereka yang dirampas lumpur tergantikan
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Monday, February 23, 2009
Monday, February 2, 2009
Sejalan Panjang Kenangan
1. Ruang-ruang Kuliah Kampus Lama
AKU sering tertidur di deretan kursi belakang.
Melewatkan kuliah profesor tentang bagaimana
membedakan jenis-jenis tanah dari warnanya.
Dan sekali waktu aku pernah bermimpi di tidurku
itu: pada-Nya, aku bertanya, "Aku, Kau tempa
dari tanah apa?" Dia menjawab, "Kenapa kau tanya
aku? Tanyalah itu profesor ahli tanahmu..."
Ah, Engkau! Padahal aku masih ingin tahu cara
membedakan Cahaya dan Api dari juga warnanya,
aku masih ingin bertanya di mimpi sesingkat itu.
2. Jalan Malabar, Bafak, Bagunde
KAMAR kosku dari timpa tumpuk diktat, bantal
gabus yang bantat, ransel yang tak pernah muat
menampung 23 SKS yang padat: praktikum yang ketat,
laporan yang cepat, praktek lapangan yang singkat
Kamar kosku tak bisa mengasingkanku dari parau
tenggorokan bemo, yang selalu ngebut tak sabar
di jalan Malabar, mengantar ke kios-kios fotokopi
di Bafak, ke kedai-kedai makan murah di Bagunde
Ada seorang sopir bemo yang bila kelak berjumpa
lagi ingin takzim kucium tangannnya. Dulu dia bilang,
"Buat apa jauh-jauh dari Kalimantan kuliah di
sini, Kang? Saya saja yang lahir dan besar di gubuk
di belakang kampus itu, tak tamat sekolah dasar..."
Ah, Engkau! Aku tiba-tiba sadar, betapa jauh telempar
ditendang oleh kaki nasib bertelapak kasar dan besar!
AKU sering tertidur di deretan kursi belakang.
Melewatkan kuliah profesor tentang bagaimana
membedakan jenis-jenis tanah dari warnanya.
Dan sekali waktu aku pernah bermimpi di tidurku
itu: pada-Nya, aku bertanya, "Aku, Kau tempa
dari tanah apa?" Dia menjawab, "Kenapa kau tanya
aku? Tanyalah itu profesor ahli tanahmu..."
Ah, Engkau! Padahal aku masih ingin tahu cara
membedakan Cahaya dan Api dari juga warnanya,
aku masih ingin bertanya di mimpi sesingkat itu.
2. Jalan Malabar, Bafak, Bagunde
KAMAR kosku dari timpa tumpuk diktat, bantal
gabus yang bantat, ransel yang tak pernah muat
menampung 23 SKS yang padat: praktikum yang ketat,
laporan yang cepat, praktek lapangan yang singkat
Kamar kosku tak bisa mengasingkanku dari parau
tenggorokan bemo, yang selalu ngebut tak sabar
di jalan Malabar, mengantar ke kios-kios fotokopi
di Bafak, ke kedai-kedai makan murah di Bagunde
Ada seorang sopir bemo yang bila kelak berjumpa
lagi ingin takzim kucium tangannnya. Dulu dia bilang,
"Buat apa jauh-jauh dari Kalimantan kuliah di
sini, Kang? Saya saja yang lahir dan besar di gubuk
di belakang kampus itu, tak tamat sekolah dasar..."
Ah, Engkau! Aku tiba-tiba sadar, betapa jauh telempar
ditendang oleh kaki nasib bertelapak kasar dan besar!
Kantin Mahatani
AKU dan dia selalu memesan menu yang sama:
semangkok soto daging, nasi dua piring dan
dua botol teh, pakai es. Lalu, dengan
kecap manis dan sambal yang berlebih, kuah itu
menjelma menjadi seperti larutan sampel
tanah dalam percobaan tiga unsur tekstur..
Ini bukan soal kemesraan, ini penghematan.
Ini juga tentang wesel datang lambat bulan.
Lagi pula yang paling nikmat di meja-meja itu
adalah percakapan tanpa menu: jenaka selalu.
Semurung apapun mendung di matamu, seketika
terusir oleh riuh tinggi percakapan di kantin itu.
Kepada seorang kawan yang stres karena skripsi
tentang pengaruh zeolit terhadap pertumbuhan
jahe (atau jagung manis) kuceritakan lelucon
ini: "Tahukah kamu? Nama saudara aktor
Tabah Panemuan? Namanya, Sabar Penelitian!"
Soto yang sama di kantin ini disantap oleh dosen,
mahasiswa, asisten dan penjaga laboratorium...
Lelucon yang sama ditertawakan selalu di sana!
Ah, Engkau. Aku selalu mengira Kau ada di situ duduk
di pojok, dengan sebatang rokok yang tak Kau bakar,
senyum ketika ada yang lucu, seakan ingin menceritakan
sesuatu.... Aku kira aku tahu selucu apa lelucon-Mu.
Tulis Akhir Postingan Anda
semangkok soto daging, nasi dua piring dan
dua botol teh, pakai es. Lalu, dengan
kecap manis dan sambal yang berlebih, kuah itu
menjelma menjadi seperti larutan sampel
tanah dalam percobaan tiga unsur tekstur..
Ini bukan soal kemesraan, ini penghematan.
Ini juga tentang wesel datang lambat bulan.
Lagi pula yang paling nikmat di meja-meja itu
adalah percakapan tanpa menu: jenaka selalu.
Semurung apapun mendung di matamu, seketika
terusir oleh riuh tinggi percakapan di kantin itu.
Kepada seorang kawan yang stres karena skripsi
tentang pengaruh zeolit terhadap pertumbuhan
jahe (atau jagung manis) kuceritakan lelucon
ini: "Tahukah kamu? Nama saudara aktor
Tabah Panemuan? Namanya, Sabar Penelitian!"
Soto yang sama di kantin ini disantap oleh dosen,
mahasiswa, asisten dan penjaga laboratorium...
Lelucon yang sama ditertawakan selalu di sana!
Ah, Engkau. Aku selalu mengira Kau ada di situ duduk
di pojok, dengan sebatang rokok yang tak Kau bakar,
senyum ketika ada yang lucu, seakan ingin menceritakan
sesuatu.... Aku kira aku tahu selucu apa lelucon-Mu.
Tulis Akhir Postingan Anda
Pendakian Malam Hari Gede-Pangrango
AKU jadi lebih mengerti kenapa Kau beri sepasang kaki
itu karena dalam pendakian tiap langkah menjejaki lumut
batu-Mu, duri batang kayu-Mu, dingin tanah dan udara-Mu
AKU jadi lebih tahu kenapa Kau beri sepasang mata
karena dalam kegelapan ini hati kami menyala-nyala,
seakan segera bertemu Engkau Sang Pengatur Cahaya
AKU jadi lebih paham kenapa kau beri sepasang tangan
karena kita perlu berpegangan, berbagi kekuatan
saat sebelah tangan diulurkan, ke arah gagang Pintu-Mu
itu karena dalam pendakian tiap langkah menjejaki lumut
batu-Mu, duri batang kayu-Mu, dingin tanah dan udara-Mu
AKU jadi lebih tahu kenapa Kau beri sepasang mata
karena dalam kegelapan ini hati kami menyala-nyala,
seakan segera bertemu Engkau Sang Pengatur Cahaya
AKU jadi lebih paham kenapa kau beri sepasang tangan
karena kita perlu berpegangan, berbagi kekuatan
saat sebelah tangan diulurkan, ke arah gagang Pintu-Mu
Fiksi Mini tentang Si Agus dan Si Noor
: untuk Agus Noor
KEMATIAN INSTAN
SI Agus lapar. Lapar sekali. Ia pergi makan ke restoran cepat saji. Saat menyeberang ia ditabrak taksi. Sehabis menabrak taksinya lari. Cepat sekali. Si Agus menggelepar sebentar, lalu dia sendiri memastikan dia sudah mati. Cepat sekali.
SAAT DIA TIDAK MENELEPON KE MANA-MANA
IA menelepon ke Gedung Putih, Amerika. Ketika ditanya (dalam bahasa sana), "Ini siapa?", Agus menjawab, "Agus, Agus!"
IA menelepon ke Menara Kembar di Malaysia. Waktu ditanya (dalam bahasa sana), "Ini siapa?" Agus menjawab, "Agus, Agus!"
IA menelepon pemain Barongsai, di Tiongkok. Ketika ditanya (dalam bahasa sana), "Ini siapa?" Agus menjawab, "Agus, Agus..."
SAAT dia tidak menelepon ke mana-mana, Agus bertanya pada teleponnya, "Kalau saya telepon Tuhan, apa dia juga bertanya siapa saya?"
Teleponnya bilang, "Mungkin saja. Memangnya kenapa? Kau tinggal jawab saja: Agus, Agus!"
HARI PERTAMA KERJA SI NOOR
NOOR diterima kerja menjadi seorang detektif partikelir di sebuah kantor detektif. Tugas pertamanya, di hari pertama bekerja adalah mencari di manakah gerangan kantornya berada.
KEMATIAN INSTAN
SI Agus lapar. Lapar sekali. Ia pergi makan ke restoran cepat saji. Saat menyeberang ia ditabrak taksi. Sehabis menabrak taksinya lari. Cepat sekali. Si Agus menggelepar sebentar, lalu dia sendiri memastikan dia sudah mati. Cepat sekali.
SAAT DIA TIDAK MENELEPON KE MANA-MANA
IA menelepon ke Gedung Putih, Amerika. Ketika ditanya (dalam bahasa sana), "Ini siapa?", Agus menjawab, "Agus, Agus!"
IA menelepon ke Menara Kembar di Malaysia. Waktu ditanya (dalam bahasa sana), "Ini siapa?" Agus menjawab, "Agus, Agus!"
IA menelepon pemain Barongsai, di Tiongkok. Ketika ditanya (dalam bahasa sana), "Ini siapa?" Agus menjawab, "Agus, Agus..."
SAAT dia tidak menelepon ke mana-mana, Agus bertanya pada teleponnya, "Kalau saya telepon Tuhan, apa dia juga bertanya siapa saya?"
Teleponnya bilang, "Mungkin saja. Memangnya kenapa? Kau tinggal jawab saja: Agus, Agus!"
HARI PERTAMA KERJA SI NOOR
NOOR diterima kerja menjadi seorang detektif partikelir di sebuah kantor detektif. Tugas pertamanya, di hari pertama bekerja adalah mencari di manakah gerangan kantornya berada.
Suatu Hari di Graha Widya Wisuda
PADANG mahsyar kami kelak pasti tak begini, kan?. Tak ada
toga-sewaan-dasi-pinjaman yang harus cepat dipulangkan,
tak ada kartu bebas perpustakaan, tak ada tukang foto
yang mengabadikan senyum keharuan (atau ketakutan?),
tak ada paduan suara menyanyikan lagu himne almamater
DAN nama-nama kami dipanggil juga, seorang per seorang,
yang menggantung di hadapan muka disingkirkan ke tepian,
di luar Graha Widya Wisuda menunggu segala kemungkinan:
seperti disambut sebuah baliho besar lowongan pekerjaan
"Berapa lembar Engkau bolehkan kami memfotokopi ijazah?
Tolong beri lebih, kami harus mengirim banyak lamaran...
toga-sewaan-dasi-pinjaman yang harus cepat dipulangkan,
tak ada kartu bebas perpustakaan, tak ada tukang foto
yang mengabadikan senyum keharuan (atau ketakutan?),
tak ada paduan suara menyanyikan lagu himne almamater
DAN nama-nama kami dipanggil juga, seorang per seorang,
yang menggantung di hadapan muka disingkirkan ke tepian,
di luar Graha Widya Wisuda menunggu segala kemungkinan:
seperti disambut sebuah baliho besar lowongan pekerjaan
"Berapa lembar Engkau bolehkan kami memfotokopi ijazah?
Tolong beri lebih, kami harus mengirim banyak lamaran...
Empat Fiksi Mini tentang Seorang Penyair Tua
: SDD
IA TERSESAT DI SEBUAH SAJAKNYA
DIA masuki belantara sajaknya sendiri. Dia mulai dari kata pertama di sajaknya, sebuah kata yang berhuruf awal A. Sajak yang dia kira sederhana itu ternyata menyesatkan. Di dalamnya banyak jalan setapak bersilangan dan lorong-lorong berliku. Dia mula-mula tenang-tenang saja, tapi lama-lama risau, akhirnya cemas, dan bahkan ketakutan.
"Bagaimana caranya saya keluar dari bait-bait sajak sini?" katanya, pada dirinya sendiri. Pertanyaan itu menggema di dinding-dinding sajaknya, membuatnya semakin takut saja.
Bila akhirnya dia bisa bebas dari sajak itu, sajaknya sendiri itu, maka itu berkat bantuan sebuah kata yang ia letakkan di akhir larik akhir bait akhir sajaknya. Sebuah kata yang dia beri tanda tanya.
IA TAKUT MEMBACA SAJAK-SAJAK LAMANYA
DI usia tuanya dia suka membersihkan halaman rumah dinasnya (rumah dinas untuk penyair), membaca buku (kadang ia merasa ditipu oleh kacamatanya), menulis sajak baru (susah sekali mencari waktu untuk diajak menemukan sajak baru), menerima tamu (teman-temannya, mahasiswanya, dan penggemarnya), menerima telepon dan membalas SMS (kadang ia mengirim SMS ke nomornya sendiri), sesekali ia masih mengajar juga (meskipun ia pernah salah masuk ruangan lalu mengajar mahasiswa yang seharusnya tidak diajarnya).
Ia takut membaca sajak-sajak lama yang ia tulis dulu. Kenapa? Ia takut sebab kalau ia membaca sajak lamanya maka ia sering bertanya, "kok dulu saya bisa menulis sajak sebagus itu, ya? Kenapa sekarang susah sekali..."
Takutnya bertambah besar kalau ia membayangkan sajak-sajaknya itu menjawab, "Apa betul kamu dulu yang menuliskan kami?" Ia takut sekali.
GADIS KECIL ITU SUDAH DEWASA
GADIS kecil itu, Indah namanya, sudah dewasa. Pada suatu gerimis, yang tak juga menua, ia bertemu dengan penyair yang dulu pernah menuliskannya dalam sajak bersama gerimis yang sama.
"Saya gadis kecil yang diseberangkan gerimis itu, Pak Penyair," kata Indah.
"Kamu?"
"Ya. Aku sudah bersuami, dan punya anak tiga..."
Ingin sekali Pak Penyair itu bertanya, apakah gadis yang kini dewasa itu bahagia, mana dulu tangis yang ia kibaskan dengan tangan kanan, dan mana payung yang ia pegang dengan tangan kiri. Tapi, ia tidak bertanya, justru ia yang ditanya.
"Gerimis-gerimis begini Pak Penyair mau kemana?"
"Ah, di usia begini susah sekali menyeberangi Jakarta."
"Oh, Pak Penyair mau menyeberangi gerimis ini?" Pak Penyair mengangguk.
Maka, di gerimis yang sama dengan gerimis yang dulu ia sajakkan, Pak Penyair diseberangkan oleh si Gadis yang dulu ada dalam sajaknya yang kini sudah dewasa itu.
Sayangnya, tak ada yang menyajakkan peristiwa itu. Sayang...
IA TERTIDUR DI DEPAN TELEVISI
IA tertidur di depan televisi, dan televisi itu jengkel sekali. "Buat apa aku dihidupkan kalau tidak ditonton," kata televisi itu, "Kalau memang tidak mau nonton, ya matikan saja."
Si Penyair tak mendengar gerutu si televisi itu. Ia tertidur pulas nafasnya menciptakan dengkuran tua.
"Kalau dia tidak mematikan kamu, kamu saja yang mematikan dia," kata remote control (entah apa padanannya dalam bahasa Indonesia?).
Si penyair terkejut. Memandangi remote control di tangannya. Saat itu televisi sedang menyiarkan tentang sebuah bom yang dijatuhkan pesawat tempur Israel di sebuah sekolah di Palestina. 40 anak-anak tewas.
Kata penyair itu, "Ah, Tuhan, apakah orang setua aku masih harus disiksa dengan mimpi buruk?" Televisi itu tidak juga ia matikan.
IA TERSESAT DI SEBUAH SAJAKNYA
DIA masuki belantara sajaknya sendiri. Dia mulai dari kata pertama di sajaknya, sebuah kata yang berhuruf awal A. Sajak yang dia kira sederhana itu ternyata menyesatkan. Di dalamnya banyak jalan setapak bersilangan dan lorong-lorong berliku. Dia mula-mula tenang-tenang saja, tapi lama-lama risau, akhirnya cemas, dan bahkan ketakutan.
"Bagaimana caranya saya keluar dari bait-bait sajak sini?" katanya, pada dirinya sendiri. Pertanyaan itu menggema di dinding-dinding sajaknya, membuatnya semakin takut saja.
Bila akhirnya dia bisa bebas dari sajak itu, sajaknya sendiri itu, maka itu berkat bantuan sebuah kata yang ia letakkan di akhir larik akhir bait akhir sajaknya. Sebuah kata yang dia beri tanda tanya.
IA TAKUT MEMBACA SAJAK-SAJAK LAMANYA
DI usia tuanya dia suka membersihkan halaman rumah dinasnya (rumah dinas untuk penyair), membaca buku (kadang ia merasa ditipu oleh kacamatanya), menulis sajak baru (susah sekali mencari waktu untuk diajak menemukan sajak baru), menerima tamu (teman-temannya, mahasiswanya, dan penggemarnya), menerima telepon dan membalas SMS (kadang ia mengirim SMS ke nomornya sendiri), sesekali ia masih mengajar juga (meskipun ia pernah salah masuk ruangan lalu mengajar mahasiswa yang seharusnya tidak diajarnya).
Ia takut membaca sajak-sajak lama yang ia tulis dulu. Kenapa? Ia takut sebab kalau ia membaca sajak lamanya maka ia sering bertanya, "kok dulu saya bisa menulis sajak sebagus itu, ya? Kenapa sekarang susah sekali..."
Takutnya bertambah besar kalau ia membayangkan sajak-sajaknya itu menjawab, "Apa betul kamu dulu yang menuliskan kami?" Ia takut sekali.
GADIS KECIL ITU SUDAH DEWASA
GADIS kecil itu, Indah namanya, sudah dewasa. Pada suatu gerimis, yang tak juga menua, ia bertemu dengan penyair yang dulu pernah menuliskannya dalam sajak bersama gerimis yang sama.
"Saya gadis kecil yang diseberangkan gerimis itu, Pak Penyair," kata Indah.
"Kamu?"
"Ya. Aku sudah bersuami, dan punya anak tiga..."
Ingin sekali Pak Penyair itu bertanya, apakah gadis yang kini dewasa itu bahagia, mana dulu tangis yang ia kibaskan dengan tangan kanan, dan mana payung yang ia pegang dengan tangan kiri. Tapi, ia tidak bertanya, justru ia yang ditanya.
"Gerimis-gerimis begini Pak Penyair mau kemana?"
"Ah, di usia begini susah sekali menyeberangi Jakarta."
"Oh, Pak Penyair mau menyeberangi gerimis ini?" Pak Penyair mengangguk.
Maka, di gerimis yang sama dengan gerimis yang dulu ia sajakkan, Pak Penyair diseberangkan oleh si Gadis yang dulu ada dalam sajaknya yang kini sudah dewasa itu.
Sayangnya, tak ada yang menyajakkan peristiwa itu. Sayang...
IA TERTIDUR DI DEPAN TELEVISI
IA tertidur di depan televisi, dan televisi itu jengkel sekali. "Buat apa aku dihidupkan kalau tidak ditonton," kata televisi itu, "Kalau memang tidak mau nonton, ya matikan saja."
Si Penyair tak mendengar gerutu si televisi itu. Ia tertidur pulas nafasnya menciptakan dengkuran tua.
"Kalau dia tidak mematikan kamu, kamu saja yang mematikan dia," kata remote control (entah apa padanannya dalam bahasa Indonesia?).
Si penyair terkejut. Memandangi remote control di tangannya. Saat itu televisi sedang menyiarkan tentang sebuah bom yang dijatuhkan pesawat tempur Israel di sebuah sekolah di Palestina. 40 anak-anak tewas.
Kata penyair itu, "Ah, Tuhan, apakah orang setua aku masih harus disiksa dengan mimpi buruk?" Televisi itu tidak juga ia matikan.
Fiksi Mini (lagi) tentang Seorang Penyair Tua Itu
PARA pengantar jenazah itu singgah di rumahnya. "Tak ada yang harus kami antar hari ini, Pak. Apa boleh kami mengantar Anda saja?"
Dia berbegas masuk lalu dari dalam dia berteriak, "saya memang mau keluar, tunggu sebentar."
Dia berbegas masuk lalu dari dalam dia berteriak, "saya memang mau keluar, tunggu sebentar."
Kembali ke Hotel Tengah Malam
Jakarta lagi istirahat, sesiang tadi berlari.
Kafe sudah tutup. Aku serasa masih di bar tadi,
bergabung dalam jamaah reggae, khusyuk dalam
ritual sakral: rasta, rasta, rasta, rastadarus!
Lobi dikepung sepi, resepsionis yang manis
di balik front office tadi pagi, tak ada lagi.
Aku lupa nomor kamar, kukira sepi di sana pasti
lebih sepi, tak akan bisa kulawan walau dengan
siaran langsung Aljazeera dari jalur Gaza...
Jakarta sudah pulas, seharian kerja keras.
"Selamat Malam," lelaki berseragam penjaga
menyapa. Kukira dia menyapa aku dan Malam, aku
anggukkan sisa-sisa senyum tengah malam.
Sepasang tamu asing berangkulan, seperti
cemas kehabisan malam. Aku seperti mendengar
si perempuan bicara samar (kalau tak salah
terjemahannya:..) "tolong antar kondom ke
kamar, cepat ya, kami sudah tak sabar..."
Kafe sudah tutup. Aku serasa masih di bar tadi,
bergabung dalam jamaah reggae, khusyuk dalam
ritual sakral: rasta, rasta, rasta, rastadarus!
Lobi dikepung sepi, resepsionis yang manis
di balik front office tadi pagi, tak ada lagi.
Aku lupa nomor kamar, kukira sepi di sana pasti
lebih sepi, tak akan bisa kulawan walau dengan
siaran langsung Aljazeera dari jalur Gaza...
Jakarta sudah pulas, seharian kerja keras.
"Selamat Malam," lelaki berseragam penjaga
menyapa. Kukira dia menyapa aku dan Malam, aku
anggukkan sisa-sisa senyum tengah malam.
Sepasang tamu asing berangkulan, seperti
cemas kehabisan malam. Aku seperti mendengar
si perempuan bicara samar (kalau tak salah
terjemahannya:..) "tolong antar kondom ke
kamar, cepat ya, kami sudah tak sabar..."
Dari Jendela Asrama
: Ekalokasari
1. Telepon Umum di Seberang Jalan
AKU meneleponmu lewat tengah malam, dengan
puisi yang baru selesai kugubah di sisi belakang
fotokopian diktat interpretasi foto udara atau
buku panduan praktikum dasar-dasar ilmu tanah...
"...aku ingin jadi surveyor, mencocokkan lahan
dengan jenis tanaman yang kelak dibudidayakan
oleh para transmigran..." aku bacakan salah satu
bait puisiku untukmu.
"..tapi itu artinya aku akan kamu tinggalkan, kan?
Berbulah-bulan. Dan kamu tak akan lulus lekas,
kamu harus mengulang kuliah Pak Tatat S Abdullah."
Dari jendela Asrama, kadang tak perlu kita bedakan,
mana kenyataan bait puisi, mana imajinasi kehidupan.
Besok malam, dengan koin seratusan sisa belanja
di Tan Ek Tjoan, kubacakan lagi sajak yang lain.
2. Angkot Ciawi-Sukasari-Baranangsiang
BELAJARLAH bergegas dari jalanan, segalanya dikejar,
segalanya diburu, kenek dan supir angkot adalah guru
yang amat mahir mengajarkanmu tentang hal itu.
Aku merasa tidak pernah sampai ke mana-mana, seperti
mereka meneriakkan nama terminal, dengan kata yang
tak pernah ingin dilengkapkan. "...Siang, kampus, ...
siang, kampus...." Lalu melompatlah, setelah ongkos!
Hidup tak pernah benar-benar berhenti, kecuali oleh mati.
Dan jalanan bagai media agar di cawan petri, angkot-angkot
itu koloni bakteri yang berbiak cepat. Ganas sekali.
3. Cara Membaca Majalah Berita dan Surat Kabar
KALAU kamu penghuni asrama baru, jatah bacamu nanti,
setelah siang atau sore hari. Jangan marah kalau banyak
halaman yang dipotong atau dilingkari, itu pasti iklan
lowongan pekerjaan yang diburu seniormu yang sudah alumni.
KALAU sore hari surat kabar dan majalah sudah tak ada
di ruang baca, cobalah kamu gelar razia ke setiap kamar,
selalu ada oknum yang merasa amat memiliki barang Asrama.
Tapi aku punya jalan keluar, habis subuh datanglah langsung
ke Rahardja Agency, sekalian jalan pagi, baca sepuasnya
di sana, sebelum kamu bawa pulang kembali ke Asrama.
Demikianlah, di Asrama, kamu tidak hanya dapat tinggal,
numpang tidur, dan menghafal rumus sulit kalkulus, tapi
juga belajar membaca dunia yang besar dan rumit, lalu
menemukan jalanmu sendiri: jalan ke dirimu sendiri.
1. Telepon Umum di Seberang Jalan
AKU meneleponmu lewat tengah malam, dengan
puisi yang baru selesai kugubah di sisi belakang
fotokopian diktat interpretasi foto udara atau
buku panduan praktikum dasar-dasar ilmu tanah...
"...aku ingin jadi surveyor, mencocokkan lahan
dengan jenis tanaman yang kelak dibudidayakan
oleh para transmigran..." aku bacakan salah satu
bait puisiku untukmu.
"..tapi itu artinya aku akan kamu tinggalkan, kan?
Berbulah-bulan. Dan kamu tak akan lulus lekas,
kamu harus mengulang kuliah Pak Tatat S Abdullah."
Dari jendela Asrama, kadang tak perlu kita bedakan,
mana kenyataan bait puisi, mana imajinasi kehidupan.
Besok malam, dengan koin seratusan sisa belanja
di Tan Ek Tjoan, kubacakan lagi sajak yang lain.
2. Angkot Ciawi-Sukasari-Baranangsiang
BELAJARLAH bergegas dari jalanan, segalanya dikejar,
segalanya diburu, kenek dan supir angkot adalah guru
yang amat mahir mengajarkanmu tentang hal itu.
Aku merasa tidak pernah sampai ke mana-mana, seperti
mereka meneriakkan nama terminal, dengan kata yang
tak pernah ingin dilengkapkan. "...Siang, kampus, ...
siang, kampus...." Lalu melompatlah, setelah ongkos!
Hidup tak pernah benar-benar berhenti, kecuali oleh mati.
Dan jalanan bagai media agar di cawan petri, angkot-angkot
itu koloni bakteri yang berbiak cepat. Ganas sekali.
3. Cara Membaca Majalah Berita dan Surat Kabar
KALAU kamu penghuni asrama baru, jatah bacamu nanti,
setelah siang atau sore hari. Jangan marah kalau banyak
halaman yang dipotong atau dilingkari, itu pasti iklan
lowongan pekerjaan yang diburu seniormu yang sudah alumni.
KALAU sore hari surat kabar dan majalah sudah tak ada
di ruang baca, cobalah kamu gelar razia ke setiap kamar,
selalu ada oknum yang merasa amat memiliki barang Asrama.
Tapi aku punya jalan keluar, habis subuh datanglah langsung
ke Rahardja Agency, sekalian jalan pagi, baca sepuasnya
di sana, sebelum kamu bawa pulang kembali ke Asrama.
Demikianlah, di Asrama, kamu tidak hanya dapat tinggal,
numpang tidur, dan menghafal rumus sulit kalkulus, tapi
juga belajar membaca dunia yang besar dan rumit, lalu
menemukan jalanmu sendiri: jalan ke dirimu sendiri.
Subscribe to:
Posts (Atom)