Monday, November 6, 2006

Sajak-sajak Untuk Dedy T Riyadi (Jakarta)

Gambar yang Dirobek Ayah


DULU ayah suka sekali menggambar wajah ibu.
"Kecantikanmu tidak pernah habis kusalin,"
kata ayah setiap kali tanda tangan ia terakan.

IBU membingkai gambar karya ayah dan memajang
di dinding berdampingan dengan foto perkawinan.

KINI ayah lebih suka menggambar wajahnya sendiri,
lalu ia merobek-robek gambarnya sebelum sempat
dibingkai oleh ibu. Ibu jadi semakin sering mengigau,
"Rembrant, berapa banyak kanvas kau hancurkan?"

AKU sejak dulu tahu betapa tajam pisau peraut,
sebab setiap hari tugasku hanya meruncingkan
pinsil. Aku juga paling suka menyusun puzzle
dari kertas yang disobek ayah, tapi masih juga
ketakukan setiap kali melihat montser menjelma
dari gambar wajah itu. "Power Ranger, tolonglah..."


Belajar Naik Sepeda


IBU membelikanku sepeda. Aku mau belajar
naik sepeda. "Jangan belajar sama ayahmu,"
pesan ibu. "Ya, saya tahu. Ayah sibuk sekali,
tiap hari keluyuran mencari sepedanya yang
hilang dulu," kataku. Padahal aku tahu, ayah tak
sempat belajar naik sepeda. Dalam igauannya,
ayah sering menirukan kring kring bunyi lonceng.

AKHIRNYA aku bisa juga naik sepeda, setelah
belajar langsung pada sepeda. Sepeda yang pandai
mengajari bagaimana aku menduduki sadelnya,
bagaimana aku mengayuh pedalnya, bagaimana
aku mencengkeram setangnya, bagaimana aku
menyandarkannya di pohon, bagaimana aku
memompa bannya, bagaimana aku memasang
rantainya, dan bagaimana mengerem lajunya.

SATU-satunya pelajaran yang tak kuamalkan
adalah bagaimana cara membunyikan loncengnya.
Aku takut ayah marah, karena aku bisa merusak
kring kring yang makin merdu saja dalam igaunya.



Ayah Takut dengan Tinta Merah


"AMBIL rapotmu sendiri, ayahmu tak bisa datang
ke sekolah." Begitulah pesan ibu tertempel di balik
pintu. Aku sudah menduga, ayah semakin takut
pada angka-angka yang ditulis dengan tinta merah.

DI luar dugaanku, aku malah menjadi juara kelas.

AKU kabari ayah, ayah tidak percaya. Ia bertanya
penuh curiga, "siapa yang mengajarimu mengancam
Ibu Guru, sehingga dia mendongkrak semua nilaimu?"

AKU menangis, airmataku melacak jejak airmata ibu.

IBU: perempuan buta aksara yang paling mengerti
bagaimana caranya membaca huruf mimpi-mimpiku.


Aku Menangis Bersama Ibu


AKU berkenalan dengan ayah lewat tangis ibu.

AKU lebih dekat dengan ibu karena kami sering
menangis bersama. "Kenapa rumah ini penuh
air mata?" umpat ayah tiap kali jatuh terpeleset.

SEMAKIN sering aku menangisi ibu, semakin
asing nama yang kudengar di antara isakannya.


Lelaki tanpa Telinga dan Perempuan
yang Menangis Tak Henti-hentinya



SEBELUM pergi merantau ayah berjanji akan pulang
untuk melukis ibu. Ayah pergi mengejar cita-citanya
menjadi pelukis, berguru pada pelukis legendaris yang
sampai mati berhasil mempertahankan kemiskinannya.

"AYAH ingin melukis ibu dengan mata berhias air mata,"
kata ibu. Sejak itu ibu terus memperbaiki tangisannya,
agar bisa menangis sebaik-baiknya. Tiap malam dia
terisak dan menangis, merintih dan menyedu-sedan.

SAMPAI suatu subuh aku dengar tangis yang manis,
isak yang semarak, sedu yang syahdu, sedan yang
tak tertahan! "Harusnya ayah sudah pulang, mendengar
hasil jerih payah ibu..." kataku meyakinkan ibu yang
sepertinya semakin ragu. "Biar saja, aku menikmati
tangisanku, belum tentu ayahmu bisa melukisku" kata
ibu yang semakin tahu warna sejati bening airmatanya.

AYAH akhirnya pulang. Tapi ibu tak mau mengakuinya.
"Suamiku perantau sejati. Ngapain engkau pulang?"

AYAH pun pergi lagi. Padaku ia titipkan dua daun
telinga yang baru saja ia potong sendiri. "Aku ingin
sekali mendengar tangis ibumu yang kabarnya
dahsyat itu." Tanpa telinga, wajah ayah lucu sekali.

DENGAN kuas telinga ayah dan tinta air mata ibu, aku kini
mahir melukiskan hikayat nasib: lelaki pengembara tanpa
telinga dan perempuan yang menangis tak henti-hentinya.