Wednesday, November 15, 2006

[Tadarus Puisi # 013] Tiba-tiba yang Tiba Tiba-tiba

Tiba-Tiba Malam pun Risik
Sajak Sapardi Djoko Darmono



tiba-tiba malam pun risik
beribu Bisik
tiba-tiba engkau pun lengkap menerima
satu-satunya Duka

1967



PERTAMA membaca sajak ini, saya kira ini sajak yang ganjil. Pendek dan tiba-tiba saja dimulai dengan "tiba-tiba....". Kita biasanya akan membangun suasana dulu. Tapi sajak ini tidak. Dan malam pun risik. Kita terbiasa dengan kata berisik. Kalau pun kata "risik" tidak ada dalam kamus, maka pemakaian kata "risik" di sini menarik. "Risik" tidak pernah rasanya dipakai dengan awalan atau akhirn lain, kecuali "ber". Kata "risik" diciptakan dengan memisahkannya dari awalan "ber". Penyair telah asyik bermain sejak bait pertama.

Kenapa berisik? Ada seribu bisik. Bisik adalah bicara yang dipelankan. Yang tak ingin diperdengarkan. Tapi ada ribuan bisikan. Itulah yang membuat suara berisik. Ini bukan keributan. Kenapa berisik? Karena engkau pun tiba-tiba lengkap menerima satu-satunya duka yang dituliskan dengan Duka. Pada tahun-tahun itu, amat tak lazim memakai huruf besar pada suatu kata. Ada apa dengan duka yang Duka itu? Penyair sudah membuat lorong remang-remang yang asyik dan menantang kita untuk menjelajah ke sana.

Apakah Duka yang lengkap diterima itu? Mungkin itu adalah ruh yang pertama kali ditiupkan ke janin. Mungkin juga itu wahyu yang pertama diterima dan engkau adalah nabi. Atau Duka itu adalah amanah, sebuah tugas berat dan kita yang menerimanya kelak harus mempertanggungjawabkan satu-satunya Duka itu. Tak ada pilihan. Kecuali menganggapnay sebagai Duka.


Bentuk sajak ini adalah kwatrin, sajak empat baris. Sajak yang tertib sebenarnya. Lihatlah bunyi yang sama di ujung barisnya: risik/ bisik/ menerima/ Duka. Baris-barisnya bersajak AABB. Ketertiban dan keteraturan bunyi yang memperindah sajak ini. Dengan demikian sebagian perangkat puisi sudah dimaksimalkan. Keutuhan terjaga dan kompleksitas terbangun.