Tuesday, November 14, 2006

Sitok Srengenge:
Lebih Bahagia daripada Saat
Pertama Kali Mencium Pacar



SITOK Srengenge sibuk. Dia tak sempat menjawab enam pertanyaan saya, meski ingin sekali menjawabnya. Dia kirim jawaban untuk Cherry Jiang dari Hongkong yang kurang lebih mengajukan pertanyaan yang sama. Mereka bertanya jawab dalam bahasa Inggris.

Saya terjemahkan saja surat itu dan saya jadikan bentuknya sebagai tanya jawab. Seperti wawancara. Simaklah:

Tanya: kapan Pertama Kali Menulis puisi?

Jawab: Saya menulis puisi ketika saya duduk di bangku SMP. Saya tunjukkan puisi itu kepada guru dan dia suka sekali membacanya. Lalu puisi itu dia tampilkan di majalah dinding sekolah. Puisi itu juga dia jadikan contoh ketika dia membahas puisi di kelas. Saat itu saya merasa bahagia sekali. Lebih bahagia daripada saat mencium pacar saya pertama kali. Ha ha ha.

Tanya: Puisi tentang apa itu?

Jawab: Saya lupa. Tapi saya sangat ingat temanya: Cinta. Puisi itu, kalau saya tinjau lagi sekarang, bukanlah puisi yang bagus sekali. Sajak pertamamu jauh lebih bagus. Saya terus belajar menulis, diam-diam, sampai saya lulus SMA tahun 1985.

Tapi, saya mulai serius menulis pada tahun 1986, waktu saya kuliah di universitas.

Tanya: Bagaimana Anda belajar menulis?

Jawab: Saat itu, saya berlatih di sebuah grup teater yang dipimpin oleh penyair, aktor, dramawan termahsyur di Indonesia (WS Rendra). Dia punya perpustakaan pribadi dengan ribuan koleksi buku. Di sana saya temukan banyak sekali buku puisi. Suatu hari, saya pinjam semua buku puisi dan saya baca dan saya pelajari puisi-puisi di buku itu setiap hari. Saya tidak hanya membaca tapi juga menyeleksi. Saya pilih mana yang bagus dan saya pisahkan mana yang buruk. Hasilnya saya punya daftar sepuluh buku bagus yang ditulis oleh sepuluh penyair. Sisanya, buku puisi jelek yang bertumpuk kayak gunung sampah.

Tanya: Lalu?

Jawab: Saya kembalikan semua buku itu ke perpustakaan. Hari-hari berikutnya, saya baca ulang buku-buku itu berulang kali dan memilih lagi mana yang terbaik. Dari sepuluh buku itu akhirnya saya dapat enam buku dan tak bisa lagi menyortirnya. Lalu saya tanya diri saya sendiri, "Hei, Sitok! Kalau kamu memang ingin benar jadi penyair, kamu harus menulis sebagus mereka (penyair yang menulis enam buku itu), atau lebih baik dari mereka. Kalau tidak, kamu hanyalah bagian dari tumpukan sampah dan hanya layak untuk dicampakkan."

Setahun kemudian, pada tahun 1987, ada Forum Penyair Nasional di Jakarta. Saya datang kesana dan mengikuti semua acara tiap hari. Siang hari ada diskusi, malam hari mereka bacakan karya-karya mereka. Saat itu saya benar-benar kecewa. Penyair-penyair tak sehebat yang saya bayangkan. Darah muda saya yang arogan bergolak. Saya membatin, "Kalau mereka bisa jadi penyair dengan karya-karya sekasar itu, saya yakin, saya bisa menjadi menulis lebih baik."

Tanya: Kapan anda disebut penyair?

Jawab: Singkat kata, setelah saya menulis beberapa sajak dan menerbitkannya di sejumlah media. Orang kemudian menyebut saya sebagai penyair. Tahun 1992, saya terbitkan buku kumpulan puisi pertama saya.

Tanya: Anda masih terus menulis puisi?

Jawab: Sampai hari ini, saya masih menulis puisi. Kenapa? Banyak hal yang membuat saya bahagia. Tapi hanya ketika saya menyelesaikan sebuah puisi yang baik saya merasa lebih bahagia. Memang, ada banyak orang berbakat dan penyair besar di dunia. Tapi, mereka dulu juga bukan siapa-siapa kan? Setelah saya baca sajak pertamamu, saya yakin kamu punya bakat. Kamu beruntung.

Tapi, kamu harus tahu, bakat saja tidak cukup. Bakat besar bisa hilang terkubur oleh kemalasan. Maka, saya sarankan, jagalah bakatmu itu dan berlatihlah, terus menulis, dan jaga stamina kreativitasmu. Saya harap, kelak kita bisa bertemu di forum kehormatan, dan kamu hadir sebagai penyair penting yang membawa dan menghadirkan negerimu dan generasimu.