Monday, November 13, 2006

[Tadarus Puisi # 012] Otobiografi Thukul

Otobiografi*
Sajak Wiji Thukul

tak pernah selesai pertarungan menjadi manusia
tak pernah terurai pertarungan menjadi rahasia
adalah buku lapar arti
tipis segera habis diburu kubur-kubur waktu

hari-hari pun sajak menagih kata
kata-kata pun ketagihan jiwa
dalam sebuah buku lembar-lembar berguguran
tak seperti bunga tetap kita sirami di taman-Mu ini



MENJADI manusia adalah sebuah pertarungan. Ya, ada lawan, ada arena, ada kalah dan menang, itulah hakikat pertarungan. Lawan kita juga ada dalam diri kita. Arena pertarungan hidup adalah juga pada hati kita sendiri. Kita berganti-ganti menjadi manusia yang kalah atau manusia yang menang. Tapi ini adalah pertarungan yang tak pernah selesai.

YANG mengakhiri upaya menjadi manusia itu adalah kelak ketika kit*a sampai pada rahasia. Sampai pada maut yang tak pernah terurai bagi kita kapannya dan kenapanya. Untuk sampai pada rahasia kematian itu pun adalah juga sebuah perjuangan. Ironi dan paradoks pun berlapis-lapis di sini. Pertarungan menjadi manusia artinya perjuangan untuk menjalani hidup adalah juga perjuangan untuk mengurai rahasia mati.

TAPI, penyair Thukul sadar perjuangan itu harus diberi arti agar tak jadi sia-sia. Ia lalu menyebutkan buku. Buku hidup. Buku yang mencatat. Buku yang kelak meninggalkan jejak perjuangan yang minta diberi arti, yang lapar minta dimaknai. Buku kehidupan itu seringkali hanya sebuah buku tipis yang harus buru-buru dipenuhi catatan. Thukul meramalkan hidupnya sendiri yang pendek, seakan mengingatkan dirinya sendiri akan kematian yang lekas menjemputnya. "Diburu kubur-kubur waktu," katanya.

MAKA Thukul dan kita yang hidup ini berhadapan dan menjalani hari-hari yang sajak yang menagih kata. Bukan sembarang kata, tapi kata yang ditagih sajak adalah kata yang padanya ditagih untuk menghadirkan jiwa, bukan mayat kata, bukan kata yang mati, bukan kata yang bangkai, bukan kata yang busuk yang tak mengucap apa-apa.

TAPI hidup seringkali hanya menawarkan kerapuhan. Seperti buku-buku yang lembar-lembarnya berguguran. Gugur yang tetap harus diberi arti. Tak seperti bunga yang ketika kelopaknya telah berguguran kita tak perlu lagi menyiraminya. Kita akan biarkan dia melapuk dan kelak menjadi hara dan kembali diserap tanaman. Lembar buku yang berguguran tetap disirami. Sebab ia tertabur di sebuah taman kehidupan, taman-Nya. Dia yang menghidupkan, dia yang menggugurkan, dia juga yang membangkitkan.

* Dari buku Aku Ingin Menjadi Peluru, Wiji Thukul, Indonesiatera, Magelang 2004.