Sunday, April 20, 2003

Tak Ada Lagi, Kecuali Mati



dari Sajak Nothing But Death

Pablo Neruda



Ada kuburan yang dicekam sepi,

makam-makam penuh: tulang-tulang yang memperparah sunyi,

cuma degup jantung menembus lorong, tanpa bunyi

tambahgelap, makingelap, mahagelap.

Bagai karam kapal, maut tenggelam ke dalam diri sendiri.

Seperti kita terbenam ke dalam jantung sendiri,

Seperti hidup terlepas dari kulit lalu merasuk jiwa sendiri.



Lalu ada mayat-mayat,

dengan kaki berlumur liat, dingin dan lekat

di rapuh tulang, maut menaut.

Seperti suara menyalak, tapi tak ada anjing yang tampak.

Datang dari genta, datang dari makam entah di mana,

tumbuh pada udara lembab pengap: hujan air mata.



Sekali waktu, kujumpa pula

Keranda berlayar sendiri,

Penumpangnya maut yang pucat dan perempuan berambut mati,

dan pengadon roti seputih malaikat,

dan gadis termenung dilamar lelaki pengacara.

Keranda yang berlayar mendaki, sungai maut mengalir meninggi,

sungai yang berwarna ungu gelaptua,

naik mengarus, kibar layar bergetar suara maut,

bergetar suara maut yang cuma bisu sunyi ngelangut.



Maut tiba di sana, di tengah kerumun suara

Seperti detak sepatu melangkah sendiri, seperti baju tanpa ada yang mengenakannya,

datang dan mengetuk-ngetuk dengan cincin tanpa permata, tanpa jemari juga.

datang dan menyeru tanpa mulut menganga, tanpa lidah dan kerongkongan juga.

Demikian, itu langkah kaki terdengar juga,

dan seperti pohon, pakaian itu menjelma hening suara.



Aku tak yakin, aku hanya sedikit mengerti, aku nyaris tak bisa melihat lagi,

tapi ini seperti maut yang berlagu, maut berwarna basah ungu.

Seperti bunga violeta yang berumah di bumi,

karena wajah sang maut itu hijau warnanya,

dan memang wajah sang maut itu tampak hijau warnanya,

Ada daun bunga violeta yang lembab yang menembus-rasuk,

dan warna suram, musim dingin yang sakit menusuk.



Tapi maut juga mengelilingi dunia menjelma seperti sapu,

mengitar lantai, memutar, mencari tubuh-tubuh tak bernyawa,

maut ada di dalam sapu itu,

sapu itu adalah lidah sang maut yang mencari mayat-mayat,

sapu itu adalah lubang jarum sang maut yang mencari helai benang.



Maut ada dalam lipatan kain serbet:

Dia habiskan umur dengan lelap tidur di lembut kasur,

dengan selimut hitam, dan tiba-tiba nafas terhembus,

menyembur juga suara jerit sakit, bergulung menghantam alas tilam,

dan ranjang pun berlayar menujur bandar

di mana maut menunggu, berdiri gagah bagai seorang laksamana.