Friday, April 25, 2003







BULAN MADU Alam Semesta

(Episode Perkasihan Bapa Adam dan Bunda Hawa)



untuk Istriku: Yana.



I



KITA harus menyebutnya sebagai bulan madu

alam semesta. Ketika itu Adam dan Hawa

tak sempat menyadari, mereka berdua dibius

rasa, tenggelam dalam di samudera bahagia.

Ya, dunia tak pernah lagi semesra sesempurna

saat merayakan bulan madu Adam dan Hawa.



II



KITA harus mengenangnya sebagai bulan madu

langit dan bumi. Sebab langit mendandani diri

dengan tujuh selendang pelangi, dengan biru

terindah yang tak pernah terulang lagi. Di timur

matahari mempertahankan pagi, di barat rembulan

menyihir dengan cahaya terlembut yang pernah

ia beri.



DAN bumi tak pernah sedamai saat itu lagi. Laut

bening telanjang, tembus pandang hingga ke palung

yang paling relung. Lihat, dansa ikan udang dan kerang,

di sela terumbu ribuan warna. Makhluk-makhluk yang

bahagia, saling membuahi pasangannya. Dan ombak

tak pernah menghempas di pantai, seakan menyadari

dosa jika merusak khusuk zikir pasir. Atau mungkin karena

ada bekas tubuh Adam dan Hawa yang menjejak di pasir itu,

ombak sungguh tak ingin menghapusnya. Sungguh.



DAN burung-burung menyanyikan konser bersama: orkes

simfoni yang sempurna! Tapi, Adam dan Hawa tak sempat

mengingat merdunya dibius rasa dan tenggelam dalam

suara-suara bahagia dari dalam dada, dari luar dada.



DAN tetumbuhan yang tak berbunga pun tiba-tiba mengubah

warna pucuk-pucuknya, seolah menjadi mahkota yang mekar

serentak bersama riang tari, bersama girang nyanyi, bersama

pukau warna-warni, bersama genang aroma terwangi yang harus

ditukar dengan ketidakmampuan mengulangi menebar wangi dan

pesona yang sama seperti wangi saat Adam dan Hawa saling

melebur diri, saling membagi diri, saling menyatu diri.



III



KITA harus memaknainya sebagai bulan madu

hati dan jiwa. Sebab Tuhan urung menyesali telah mencampakkan

keduanya ke indah dunia. Sebab iblis menahan diri untuk tidak

membisikkan godaan untuk sementara. Untuk sementara.