Saturday, April 19, 2003

Memilih untuk Mati



Dari Sajak Wanting to Die

Anne Sexton



Sejek engkau bertanya, hampir seluruh hariku lupa.

Tak tertanda dalam tualang, aku melangkah dalam ucap kata.

Lalu kembali, nyaris semua nafsu yang tak berwarna.



Sejak itu pula, tantangan pada hidup tak lagi ada.

Kau sebut tajam jarum yang sangat kutahu sayatnya.

Di bawah matahari, meja kursi sudah kau tata.



Tapi bunuh diri punya sebuah bahasa khas.

Seperti tukang yang hanya bertanya mana perkakas.

dan tak pernah ingin tahu kenapa harus membangun lekas?



Dengan kata sederhana, kuikrarkan diri, bahkan dua kali.

Semua musuh kuasai! Seluruh musuh habisi!

Lalu rampas tangkas dan sihir di tanganya lunglai.



Ini jalanku, berat dan menguras fikir.

Lebih hangat daripada minyak dan air.

Hingga tersandar letih, dari nganga mulut ada yang bergulir.



Aku tak berfikir tubuhku di ujung jarum.

Walau buta kornea, bahkan urine pun tak lagi ada.

Bunuh diri, telah mengkhianati tubuh sendiri.



Kelahiran: masih saja, tubuh tak pernah mati senantiasa,

tapi di pukau pesona, manisnya bius racun tak terlupa.

Kanak-kanak pun akan tersenyum dan menoleh muka.



Tikam segenap yang hidup di bawah lidahmu! --

Semua menjelma sendiri, seluruh gairah menjadi.

Kematian adalah duka tulang-tulang; menyedihkan, katamu.



Dan masih saja, tahun ke tahun, aku dinantinya.

Agar memulih luka-luka lama, sembuh sempurna.

Agar terbebas nafasku, dari buruknya penjara.



Di sini, pada titik temu ini, bunuh diri sewaktu menemu

Merampas lezat buah, bulan memar terpompa,

untuk satu kecupan, tinggal sekerat roti salah pungut.



Ada yang tak sempat diucap, tertinggal pada buku

halaman yang dibaca terburu, pesawat telepon itu

tak terjawab, dan cinta pun tertular sudah, apapun itu.