hujan turun sepanjang jalan
hujan rinyai waktu musim berdesik-desik pelan
kembali bernama sunyi
kita pandang: pohon-pohon di luar basah kembali
tak ada yang menolaknya. Kita pun mengerti, tiba-tiba
atas pesan yang rahasia
tatkala angin basah tak ada bermuat debu
tatkala tak ada yang merasa diburu-buru
(Hujan Turun Sepanjang Jalan, "DukaMu Abadi", 1967)
INILAH sajak ke-7 dari buku Sapardi Djoko Damono yang pertama "DukaMu Abadi". Inilah sajaknya yang pertama di buku itu, yang menggunakan hujan sebagai alat ucap. Inilah sajaknya yang pertama yang sepenuhnya larut dalam hujan.
Di buku pertamanya itu, di sajak ke-5 (Sehabis Mengantar Jenazah), ada hujan disekilaskan: Hujan pun sudah selesai / sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap / di bawah bunga-bunga menua, musim yang senja. Kemudian, di buku pertamanya itu, ada lima sajak lain lagi - dari 42 sajak - yang padanya kita menemukan hujan dan variannya: gerimis.
Lalu, di buku kumpulan puisinya yang ke-2 "Mata Pisau", sajak-sajak yang dimulai penulisannya pada tahun 1969, kita pun makin kuyup oleh berbagai jenis hujan. Tiga sajak bahkan serial dengan judul yang saya kira pada waktu itu belum ada yang menyajak dengan cara itu. Judulnya: Hujan dalam Komposisi, 1, hingga serial yang ketiga. Kita kutip sepenuhnya sajak yang ke-3 dari serial itu: dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya: / terpisah dari hujan. Sudah. Begitu saja. Memang hanya sependek itu.
Nanti akan kita lacak lagi, di buku-buku yang berikutnya, bagaimana penyair kita ini bermain-main terus dengan hujan, dengan berbagai macam permainan. Yang pasti, sejak sajak itu, Sapardi melekat pada hujan. Sejak sajak itu, hujan seakan menjadi milik Sapardi.
"Apakah Sapardi tak pernah bisa beranjak dari hujan?" tanya seseorang. Saya tanyakan itu ke dia. "Hujan itu alat. Alat ucap. Alat untuk membangun imaji. Alat untuk menyampaikan apa yang ingin saya ucapkan," kata Sapardi. Itulah jawabannya. Ia mau bilang, sebagai alat, posisinya bebas. Ia bisa pakai atau tidak. Ia tidak bergantung pada alat itu. Ia tidak dikuasai oleh alat itu. Ia yang menguasai alat tersebut.
*
Kenapa hujan sedemikian memikat Sapardi? Ibarat pendekar, seorang penyair, siapapun dia, akhirnya menguasai dengan sangat mahir, satu senjata pamungkas. Dalam hal Sapardi, senjata yang paling ia kuasai dan dalam banyak pertarungan ia pertontonkan adalah "hujan". Tentu ini bukan satu-satunya. Sapardi bisa kita lihat, juga piawai memainkan jurus dan senjata yang lain.
Chairil ada menyebut hujan dalam beberapa sajaknya, tapi kita susah sekali mengingat itu pada sajak yang mana. Karena apa? Karena kita terpukau oleh senjata lain yang dipermainkan Chairil, bukan senjata "hujan" itu.
Sebagai alat, sebagai senjata, "hujan" telah menyatu dengan pendekar Sapardi. Sesederhana apapun jurusnya, gerakannya memikat. Bahkan ketika ia letakkan senjata, kemudian ia bersilat dengan tangan kosong, kadang-kadang terbayang juga kelebat bayang-bayang "hujan" itu.
Ini sungguh merepotkan bagi pendekar yang muncul belakangan. Hujan, seakan-akan, telah terumuskan habis oleh Sapardi. Sedikit saja menyentuh hujan, maka di ujung jalan basah itu seakan-akan terdengar kekeh pendekar sepuh bernama Sapardi. "Rasakan, kalian tak bisa mengelak dari jurus-jurus hujanku," seakan begitu kalimat yang teterjemahkan dari kekeh itu. (bersambung)