SEBUAH kelambu kita gantung sejak malam pertama itu. Sejak itu kita punya kamar di mana saja. Di hutan. Di gurun. Di pantai. Di awan. Di sungai. Kamar berdinding kelambu. Kita menusukkan duri mawar di sudut-sudutnya, menyiman sepasang surat nikah di bawah bantal dan menyembunyikan sepasang cincin di tebal kasurnya. Di kamar itu kita selalu menemukan malam pertama kita, sembahyang berjamaah pertama kita, mandi wajib pertama kita, kalimat pertama yang aku tahu begitu ingin segera kau ucapkan, “aku terlambat datang bulan”, air kencing pertama yang kau tampung di suatu pagi, serta dua garis pada kertas penguji kehamilan.
SEBUAH kalender terpasang sejak malam pertama kita. Sejak itu hari-hari kita berbiak subur.Tak ada minggu yang habis dan jatuh. Tak ada bulan yang terbuang robek. Kalender kita semakin tebal. Di penanggalan lain, waktu tak pernah kita temukan setebal kalender kita itu. Kita menghitung tanggal dengan bilangan kita. Sehari menjadi jauh lebih lama dari sekedar terbit dan tenggelam matahari, karena kita telah menemukan hatihari. Sehari lebih hangat dari sinar matahari, karena kita mendapatkan jantunghari.