Saya ingin membagi percakapan ini. Karena dari sini bisa dilihat sebuah potret anak muda kita. Juga potret saya sendiri tentu saja. Begitu bergairah pada sajak, begitu ingin membangun reputasi sebagai penyair, punya kecerdasan, tapi meraba-raba jalan, tabrak sana tabrak sini. Begitu yakin tapi juga gamang. Amat menarik.
FE: Bung Hasan, karya Anda kok plinplan gitu, sih? Apa masih dalam tahap pencarian? Kasihanilah Bung Hasif, namanya akan jadi taruhan. Salam.
HAH: Biarlah saya kibarkan aliran plinplanisme. Mau gabung? Di milis saya dapat gelar asyik, lho: Penyair Palsu, Penyebar Ketololan. Dan ini gelar baru dari Anda: Penyair Plinplan. Dua cap pertama terdengar cuma sebagai maki-makian. Saya senang kalau Anda bisa jelaskan keplinplanan saya.
FE: Jangan gitu, dong. Saya dari dulu kan pengagum karya Anda, sampai sekarang saya masih mengkliping puisi Anda, kok. Susah juga ya kalau kita pernah dipengaruhi karya Jokpin dan Sapardi?
HAH: Adakah penyair yang tak kena pengaruh penyair lain yang ia sukai dalam prosesnya menemukan pengucapan sendiri? Saya tak mau terus-menerus merasa nyaman di bawah pengaruh orang lain. Juga saya tak mau terjebak pada gaya saya sendiri. Jika telah merasa menemukan sesuatu dan merasa telah maksimal bermain dengan penemuan itu, saya akan mencari lagi, eksperimen lagi, dan saya tahu tiap pencarian bisa melelahkan, tiap eksperimen bisa gagal.
FE: Sepertinya Anda lebih tertarik pada gaya dan eksperimen. Sungguh disayangkan. Tidakkah Anda menyanyakan apa itu puisi? Bagaimana puisi? Apa yang membuat puisi menjadi puisi? Apa yang dicari dalam puisi? Apa definisi puisi?
HAH: Kenapa harus menyayangkan ketertarikan saya pada gaya dan eksperimen? Bukankah itu yang bisa memperkaya sajak dunia, sipapun yang melakukannya? Saya juga menggarap berbagai tema yang tak atau belum digarap penyair lain. Gurindam sajak saya yang dimuat di Kompas itu adalah jawaban dari pertanyaan apa itu sajak, bagaimana menyajak, sikap seorang penyair, sikap terhadap kata, d`an lain-lainhal. Anda baca?
FE: Apapun gaya dan tema yang Anda kemukakan, puisi itu akan tetap nonsense sebelum Anda menemukan cara berpikir Anda. Soal gaya ucap, itu memang ciri khas individu, tapi produk pikir sudahkah Anda menemukannya?
HAH: Menemukan cara berpikir? Mungkin maksud anda sikap penyair terhadap kata dan puisi juga sikap terhadap kepenyairan? Nah semua itu bung, ada di dalam dan terwujud puisi dalam tema yang dipilih dan dalam gaya ucapnya. Secanggih apapun cara pikir tidak akan jadi karya kalau tidak dituliskan, atau bila dituliskan dengan buruk.
FE: Saya membaca gurindam Anda, itu tidak lebih baik, Anda berhasil dalam puisi: Teks-teks dalam Film yang Tak Ditayangkan Dinihari di Televisi. Sebelum Anda memperkenalkan gurindam, Raja Ali Haji sudah sukses, sepertinya Anda menggunakan puisi untuk mengekplorasi tradisi? Apakah itu guna puisi?
HAH: Saya tidak memperkenalkan gurindam, ali haji juga tidak. Itu bentuk sajak tetap dari India atau Persia. Saya, Ali Haji atau Anda boleh memakai bentuk itu, atau tidak memakainya. Tak ada larangan, tak ada amaran. Juga terhadap bentuk-bentuk sajak tetap lainnya.
Puisi bisa digunakan untuk apa saja, menggali tradisi, mengkhianati tradisi, atau menciptakan tradisi baru. Mendobrak tradisi atau berdamai dengan tradisi. Jangan teganglah, jangan terlalu mengagungkan atau merendahkan tradisi, juga puisi.
Saya menulis hal-hal itu juga di blog saya ada 200 lebih serial ruang renung. Kalau mau juga bisa baca RUU Kepenyairan dan Persajakan yang saya susun itu. Baca di puisi.net di bagian deklarasi, bung.
FE: Sekeren apapun gaya ucap puisi akan nonsense kalau tak ada apa-apa. Puisi model apapun bisa ditiru. Tapi sanggupkah Anda meniru cara berpikir saya? Ya, gurindam atau apapun itu hanya latar.
HAH: Gurindam itu latar? Bentuk sajak itu latar? Ah, bagaimana sih? Menurut saya pendapat Anda salah. Tapi bailah itu cara berpikir anda. Kita sedang diskusi soal bentuk dan isi sajak. Buat saya, keduanya penting, bung. Keduanya mengasyikkan untuk digali, dicarikan kemungkinannya yang baru. Lacaklah di sajak-sajak saya.
Saya menjajal sajak bebas, pantun, sonata, ghazal, kuatrin, saya juga mengingkari bentuk-bentuk tersebut dan mencari bentuk-bentuk baru. Ada yang saya rasa gagal, ada yang saya yakin berhasil. Saya bebaskan cara berpikir saya, saya liarkan, saya kembalikan ke cara berpikir seorang anak, atau bahkan kadang saya berpikir dan berperasaan sebagai seorang perempuan. Asyik lho, bung.
FE: Berpikir seperti anak-anak, seperti cara berpikir filsuf, mempertanyakan sesuatu meski hal itu lumrah bagi orang dewasa, saya menjalani konsep ini, puisi bukan menyuguhkan kebenaran. Oh, ya. Puisi bukan tradisi, puisi adalah seni. Puisi kontemporer selalu menjunjung hokum universalitas, puisi bukan hanya untuk masyarakat sumber saja, penduduk Batam saja. Tapi bagi keseluruhan manusia.
HAH: Puisi harus diupayakan mencapai universalitas, harus dipersembahkan ke sebanyak mungkin manusia. Tapi jangan terlalu menuntut pada penyair. Sesekali biarkan dia asyik dengan dirinya sendiri. Dia bukan nabi. Eh, lalu apa hubungannya dengan keplinplanan saya?
FE: Anda terlalu memberat-beratkan puisi, bukankah puisi harus menyederhanakan sesuatu menjadi ringan? Penyebab Anda plinplan karena sampai saat ini Anda belum menemukan bagaimana sih cara berpikir Hasan, Anda mencari yang baru, tapi memoles-moles yang lama.
HAH: Saya akan terus plinplan kalau itu yang anda maksud dengan plinplan. Saya akan terus mencari kemana saja. Juga ke khazanah lama dengan sikap yang santai saja atau kritis luar biasa. Saya terus membaca sajak-sajak karya penyair lain. Saya belajar, dengan patuh atau sesekali membandel. Saya memberatkan puisi? Anda salah baca. Sesekali saya juga melecehkan puisi, lho. Puisi meringankan sesuatu yang berat? Gimana itu? Beri saya conto satu. Satu puisi dan satu hal berat yang diringankannya.
FE: Anda menanyakan produk pikir, jika mobil adalah pikiran, maka perasaan adalah bahan bakar, apa begitu? Tapi Anda lebih mengutamakan perasaan, maka jadilah puisi anda seperti itu, itu cocok sekali untuk puisi tradisi, romantis, mitologi, ataupun gurindam.
HAH: Perumpamaan Anda saya nilai tidak tepat. Jawaban Anda kacau. Anda mengacaukan bentuk isi, tema, fisik dan batin puisi. Aduh, saya menulis banyak sajak. Saya tak bisa meringkasnya dengan mudah dalam satu penilaian. Terima kasih, Anda sudah menilainya.
FE: Kita mempunyai sudut pandang yang berbeda soal puisi dan penilaian masing-masing tak sepenuhnya salah. Tapi, adakah satu sandaran yang membuatnya menyatu? Ah, sampai jumpa kembali, Bung. Kapan-kapan kita sambung lagi. Menyenangkan diskusi dengan Anda. Terima kasih atas semuanya.
HAH: Baiklah.
FE: Selamat malam, Bung. Kita sambung lagi. Oh, ya. Sepertinya Anda lebih tertarik pada gaya puisi daripada isi puisi karena Anda belum yakin apakah Anda sudah bisa menulis puisi. Jika Amir Hamzah bisa mampir ke zaman kini pasti dia terkejut dengan bahasa puisi sekarang. Bahasa pertanda zamannya, tapi produk pikir harus melampaui zamannya. Oh ya jika saya mendengar puisi Jokpin saya teringat celan, jika teringat Sapardi saya teringat hujan. Jika teringat Hasan saya teringat apa?
HAH: Anda salah kalau menilai saya asyik dengan gaya. Saya selalu bilang isi dan bentuk itu sama pentingnya. Saya memang suka dan rajin mencari bentuk-bentuk baru. Adakah yang menulis dalam bentuk lema-lema kamus? Nah, teliti lagi isi sajak-sajak kamus saya itu. Kalau mau mencari apa yang bisa dikenang dari saya, kenanglah itu sebagai salah satunya. Kenapa Amir Hamzah terkejut? Anda tertarik juga dengan masa lalu itu? Kalau anda baca Neruda? Eliot? Whitman? Lorca? Anda ingat apa?
FE: Saya tidak tertarik pada penyair masa silam. Jika Neruda saya teringat Jokpin, Lorca sama dengan Rendra. Eliot? Diri saya sendiri. Amir Hamzah hanya contoh.
HAH: Nah, bisakah neruda diingat dari satu kata seperti anda mengingat jokpin dengan celananya?
FE: Ha ha ha. Sebelum saya menjawab yang tadi. Bagaimana Anda menilai zaman ini. Cara berpikir Neruda persis cara berpikir Jokpin, bukan berarti hasil pikir sama. Kalau saya gak ada deh yang mirip. Karena yang masuk akallah, yang bertahan lama.
HAH: Darimana Anda bisa melihat Neruda dan Jokpin sama cara berpikirnya? Bagaimana sih cara berpikir Neruda? Jokpin? Sungguh saya tak tahu…
FE: Bagaimana Anda dapat meyakinkan saya atau publik bahwa itu puisi, jika Anda tak tahu apa puisi dan tak mempunyai konsep puisi.
HAH: Saya memang tidak pernah yakin bisa menulis puisi, maka saya terus menulis. Kalau sudah yakin bisa saya akan berhenti menulis. Saya tak perlu meyakinkan orang tentang kepuisian saya. Saya tak perlu paksakan konsep puisi saya pada orang lain. Saya tulis puisi dan biar puisi saya yang menemui pembacanya.
FE: Eh, Anda sendiri pengagum Neruda, tapi Anda juga terperangkap Jokpin, maka Neruda dalam puisi Anda tak terlihat. Malah Jokpin.
HAH: Tubuh penyair saya kadang amat lemah. Jokpin itu pernah jadi virus yang amat ganas paling tidak buat saya. Saya tak bisa melawan. Sia-sia saya melawan. Maka saya nikmati saja serang virus itu sambil menjinakkan keganasannya di otak saya sampai saya merasa kuat dan tidak teinfeksi lagi. Neruda? Dia tulis sajak dalam Bahasa Spanyol, saya baca sajak-sajaknya dalam Bahasa Inggris dan saya cerna di otak saya yang berpikir dengan bahasa Indonesia. Dengan demikian saya jadi kebal dengan virus Neruda.
FE: Sepertinya dihentikan dulu, deh. Saya mau ke warnet. Kirim puisi ke Anda. Maka lusa, akan menjadi tugas Anda untuk menilai. Oke?
HAH: Sebaiknya kita fokus pada sajak saya yang Anda bilang plinplan. Saya masih tertarik.
(Saya membuka e-mail dan membaca sajak-sajak Feni. Salah satunya adalah ini:
Menyelingkuhi Secangkir Kopi
Secangkir kopi telah merancang hari-hari saya.
Saya bukanlah rancangan dari secangkir kopi.
Tetapi, mengapa saya diatur oleh secangkir kopi?
Saya hidup bukan untuk secangkir kopi.
Secangkir kopi seperti istri yang melayani.
Saya juga tidak ingin memperistri secangkir kopi.
Tetapi, mengapa secangkir kopi seperti istri?
Istri saya suka menyuguhkan secangkir kopi.
Tetapi secangkir kopi selalu seperti istri.
Mengapa istri saya tidak mengetahui?
Apa istri saya menyenangi selingkuh?
Secangkir kopi telah menginap di kepala saya.
Saya takut mencintai secangkir kopi.
Secangkir kopi seperti belaian istri.
Saya jadi tidak enak hati—
karena saya lebih suka bercinta dengan secangkir kopi.
Tetapi, mengapa istri saya selalu menyuguhkannya?
Payakumbuh, 11 Juli 2008
HAH: Membaca sajak Anda saya makin tolol. Makin tak mengerti puisi. Kirmkanlah ke Hasif, mungkin dia bangga menemukan Anda. Saya baiklah mencari-cari lagi, mungkin ke sebuah masa lalu. Tak ada yang saya temukan dalam sajak Anda. Maaf. Ini bagian dari keplinplanan saya. Lagi pula dengan kirim puisi ke saya dan minta pendapat saya Anda telah langgar satu petuah Rilke.
FE: Saya menjadi takut dengan jawaban Anda. Jangan-jangan Anda Sokrates. Hasif? Itu dia saya tak mengerti. Nirwan juga. Belum satupun media yang mau memuat sajak saya kecuali Padang Ekspres.
HAH: Saya tiga tahun merasa tak bisa menulis puisi tapi terus kirim sampai akhirnya dimuat di Kompas, Koran Tempo dan Koran-koran lain. Tiga tahun. Anda? Sudah berapa tahun mengirim? Sudah merasa menemukan puisi? Sudah tahu apa itu puisi? Tapi buat apa sih Anda mengirim? Buat apa sih dimuat di Koran?
FE: Terkadang saya lelah.
HAH: Lelah? Ah, kasihan saya ada penyair pemberontak memakai kata itu. Ayo, dong jangan pakai kata itu. Jangan bikin malu Sumatera Barat, ah.
FE: Ha ha ha. Pemberontak kan juga manusia. Sudah tiga tahun pula secara intensif, saya sudah menemukan puisi. Saya ingin puisi terbit untuk memberikan keberagaman perpuisian, termasuk untuk dunia. Saya bukan pengekor, tapi inilah kerja keras saya.
HAH: Tiga tahun dengan sajak sejumlah dan sedangkal itu? Ah, Anda tak mengekor? Yang benar saja. Saya melihat sajak anda hanyalah potongan-potongan ekor dari penyair lain. Itu sajakah temuan Anda dari intensitas anda menyair selama ini? Itu sajakah yang ingin Anda persembahkan pada dunia?
FE: Kalau menulis sajak sih sudah lama. Tapi karena saya tidak sekolah, maka saya bisa komputer dan internet baru tiga tahun lalu. Memang ekor siapa yang saya ambil?
HAH: Bung sekarang pun saya masih sering ditolak Hasif, Nirwan dan sampai sekarang belum juga dimuat di Horison, Republika. Untungnya saya tidak lelah, Bung. Kenapa? Saya menikmat pencarian saya. Saya tinggalkan apa yang sudah saya temukan. Saya berontaki diri saya sendiri.
Ah, jangan cengeng.
Ajip Rosidi juga hanya tamat SMP. Dia bisa mengajar di Jepang kan? Anda menyalin cara berpikir Afrizal plus cara ucapnya sekaligus Anda borong juga. Ah, pemberontak memang manusia. Bisa mengekor tanpa menyadarinya. Cobalah buktikan kalau saya salah.
FE: Ah yang benar saja. Saya telah berkorespondensi dengan para penyair besar di negeri ini, tapi tak ada yang ngomong begitu kok.
HAH: Saya kan bukan penyair besar. Saya penyair plinplan. Jangan percaya pada saya, Bung.
FE: Meski Anda atau yang lainnya menulis puisi puluhan tahun pun, bagi saya itu tidak masalah. Sebab sepuluh tahun yang Anda pelajari, Tuhan menganugerahkan kecerdasan pada saya untuk mengejarnya dalam nasa satu tahun.
HAH: Tuhan sayang pada Anda. Kirimkahlah sajakmu padanya. Adukan keletihanmu. Atau Anda mau memberontaki dia juga sekalian? Jangan jadi pemberotak tanggunglah.
FE: Sejak kapan saya cengeng? Itu hanya perasaan Anda kok. Ah, tak selamanya Anda plinplan. Besok saya pasti melihat puisi Hasan Aspahani lagi.
HAH: Ingat saya penyair palsu, penyebar ketololan, lho. Penyair yang kata Anda belum menemukan cara pikir sendiri. Jadi jangan percaya saya. Baiklah saya pakai koreksi Anda. Saya adalah penyair yang kadang-kadang plinplan. He he he. Buat saya orang yang mengeluh, “saya lelah… Saya kan tidak sekolah… ” apalagi kalau orang itu menyebut dirinya pemberontak, maka dia adalah orang yang cengeng. Ya itulah penilaian saya menilaimu. Anda tentu boleh merasa lain. Merasa itu sebagai sebuah kegagahan atau kehebatan juga boleh.
FE: Saya mau diskusi dengan Anda karena Anda calon penyair besar di negeri ini. Setidaknya sama-sama besar dengan saya. Hi hi hi.
HAH: Apa perlunya jadi hebat? Apa perlunya orang sebut kita hebat? Apa untungnya menghebat-hebatkan diri sendiri? Untuk jadi hebatkah Anda menulis puisi? Aduh, Anda menggelikan saya, Bung. Tidak. Saya bukan penyair besar. Buat apa jadi penyair besar? Saya bahagia menjadi pencari saja. Pada mulanya adalah kaki, lalu perjalan dari sepatu ke sepatu, pada mulanya adalah hati, lalu perjuangan dari ragu ke ragu. Saya harap Anda jadi penyair besar. Anda kan pemberontak. Masak penyair besar plinplan. He he he. Gimana sih.
FE: Tentang lelah, jangan bilang-bilang yang lain. Nanti reputasi saya sebagai pemberontak jatuh. Oke? Kalau saya mengatakan diri saya hebat, karena tak ada orang lain yang bilang begitu. Sesekali narsis boleh kan?
HAH: Ha ha ha. Begitu pentingnya reputasi buat Anda? Untuk itukah Anda menyair? Ha ha ha.
FE: Sepertinya ini bukan diskusi lagi deh. Jelas saja saya kalah pamor dengan Anda. Anda kan rendah hati sedangkan saya besar mulut.
Ah, Bung Hasan seperti tak tahu Feni Efendi saja. Saya kan memang begitu. Saya menulis puisi untuk top-topan saja. Buat gaya-gayaan, biar bisa tebar pesona.
HAH: Saya tak tahu bahwa itu niat Anda menyair. Sungguh saya tak tahu. Kalau mau mencapai itu, kenapa memilih sajak? Melelahkan kan? Banyak lho cara lain. Ryan “jagal jombang” yang memutilasi empat orang itu tiba-tiba sangat terkenal, lho.
FE: Sepertinya harus ditanyakan kepada Baudilard.
HAH: Siapa Baudillard? Seseorang dari masa silam? Anda mengunyah juga pikirannya?
FE: Ha ha. Selamat malam.Terima kasih. Sampai ketemu lagi. Terima kasih.
HAH: Oke. Nyerah? Kita diskusi lagi lain waktu. Tapi, perbesar dulu mulut Anda.
FE: Tak usahlah Anda bertanya tentang Baudillard, Derrida, Foucolt. Anda kan pengagum tradisi. Saya tak mengekori pikirannya, tapi sebagai batu loncatan untuk merekonstruksi pikiran.
HAH: Baiklah, dari diskusi ini saya tak melihat Anda melakukan lompatan ke mana-mana. Pijakan pikiran Anda tidak jelas. Anda terperosok pada pikiran Anda sendiri yang sempit. Termasuk ketika Anda bilang saya pengaum tradisi. Saya sudah jelaskan saya ini pencari. Saya mencari dan tak membatasi wilayah pencarian saya. Saya menggarap tradisi dengan kritis. Saya menerjemahkan sajak-sajak penyair berbahasa asing yang namanya bahkan baru saya dengar. Internet memungkinan semua itu, Bung. Internet mempertemukan saya juga dengan penyair zaman sebelum Nabi Muhamad. Sajak-sajak itu digantung di dinding Kabah.
FE: Saya tak berpijak pada pikiran siapapun. Saya adalah saya. Jika Anda tak memamahi cara berpuisi dan menyair saya, itu karena Anda belum mencapai tahap ini. Bersyukurlah Anda telah mengenal saya, sebab entah berapa lama bumi mengelilingi matahari untuk memanti lahirnya seperti saya.
HAH: Saya memang beruntung mengenal Anda. Seseorang bermulut besar yang ingin jadi hebat lewat menulis puisi, tetapi cengeng dan lelah tak bertenaga. Jangan geer, saya delapan tahun ikut berbagai mailing list ah banyak sekali bertemu orang seperti Anda. Orang yang hanya merasa besar dan menganggap orang lain tak sampai pada apa yang Anda capai. Saya beruntung mengenal Anda karena seorang sok hebat itu sudah bilang mengagumi karya saya.
FE: Ha ha. Itulah bedanya saya dengan mereka. Apa Anda masih meragukan reputasi Payakumbuh. Saya menulis puisi sebelum saya mengetui Payakumbuh adalah gudangnya.
HAH: Anda tidak ada bedanya kok dengan orang-orang sok hebat itu. Nah, kenapa pula sekarang Anda berlindung di kerumunan Payakumbuh? Hei, pemberontak kok keroyokan? Saya tak tahu kehebatan Payakumbuh, bagaimana saya bisa meragukannya? Saya ingin melihat Anda hebat. Biar saya bisa merasa lebih bangga dan beruntung mengenal Anda. Anda bisa hebatkah tanpa mengetiak di Payakumbuh? Memberontak, dong. Tinggalkan tempurung itu.
FE: Ha ha. Itulah bedanya saya. Saya lahir di Payakumbuh hanya kebetulan. Lagi pula dalam berkarya saya tak berkomunitas, saya seperti Anda, tak dinaungi oleh apapun.
HAH: Semakin menarik. Anda berkali-kali membantah ucapan Anda sendiri.***