Bukan Lirisisme Benar yang Mencemaskan Kalbu
Oleh Hasan Aspahani
SAPARDI Djoko Damono telah menyatukan diri dengan lirik pada waktunya yang tepat. Kumpulan Duka-Mu abadi adalah suatu perkembangan baru, pembebasan dan pertemuan kembali - "Nyanyi Sungi Kedua - Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono 1967-1968", Goenawan Mohamad, dalam buku "Setelah Revolusi Tak Ada Lagi".
SENANG sekali mendengar Tuan Agus Noor saat ini sedang menulis esai tentang perpuisisan Indonesia. Setiap upaya menuliskan lagi telaah tentang puisi Indonesia, sejarahnya, pencapaian-pencapaiannya, selalu saya anggap sebagai upaya membuat peta.
Saya ingat pelajaran kartografi saya. Peta dibuat berdasarkan dua hal: pertama peta yang sudah ada, dan kedua survei langsung ke lapangan. Bila peta lama belum ada, atau suatu daerah belum dipetakan maka tak ada cara lain kecuali melakukan pengamatan dan pengukuran di lapangan.
Penyair memerlukan peta itu. Untuk apa? Agar dia bisa melihat wilayah-wilayah mana yang belum dirambah oleh penyair terdahulu. Peta diperlukan agar ia bisa menentukan dari titik mana dia memulai petualangannya sendiri agar tidak mengulang jalan yang sudah ditempuh oleh pendahulunya, dengan sadar atau tidak. Akan buruk sekali bila seorang pendatang baru merasa sudah menemukan jalur pendakian baru, padahal jalur itu sudah bolak-balik ditempuh oleh penjelajah lain.
***
Itulah perkaranya, Tuan Agus Noor. Rasanya, siapapun kini yang hendak memulai petualangan dan penjelajahan itu, tidak pernah menemukan peta yang memadai. Saya mencontohkan diri saya sendiri. Ketika memulai serius ingin berpetualang di dunia puisi ini saya meraba-raba. Saya akhirnya sampai pada keyakinan tidak ada yang pernah sungguh-sungguh memetakan jalur, jalan, gunung, jurang, bahkan kuburan, perpuisian Indonesia.
Banyak butir yang saya setuju pada pengantar Hasif Amin dalam buku Puisi Tak Pernah Pergi - Sajak-sajak Bentara 2003 (Kompas, 2003). Karena saya anggap relevan dengan diskusi ini saya hadirkan saja apa yang saya sarikan sembilan butir dari sana:
1. Perjalanan perpuisian Indonesia sejak abad ke-20, sejak ia mencoba lepas dari tradisi lisan, sesungguhnya tak pernah benar-benar bergerak sebagai sebuah disiplin yang membina dasar-dasarnya sendiri secara kukuh.
2. Hukum tertinggi yang dipeluk erat-erat dan tak dapat diganggu-gugat adalah licentia poetica: hak mutlak penyair untuk menggunakan bahasa sebebas-bebasnya, termasuk menyimpang dari tata pembentukan kata atau kalimat yang lazim bila perlu.
3. Bergantung pada gairah dan bakat (maupun kenaifan) masing-masing penyair, puisi menjadi semacam lahan bebas (bahkan liar) yang tak menyediakan perangkat khusus yang jelas dan memadai menyangkut penciptaannya.
4. Puisi Indonesia berjalan hampir tanpa mengenal prosodi, misalnya disiplin yang mendalami anatomi puisi menurut metrum, ritme, rima itu.
5. Ketiadaan pendalaman atas anatomi puisi, bisa dilihat sebagai hikmah yang mungkin menyelamatkan penyair dari kesibukan berlebih terhadap tetek-bengek yang terlalu teknis dalam merangkai karya.
6. Semenjak sajak bebas muncul pada abad ke-19, metrum menjadi sesuatu yang tampak kian mengekang dan merepotkan dan karenanya disingkiri jauh-jauh.
7. Tanpa metrum, sajak bebas seharusnya melahirkan musiknya sendiri-sendiri. Sajak-sajak bebas yang unggul telah membuktikan hal itu.
8. Tapi tanpa metrum, sajak bebas juga kemungkinan bisa celaka akibat miskinnya latar pemahaman dan penguasaan akan kompleksitas puisi, dan yang lahir adalah sajak yang tak mempertimbangkan kekuatan setiap unsurnya sebagai pembangun sebuah komposisi yang mantap.
9. Puisi yang tak memiliki kesadaran bentuk yang memadai, dan hanya meluncur ringan tanpa beban (selain beban pesan), tapi juga tanpa kekokohan, hanya gairah yang menggebu-gebu tapi bisa tanpa arah.
Bagi saya, Tuan Agus Noor, yang harus dicemaskan adalah butir pertama itu: puisi Indonesia sesungguhnya tak pernah benar-benar bergerak sebagai sebuah disiplin yang membina dasar-dasarnya sendiri secara kukuh. Para penyair terkuat kita adalah seorang pembuat peta dasar yang handal untuk kepenyairannya sendiri. Sapardi seorang sarjana sastra, Chairil seorang pembaca dan dari tulisan-tulisannya kita tahu betapa dia punya pijakan dan bekal peta yang bagus, pun Sutardji, Afrizal, Joko Pinurbo. Jadi imbauan yang produktif sekarang adalah: segera siapkan sebuah peta yang lengkap! Bangun fondasi persajakan yang kukuh! Bukan: Awas, ada bahaya laten lirissime!
Bila lirik dan sajak-sajak liris sekarang dicemaskan oleh banyak orang, termasuk Anda, maka saya kira itu hanya akibat dari apa yang dicemaskan Hasif. Dalam istilah saya: Peta Dasar untuk Penyair Indonesia itu tidak pernah lengkap. Padahal peta itu bisa dibuat dn saya pastikan ia akan sangat membantu agar wilayah-wilayah baru perpuisian Indonesia bisa dibuka.
Penyair yang datang kemudian harus mencari-cari peta sendiri. Saya bisa mencontohkan diri saya sendiri, bagaimana dulu saya memulai petualangan perpuisian saya. Saya meraba-raba, dapat sesobek Sapardi saya melangkah selangkah, dapat sesobek peta lain dari Chairil saya ambil dua tindak, dapat sesobek lain dari Rendra saya terjerembab, dapat selipat peta lain dari Goenawan saya mendaki, dan ketika diberi sebuah peta berskala besar dari Sutardji saya pun merancang jalur pendakian lain. Begitulah saya mungkin masih berputar-putar di sebuah tempat, mungkin juga saya nyasar ke sebuah puncak sendiri, dan pasti saya pernah melintasi jalur yang sudah ditempuh oleh penyair terdahulu itu dengan sadar atau tidak.
Saya tidak mencemaskan lirik, saya tidak mencemaskan sajak-sajak liris. Atau, baiklah, saya bisa juga cemas pada lirisisme itu, tapi mungkin dengan alasan yang berbeda.
Saya memulai obrolan ini dengan mengutip esai Goenawan Mohamad. Kutipan itu menjadi alasan pertama saya untuk tidak cemas (dan nanti juga untuk cemas) pada sajak liris. Kenapa tidak cemas? Karena lirik Sapardi lagi-lagi saya kutip Goenawan - "...penting untuk kita catat bukan saja sebagai bab baru dari Sapardi Djoko Damono, tetapi juga karena merupakan satu tanda pertumbuhan puisi Indonesia yang sedang melepaskan diri dari masa lalunya."
Jangan-jangan para penyair sekarang tidak pernah menyadari bahwa ada masa lalu yang hendak dilepaskan dengan sajak liris Sapardi itu. Yang harus dilakukan adalah menyadari dan menimbang telahkah masa lalu itu sepenuhnya sudah lepas? Dengan demikian telahkah upaya merengkuh yang lirik itu tak beralasan lagi?
Tuan Agus Noor, yang harus dicemaskan sekarang adalah lirik-lirik mutakhir kita tidak lagi suatu "perkembangan baru", bukan lagi sebuah ikhtiar "pembebasan", dan bukan lagi sebuah "pertemuan kembali" dengan sesuatu sebelum "masa lalu" yang dibilang Goenawan tadi. "Masa lalu" itu adalah riuh rendah sastra dan sajak yang tersubordinasi politik.
Mungkin kecemasan itu sama dengan yang disampaikan Fariz RM tehadap musik Indonesia. "Terjerumus dua kali," kata Fariz kepada majalah Rolling Stone Indonesia. Para grup musik baru Indonesia sekarang meyakini bahwa kalau mau sukses tirulah langkah Kangen Band. Maka, bermunculanlah kini Merpati Band, Matta, Vagetos, sampai d'massiv, dll. Di musik orang bisa menyalahkan produser atau selera masyarakat yang sedang buruk.
Di sastra siapa yang harus disalahkan?
Jadi, Tuan, karena tidak pernah menapak pada sebuah dasar yang kukuh, maka penyair kita sekarang mengira sajak itu baru sajak kalau berupa sajak liris. Lebih parah lagi, saya setuju dengan Nirwan Dewanto, yang liris itupun kini berupa lirisisme dengan kord tiga jurus.
Karena tidak ada peta dasar yang lengkap, yang menantang petualangan baru, maka penyair mutakhir kita malas berpetualang. Untuk mempertahankan kepenyairannya dia setor muka, sesekali ikut gerak jalan santai, sesekali ikut bertamasya naik gunung atau jalan-jalan ke pantai ramai-ramai.(bersambung)