PUISI sudah menjadi aljabar metafora tingkat tinggi.
* José Ortega Y Gasset (1883–1955), esais Spanyol, filsuf. “More About the Dehumanization of Art,” The Dehumanization of Art (1925).
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Tuesday, February 22, 2005
Jangan Mengaduh
kita pun bertaruh
meja judi telah penuh
nafas dan panas peluh
"jangan mengaduh,
sepedih apapun
jangan mengaduh!"
designer: Gorowski Mieczyslaw
poster title: 50 lat
year of poster: 1994
poster nationality: Polish
print technique: offset
size in cm: 67,5x97,5 inches: 27.2 x 39.2
subject: theatrical
poster ID: 3948
meja judi telah penuh
nafas dan panas peluh
"jangan mengaduh,
sepedih apapun
jangan mengaduh!"
designer: Gorowski Mieczyslaw
poster title: 50 lat
year of poster: 1994
poster nationality: Polish
print technique: offset
size in cm: 67,5x97,5 inches: 27.2 x 39.2
subject: theatrical
poster ID: 3948
Monday, February 21, 2005
[Kata Pujangga] Merampas dengan Kata-kata
KEBEBASAN adalah puisi, merebut kemerdekaan dengan kata-kata, melabrak aturan bahasa normal, menghancurkan kaidah umum. Ya, kebebasan adalah sebuah kekerasan.
* Norman O. Brown (b. 1913), U.S. filsuf. Love’s Body, ch. 15 (1966).
* Norman O. Brown (b. 1913), U.S. filsuf. Love’s Body, ch. 15 (1966).
[Kata Pujangga] Orgasme Puisi
KALAU puisi itu diibaratkan seperti orgasme, maka akademisi yang meneliti puisi tak ubahnya seperti orang yang mempelajari noda-noda gairah yang tercecer di sprei.
* Irving Layton (b. 1912), Penyair Kanada, “Obs II,” The Whole Bloody Bird (1969)
* Irving Layton (b. 1912), Penyair Kanada, “Obs II,” The Whole Bloody Bird (1969)
Saturday, February 19, 2005
Kelak, "Hidup Memang Begitu"
: dhiana daharimanoza
kelak dia akan senantiasa kekal mengenangmu
sebagai perempuan yang tahu arti rindu
karena kau ikhlaskan dia membawa seutuh hatimu
kelak dia akan semakin memahami dirimu,
perempuan berhati angkasa: luas dan biru,
yang tahu bila harus berucap, "hidup memang begitu"
kelak dia akan senantiasa kekal mengenangmu
sebagai perempuan yang tahu arti rindu
karena kau ikhlaskan dia membawa seutuh hatimu
kelak dia akan semakin memahami dirimu,
perempuan berhati angkasa: luas dan biru,
yang tahu bila harus berucap, "hidup memang begitu"
Lumpur dalam Otakku
: kuala lumpur
/1/
aku belum juga sembuh
makin dalam jatuh, ke lumpur makin keruh
antara mengejar dan tertimpa bayang luruh
tinggal nafas gemuruh, menandai ada tubuh
/2/
bisakah bikin diam dari seribu petir?
yang mengangguk cuma sebuah khawatir
aku toh cuma pelancong singgah mampir
/3/
dari sebuah kesepian, sebuah tepi jalanan
omong kosong ini sesegeranya kutuliskan
: ada empat perempuan bergantian berciuman
(kucatat saja yang paling mungkin disimpulkan)
/1/
aku belum juga sembuh
makin dalam jatuh, ke lumpur makin keruh
antara mengejar dan tertimpa bayang luruh
tinggal nafas gemuruh, menandai ada tubuh
/2/
bisakah bikin diam dari seribu petir?
yang mengangguk cuma sebuah khawatir
aku toh cuma pelancong singgah mampir
/3/
dari sebuah kesepian, sebuah tepi jalanan
omong kosong ini sesegeranya kutuliskan
: ada empat perempuan bergantian berciuman
(kucatat saja yang paling mungkin disimpulkan)
Menunggu di Kedai Cukur
/1/
Suara gunting dan rambut jatuh,
: ada yang memanggil dari jauh
Suara gunting dan rambut jatuh,
eh, betapa lebat usia meluruh...
/2/
Pulang dari merantau, dia pulang ke kedai cukur,
rambut yang liar dan tua mesti dikembalikan,
kumis, cambang, dan janggut yang menyemak
kini saatnya dipertimbangkan, diberi pertanyaan,
"apa lagi yang sebenarnya kau sembunyikan?"
/3/
Dia masih mengenal tukang cukur tua itu,
dagunya bergerak bersama gerak gunting
kaca mata tua menyempurnakan kenangan.
"Aku juga masih ingat, Perantau! Ayahmu
dulu mengantarmu ke sini, aku mencukurmu,
kemudian lelaki itu pamit, tak pernah kembali."
Tapi bisa ingatkah kau, Tukang Cukur tua? Sejak itu
bocah itu disebut sebagai perantau dan sejak itu
dia tak pernah mau singgah di kedai cukur mana pun
sepanjang peratauannya. "Ayahku kelak menjemputku,
hanya di kedai cukur itu," katanya dalam igau perjalanan.
/4/
suara gunting dan rambut jatuh
: ada langkah datang dari jauh
suara gunting dan rambut jatuh,
hitung mundur, mulai dari sepuluh......
2005
Suara gunting dan rambut jatuh,
: ada yang memanggil dari jauh
Suara gunting dan rambut jatuh,
eh, betapa lebat usia meluruh...
/2/
Pulang dari merantau, dia pulang ke kedai cukur,
rambut yang liar dan tua mesti dikembalikan,
kumis, cambang, dan janggut yang menyemak
kini saatnya dipertimbangkan, diberi pertanyaan,
"apa lagi yang sebenarnya kau sembunyikan?"
/3/
Dia masih mengenal tukang cukur tua itu,
dagunya bergerak bersama gerak gunting
kaca mata tua menyempurnakan kenangan.
"Aku juga masih ingat, Perantau! Ayahmu
dulu mengantarmu ke sini, aku mencukurmu,
kemudian lelaki itu pamit, tak pernah kembali."
Tapi bisa ingatkah kau, Tukang Cukur tua? Sejak itu
bocah itu disebut sebagai perantau dan sejak itu
dia tak pernah mau singgah di kedai cukur mana pun
sepanjang peratauannya. "Ayahku kelak menjemputku,
hanya di kedai cukur itu," katanya dalam igau perjalanan.
/4/
suara gunting dan rambut jatuh
: ada langkah datang dari jauh
suara gunting dan rambut jatuh,
hitung mundur, mulai dari sepuluh......
2005
Monday, February 14, 2005
[Ruang Renung # 106] Merawat Pisau
JIKALAU seseorang itu sudah tidak bisa menulis puisi adakah karena dia kehilangan rasa?
Tidak.
Terus? Kenapa aku rasa sekarang ini susah untuk aku menulis puisi? Kayaknya aku tidak bisa meluahkan apa yang aku rasakan.>
SAYA sekarang juga tidak banyak menulis puisi. Saya tidak risau. Saya justru mencurigai, kenapa dulu saya kok bisa banyak menulis puisi.
Kalau kita menganggap menulis puisi itu seperti pisau, maka, semakin banyak kita menulis, semakin tipis mata pisaunya. Dan semakin tumpul? Nah, perumpamaan ini mungkin bisa membantu.
Kalau kita setuju dengan pisau ini maka, artinya kita harus merawatnya agar tetap tajam. Pada saatnya nanti - mungkin sekarang ketika kita merasa tak bisa menulis puis ilagi, padahal - kita tidak terlalu bernafsu lagi untuk menikamkan, menyayatkan pisau tersebut. Kita memang tidak harus selalu petantang petenteng sembarang potong.
Mungkin tidak akan banyak lagi yang jadi berdarah lewat pisau kita itu, saat ini. Mungkin kita hanya mengupas ketimun dengan pisau itu, sesekali. Atau mengoyak kulit kerang.
Menurut saya, tetaplah berbahagia selama kita masih punya pisau tersebut. Dan rawatlah. Suatu saat nanti, pasti akan datang lagi saat-saat ketika kita "bermandikan" darah, karena terlalu banyak tubuh yang harus kita sayat-tikam-potong dengan pisau tersebut. ***
Tidak.
Terus? Kenapa aku rasa sekarang ini susah untuk aku menulis puisi? Kayaknya aku tidak bisa meluahkan apa yang aku rasakan.>
SAYA sekarang juga tidak banyak menulis puisi. Saya tidak risau. Saya justru mencurigai, kenapa dulu saya kok bisa banyak menulis puisi.
Kalau kita menganggap menulis puisi itu seperti pisau, maka, semakin banyak kita menulis, semakin tipis mata pisaunya. Dan semakin tumpul? Nah, perumpamaan ini mungkin bisa membantu.
Kalau kita setuju dengan pisau ini maka, artinya kita harus merawatnya agar tetap tajam. Pada saatnya nanti - mungkin sekarang ketika kita merasa tak bisa menulis puis ilagi, padahal - kita tidak terlalu bernafsu lagi untuk menikamkan, menyayatkan pisau tersebut. Kita memang tidak harus selalu petantang petenteng sembarang potong.
Mungkin tidak akan banyak lagi yang jadi berdarah lewat pisau kita itu, saat ini. Mungkin kita hanya mengupas ketimun dengan pisau itu, sesekali. Atau mengoyak kulit kerang.
Menurut saya, tetaplah berbahagia selama kita masih punya pisau tersebut. Dan rawatlah. Suatu saat nanti, pasti akan datang lagi saat-saat ketika kita "bermandikan" darah, karena terlalu banyak tubuh yang harus kita sayat-tikam-potong dengan pisau tersebut. ***
Friday, February 11, 2005
[Kata Pujangga] Ke Masa Depan Bahasa
PUISI adalah salah satu dari takdir pengucapan. Seseorang akan bilang bahwa imaji puitis, dalam kebaruannya, membuka sebuah masa depan ke bahasa.
* Gaston Bachelard (1884–1962), ilmuan, filosof, teoritikus sastra. “Introduction,” bag. 2, The Poetics of Reverie (1960, trans. 1969).
* Gaston Bachelard (1884–1962), ilmuan, filosof, teoritikus sastra. “Introduction,” bag. 2, The Poetics of Reverie (1960, trans. 1969).
Tuesday, February 8, 2005
[Kata Pujangga] Fermentasi, Pengawetan
Puisi adalah fermentasi dari saat-saat pubertas menuju dewasa, kemudian diawetkan.
* José Ortega Y Gasset (1883–1955), filosof, esais Spanyol. Dikutip dari In The Dehumanization of Art and Other Essays (1968). “In Search of Goethe from Within,” Partisan Review (New Brunswick, New Jersey, December 1949).
* José Ortega Y Gasset (1883–1955), filosof, esais Spanyol. Dikutip dari In The Dehumanization of Art and Other Essays (1968). “In Search of Goethe from Within,” Partisan Review (New Brunswick, New Jersey, December 1949).
Monday, February 7, 2005
[Kata Pujangga] Melakoni Puisi
PUISI tampaknya harus dihapuskan dari daftar genre sastra, dan kemudian dijadikan semacam latihan aerobik spiritual - orang tak perlu membacanya, tapi orang bisa melakoninya.
* Marilyn Hacker (lahir 1942), Penyair dan editor Amerika. Dikutip dari A Gift That Cannot be Refused, Bab 7, oleh Mary Biggs (1990).
* Marilyn Hacker (lahir 1942), Penyair dan editor Amerika. Dikutip dari A Gift That Cannot be Refused, Bab 7, oleh Mary Biggs (1990).
Sunday, February 6, 2005
Seorang Teman Lama, di Taman yang Lama
: negeri senja
bayangan samar itu terjatuh juga
ke bangku dan rumput taman kota.
Jejak kaki tergerus musim:
ingatan yang enggan menyublim.
aku tidak ingin menunggu, hanya
kebetulan lewat, ketika kulihat
kau ada di situ. Langit yang senja,
rindu memekat. Masih memukau hatiku.
aku juga tidak berharap kita bertemu,
di sini. Hanya kudengar suara angin,
menyisih, seseorang melangkah. Aku
hanya menduga sinar itu: nyala matamu.
bayangan samar itu terjatuh juga
ke bangku dan rumput taman kota.
Jejak kaki tergerus musim:
ingatan yang enggan menyublim.
aku tidak ingin menunggu, hanya
kebetulan lewat, ketika kulihat
kau ada di situ. Langit yang senja,
rindu memekat. Masih memukau hatiku.
aku juga tidak berharap kita bertemu,
di sini. Hanya kudengar suara angin,
menyisih, seseorang melangkah. Aku
hanya menduga sinar itu: nyala matamu.
Wednesday, February 2, 2005
[Kata Pujangga] Merampas Prosa
PUISI adalah cara yang molek untuk merusak dan merampas prosa, dan puisi adalah seni yang menguras tenaga untuk mengubah perasaan yang datar-datar saja menjadi sebuah harmoni.
* Horace Walpole (1717–1797), pengarang Inggris. Horace Walpole’s Miscellany 1786-1795, p. 20, ed. by Lars E. Troide, copyright Yale University Press (1978).
* Horace Walpole (1717–1797), pengarang Inggris. Horace Walpole’s Miscellany 1786-1795, p. 20, ed. by Lars E. Troide, copyright Yale University Press (1978).
[Kata Pujangga] Filosofi Puisi
PUISI mengandung filosofi, seperti jiwa mengandung alasan.
* Victor Hugo (1802–1885), penyair Prancis, novelis, penulis naskah drama dan esai. Terj. Lorenzo O’Rourke. “Thoughts,” Postscriptum de ma vie, in Victor Hugo’s Intellectual Autobiography, Funk and Wagnalls (1907).
* Victor Hugo (1802–1885), penyair Prancis, novelis, penulis naskah drama dan esai. Terj. Lorenzo O’Rourke. “Thoughts,” Postscriptum de ma vie, in Victor Hugo’s Intellectual Autobiography, Funk and Wagnalls (1907).
[Kata Pujangga] Kehidupan, & Bahasa
PUISI itu urusan kehidupan, bukan sekadar urusan bahasa.
* Lucille Clifton (lahir 1936), penyair AS. Dikutip dari "Listen to Their Voices", ch. 9, oleh Mickey Pearlman (1993).
* Lucille Clifton (lahir 1936), penyair AS. Dikutip dari "Listen to Their Voices", ch. 9, oleh Mickey Pearlman (1993).
Subscribe to:
Posts (Atom)