tanpa bungkus kafan,
kematian tetap saja kematian,
tanpa keranda,
pemakaman tetap saja pemakaman
, bukan?
sama saja, saat penjemputan,
kita di halte, menunggu giliran.
kebetulan, kami saat ini berangkat duluan,
bersamaan.
kau susullah kami, di lain kesempatan
, bukan?
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Thursday, December 30, 2004
Tuesday, December 28, 2004
Tuan Nuh
akulah penumpang yang terjun dari kapalmu
terbuai landai pantai yang tiba-tiba surut
akulah penumpang karam pada bandang banjirmu
padahal amuk laut tak pernah minta disambut
Foto: Bay Ismoyo/AFP
terbuai landai pantai yang tiba-tiba surut
akulah penumpang karam pada bandang banjirmu
padahal amuk laut tak pernah minta disambut
Foto: Bay Ismoyo/AFP
Monday, December 27, 2004
Ketika Januari
Sajak Ted Kooser
Hanya ada satu ruang yang masih terang
kedai malam itu membeku,
atau begitulah tampaknya buat kita:
cafe Vietnam ini, malamnya yang berlemak
bidang-bidang penuh warna, aroma seperti bunga.
Suara bincang dan tawa, denting batang sumpit.
Di antara gelas-gelas, kota musim dingin
berderak seperti jembatan kayu tua.
Angin keras bergegas mengembus kita.
Lebih besar jendela, lebih keras gemetarnya.
In January
Only one cell in the frozen hive of night
is lit, or so it seems to us:
this Vietnamese café, with its oily light,
its odors whose colorful shapes are like flowers.
Laughter and talking, the tick of chopsticks.
Beyond the glass, the wintry city
creaks like an ancient wooden bridge.
A great wind rushes under all of us.
The bigger the window, the more it trembles.
Hanya ada satu ruang yang masih terang
kedai malam itu membeku,
atau begitulah tampaknya buat kita:
cafe Vietnam ini, malamnya yang berlemak
bidang-bidang penuh warna, aroma seperti bunga.
Suara bincang dan tawa, denting batang sumpit.
Di antara gelas-gelas, kota musim dingin
berderak seperti jembatan kayu tua.
Angin keras bergegas mengembus kita.
Lebih besar jendela, lebih keras gemetarnya.
In January
Only one cell in the frozen hive of night
is lit, or so it seems to us:
this Vietnamese café, with its oily light,
its odors whose colorful shapes are like flowers.
Laughter and talking, the tick of chopsticks.
Beyond the glass, the wintry city
creaks like an ancient wooden bridge.
A great wind rushes under all of us.
The bigger the window, the more it trembles.
Pada Sebuah Hari Ulang Tahun
Sajak Ted Kooser
Petang ini, aku duduk, jendela terbuka
membaca hingga cahaya tak ada dan buku
pun tak lagi tampak: menjadi bagian kegelapan.
Aku bisa saja menekan saklar menyalakan lampu,
tapi aku mau ikuti hari ini hingga jadi malam,
duduk sendiri, tanganku hantu pucat kelabu
mengelus yang tak terbaca: halaman buku.
A Happy Birthday
This evening, I sat by an open window
and read till the light was gone and the book
was no more than a part of the darkness.
I could easily have switched on a lamp,
but I wanted to ride this day down into night,
to sit alone and smooth the unreadable page
with the pale gray ghost of my hand.
Petang ini, aku duduk, jendela terbuka
membaca hingga cahaya tak ada dan buku
pun tak lagi tampak: menjadi bagian kegelapan.
Aku bisa saja menekan saklar menyalakan lampu,
tapi aku mau ikuti hari ini hingga jadi malam,
duduk sendiri, tanganku hantu pucat kelabu
mengelus yang tak terbaca: halaman buku.
A Happy Birthday
This evening, I sat by an open window
and read till the light was gone and the book
was no more than a part of the darkness.
I could easily have switched on a lamp,
but I wanted to ride this day down into night,
to sit alone and smooth the unreadable page
with the pale gray ghost of my hand.
Sunday, December 26, 2004
Memilih Seorang Pembaca
Sajak Ted Kooser
PADA mulanya, saya mestikan dia wanita jelita,
melangkahkan kaki, hati-hati, pada puisi-puisiku,
petang hari, ia dapati diri sendiri saat paling sepi,
rambutnya masih bagai tirai kabut di tengkuk
baru saja keramas. Mestinya dia memakai jas hujan
jas yang dikoyak usia tua, kotor pula,
sebab ia tak punya cukup uang ke binatu.
Dan dia sejenak melepas kaca mata, di toko buku itu
dia membaca sekilas buku sajakku. Dan berkata
pada diri sendiri, "Dengan uang seharga buku ini,
jas hujan yang kotor ini bisa kubawa ke laundry."
Dan itulah yang ia lakukan.
Selecting A Reader
First, I would have her be beautiful,
and walking carefully up on my poetry
at the loneliest moment of an afternoon,
her hair still damp at the neck
from washing it. She should be wearing
a raincoat, an old one, dirty
from not having money enough for the cleaners.
She will take out her glasses, and there
in the bookstore, she will thumb
over my poems, then put the book back
up on its shelf. She will say to herself,
"For that kind of money, I can get
my raincoat cleaned." And she will.
PADA mulanya, saya mestikan dia wanita jelita,
melangkahkan kaki, hati-hati, pada puisi-puisiku,
petang hari, ia dapati diri sendiri saat paling sepi,
rambutnya masih bagai tirai kabut di tengkuk
baru saja keramas. Mestinya dia memakai jas hujan
jas yang dikoyak usia tua, kotor pula,
sebab ia tak punya cukup uang ke binatu.
Dan dia sejenak melepas kaca mata, di toko buku itu
dia membaca sekilas buku sajakku. Dan berkata
pada diri sendiri, "Dengan uang seharga buku ini,
jas hujan yang kotor ini bisa kubawa ke laundry."
Dan itulah yang ia lakukan.
Selecting A Reader
First, I would have her be beautiful,
and walking carefully up on my poetry
at the loneliest moment of an afternoon,
her hair still damp at the neck
from washing it. She should be wearing
a raincoat, an old one, dirty
from not having money enough for the cleaners.
She will take out her glasses, and there
in the bookstore, she will thumb
over my poems, then put the book back
up on its shelf. She will say to herself,
"For that kind of money, I can get
my raincoat cleaned." And she will.
Thursday, December 23, 2004
mitologi aku dan kesunyian hujan
Sajak Nanang Suryadi
: borges dan h.a
di labirin impianmu
pernahkah kau temukan aku?
mungkin tak
karena aku adalah mimpimu yang karam
tak terekam dalam ingatan dinihari
aku adalah jutaan tahun kesunyian
yang merungkup wajah gundahmu
setelah kau susun huruf demi huruf anganmu
bacalah wajahku pada langit muram
di penghujung tahun
di deras kesedihan
demikian putih
dan senyap
: borges dan h.a
di labirin impianmu
pernahkah kau temukan aku?
mungkin tak
karena aku adalah mimpimu yang karam
tak terekam dalam ingatan dinihari
aku adalah jutaan tahun kesunyian
yang merungkup wajah gundahmu
setelah kau susun huruf demi huruf anganmu
bacalah wajahku pada langit muram
di penghujung tahun
di deras kesedihan
demikian putih
dan senyap
Wednesday, December 22, 2004
Penyair dan Mitologi Sendiri
[Petikan wawancara Stephen Cape dengan Jorge Luis Borges, dari situs Artful Dodge April 25, 1980]
TANYA: Apakah menurut Anda kata-kata itu punya sejumlah pengaruh yang tak terlepaskan dari kata itu atau dari imaji yang dibawanya?
BORGES: Well ya, sebagai contoh, bila Anda menggubah sebuah soneta, maka, setidaknya dalam bahasa Spanyol, Anda harus menggunakan kata-kata tertentu. Hanya ada sedikit rima. Dan ini tentu saja boleh dipakai sebagai metafor, metafora tertentu, sebab kau harus melekatkan sesuatu pada kata-kata itu. Saya berani mengatakan - ini tentu saja pernyataan yang pukul rata - tapi mungkin kata "moon" dalam Bahasa Inggris akar katanya berbeda dengan kata "luna" dalam Bahasa Latin atau Bahasa Spanyol. Kata "moon" punya bunyi yang seakan tak hilang-hilang. "Moon" adalah kata yang indah. Dalam Bahasa Prancis kata itu juga indah: "lune". Tapi dalam Bahasa Inggris Kuno "moon" adalah "mona". Tak terlalu indah, karena terdiri dari dua suku kata. Dalam Bahasa Yunani lebih tidak indah: "celena". Tiga suku kata. Tapi sekali lagi kata "moon" adalah kata yang indah. Jadi kata-kata itu memberimu inspirasi. Kata-kata punya kehidupannya sendiri.
T: Kata-kata punya kehidupannya sendiri, itu artinya kata lebih penting daripada makna yang bisa ia berikan pada konteks tertentu?
B: Saya kira makna kata lebih kurang tidak relevan lagi. Apa yang penting, atau dua fakta penting yang harus saya katakan adalah emosi dan kata itu terbangkitkan dari emosi. Saya tidak berpendapat bahwa Anda bisa menulis tanpa emosi. Kalau kau paksa juga, hasilnya pasti artifisial, dibuat-buat. Saya tidak suka tulisan sejenis itu. Saya kira apabila ada sebuah puisi memang hebat, maka Anda harus berpikir puisi itu menuliskan dirinya sendiri dan bukan si penyair yang menuliskannya. Puisi harus lahir dengan mengalir lancar.
T: Bisakah seperangkat mitos-mitos digantikan dengan yang lain ketika ia berpindah dari satu penyair ke penyair lain dan tetap memberikan efek puitik yang sama?
B: Saya kira setiap penyair punya mitologinya sendiri. Mungkin dia tak peduli dengan itu. Orang bilang ke saya bahwa saya sudah membangun sebuah mitologi saya sendiri tendang macan-macan, pisau tajam, labirin, dan saya tak sadar dengan dengan kenyataan itu. Pembaca saya menemukan itu setiap kali membaca karya saya. Tapi saya kira, itulah tugas dari penyair. Ketika saya memikirkan Amerika, saya selalu terbayang apa yang dirumuskan oleh Walt Whitman. Kata Manhattan ditemukan untuk dia, bukan?
T: Imaji tentang Amerika yang hebat?
B: Well, ya. Pada saat yang sama, Walt Whitman sendiri adalah sebuah mitos. Mitos tentang seorang manusia yang menulis, manusia yang bernasib sangat buruk, dan dia juga membuat dirinya menjadi seorang pengembara. Saya mencatat Whitman mungkin satu-satunya penulis di bumi ini yang menata dan menciptakan dirinya menjadi sosok mitologis dan seorang dari tiga pribadi dalam Trinitas adalah pembaca, karena ketika Anda membaca Walt Whitman maka engkau adalah Walt Whitman. Dia sudah sampai pada tahap itu, hanya dia yang satu-satunya begitu di bumi ini. Tentu saja Amerika melahirkan pengarang penting di dunia.
T: Bagaimana dengan Lorca?
B: Saya tidak terlalu suka Lorca. Saya tidak suka visual poetry. Semua karyanya visual, dia memainkan metafor-metafor khayalan. Tapi, tentu saja, dia sangat dihormati. Saya kenal dia secara pribadi. Dia tinggal setahun di New York. Dia tidak belajar satu kata pun Bahasa Inggris setelah setahun tinggal di sana. Aneh sekali. Saya pernah ketemu sekali di Buenes Aires. Lalu, saya kira dia sangat beruntung karena mati dieksekusi. Itulah kematian terbaik bagi seorang penyair, bukan? Kematian yang sangat impresif. Lalu Antonio Mucharo menggubah sebuah sajak yang sangat indah untuknya.
TANYA: Apakah menurut Anda kata-kata itu punya sejumlah pengaruh yang tak terlepaskan dari kata itu atau dari imaji yang dibawanya?
BORGES: Well ya, sebagai contoh, bila Anda menggubah sebuah soneta, maka, setidaknya dalam bahasa Spanyol, Anda harus menggunakan kata-kata tertentu. Hanya ada sedikit rima. Dan ini tentu saja boleh dipakai sebagai metafor, metafora tertentu, sebab kau harus melekatkan sesuatu pada kata-kata itu. Saya berani mengatakan - ini tentu saja pernyataan yang pukul rata - tapi mungkin kata "moon" dalam Bahasa Inggris akar katanya berbeda dengan kata "luna" dalam Bahasa Latin atau Bahasa Spanyol. Kata "moon" punya bunyi yang seakan tak hilang-hilang. "Moon" adalah kata yang indah. Dalam Bahasa Prancis kata itu juga indah: "lune". Tapi dalam Bahasa Inggris Kuno "moon" adalah "mona". Tak terlalu indah, karena terdiri dari dua suku kata. Dalam Bahasa Yunani lebih tidak indah: "celena". Tiga suku kata. Tapi sekali lagi kata "moon" adalah kata yang indah. Jadi kata-kata itu memberimu inspirasi. Kata-kata punya kehidupannya sendiri.
T: Kata-kata punya kehidupannya sendiri, itu artinya kata lebih penting daripada makna yang bisa ia berikan pada konteks tertentu?
B: Saya kira makna kata lebih kurang tidak relevan lagi. Apa yang penting, atau dua fakta penting yang harus saya katakan adalah emosi dan kata itu terbangkitkan dari emosi. Saya tidak berpendapat bahwa Anda bisa menulis tanpa emosi. Kalau kau paksa juga, hasilnya pasti artifisial, dibuat-buat. Saya tidak suka tulisan sejenis itu. Saya kira apabila ada sebuah puisi memang hebat, maka Anda harus berpikir puisi itu menuliskan dirinya sendiri dan bukan si penyair yang menuliskannya. Puisi harus lahir dengan mengalir lancar.
T: Bisakah seperangkat mitos-mitos digantikan dengan yang lain ketika ia berpindah dari satu penyair ke penyair lain dan tetap memberikan efek puitik yang sama?
B: Saya kira setiap penyair punya mitologinya sendiri. Mungkin dia tak peduli dengan itu. Orang bilang ke saya bahwa saya sudah membangun sebuah mitologi saya sendiri tendang macan-macan, pisau tajam, labirin, dan saya tak sadar dengan dengan kenyataan itu. Pembaca saya menemukan itu setiap kali membaca karya saya. Tapi saya kira, itulah tugas dari penyair. Ketika saya memikirkan Amerika, saya selalu terbayang apa yang dirumuskan oleh Walt Whitman. Kata Manhattan ditemukan untuk dia, bukan?
T: Imaji tentang Amerika yang hebat?
B: Well, ya. Pada saat yang sama, Walt Whitman sendiri adalah sebuah mitos. Mitos tentang seorang manusia yang menulis, manusia yang bernasib sangat buruk, dan dia juga membuat dirinya menjadi seorang pengembara. Saya mencatat Whitman mungkin satu-satunya penulis di bumi ini yang menata dan menciptakan dirinya menjadi sosok mitologis dan seorang dari tiga pribadi dalam Trinitas adalah pembaca, karena ketika Anda membaca Walt Whitman maka engkau adalah Walt Whitman. Dia sudah sampai pada tahap itu, hanya dia yang satu-satunya begitu di bumi ini. Tentu saja Amerika melahirkan pengarang penting di dunia.
T: Bagaimana dengan Lorca?
B: Saya tidak terlalu suka Lorca. Saya tidak suka visual poetry. Semua karyanya visual, dia memainkan metafor-metafor khayalan. Tapi, tentu saja, dia sangat dihormati. Saya kenal dia secara pribadi. Dia tinggal setahun di New York. Dia tidak belajar satu kata pun Bahasa Inggris setelah setahun tinggal di sana. Aneh sekali. Saya pernah ketemu sekali di Buenes Aires. Lalu, saya kira dia sangat beruntung karena mati dieksekusi. Itulah kematian terbaik bagi seorang penyair, bukan? Kematian yang sangat impresif. Lalu Antonio Mucharo menggubah sebuah sajak yang sangat indah untuknya.
Tuesday, December 21, 2004
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal P
pinaremas: sapu tangan pun kau lambaikan lekas-lekas,
     sapu tangan sehelai bersulam benang emas, aku tak
     sempat menduga, kenapa air mata membulir di sudut
     kerlingmu, begitu bernas.
pinda: aku hanya tahu, ada yang masih bisa diubahbaikkan,
     disuaibetulkan, tapi itu pun aku ragukan, tapi itu pun tak sempat
     aku katakan, digegas lambaimu yang berterusan.
pingai: pucat warna punya kita, teramat muda, kuning pun
     nyaris tak ada, hampir putih yang hanya. Aku mengharap
     kilauan itu menyemarakkan cahaya. Kilauan itu, sulam emas
     di sapu tangan yang makin lunglai kau lambaikan.
pongsu: aku tinggal sendirian, selalu akan begitu, bukan?
     busut anak bukit tak cukup punya ketinggian, aku berjingkit
     menjaga agar kau tetap dalam jangkauan pandangan,
     dalam rawatan kenangan.
     sapu tangan sehelai bersulam benang emas, aku tak
     sempat menduga, kenapa air mata membulir di sudut
     kerlingmu, begitu bernas.
pinda: aku hanya tahu, ada yang masih bisa diubahbaikkan,
     disuaibetulkan, tapi itu pun aku ragukan, tapi itu pun tak sempat
     aku katakan, digegas lambaimu yang berterusan.
pingai: pucat warna punya kita, teramat muda, kuning pun
     nyaris tak ada, hampir putih yang hanya. Aku mengharap
     kilauan itu menyemarakkan cahaya. Kilauan itu, sulam emas
     di sapu tangan yang makin lunglai kau lambaikan.
pongsu: aku tinggal sendirian, selalu akan begitu, bukan?
     busut anak bukit tak cukup punya ketinggian, aku berjingkit
     menjaga agar kau tetap dalam jangkauan pandangan,
     dalam rawatan kenangan.
Sunday, December 19, 2004
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal K (2)
kekam: hanya buih, hanya sampah. Mengambang.
Sia-sia meraih, tak guna menggapai. Hilang.
Pelihara saja perih. Hingga terkulai. Tinggal lengang.
keladak: hanya ampas, hanya endapan. Tertinggal.
Kau yang menyisih, mendekat ke batu di dasar itu.
"Adakah nanti yang datang melabuhkan kail?"
kelakanji: Di tepi sepi. Rumput daun jarum tak sendiri.
Capung hinggap sesekali, angin turun hembus lalu pergi.
Pesan rahasia itu pasti sudah dibisikkan ke ikan-ikan.
kelalang: seperti hendak mengabadikan sekilas kisah.
Ia menciduk air sepenuh labu tanah. Kisah buih,
kisah sampah, kisah perih, kisah resah. Kisah
capung yang sebentar singgah, juga bisik rahasia.
Kisah aku: pemancing senja kehabisan umpan.
Sia-sia meraih, tak guna menggapai. Hilang.
Pelihara saja perih. Hingga terkulai. Tinggal lengang.
keladak: hanya ampas, hanya endapan. Tertinggal.
Kau yang menyisih, mendekat ke batu di dasar itu.
"Adakah nanti yang datang melabuhkan kail?"
kelakanji: Di tepi sepi. Rumput daun jarum tak sendiri.
Capung hinggap sesekali, angin turun hembus lalu pergi.
Pesan rahasia itu pasti sudah dibisikkan ke ikan-ikan.
kelalang: seperti hendak mengabadikan sekilas kisah.
Ia menciduk air sepenuh labu tanah. Kisah buih,
kisah sampah, kisah perih, kisah resah. Kisah
capung yang sebentar singgah, juga bisik rahasia.
Kisah aku: pemancing senja kehabisan umpan.
Tuesday, December 14, 2004
300 Halaman Kesaksian Kosong
: Harry Roesli
"Ajari aku main gitar. Gitar tanpa senar..."
Aku tak pernah bisa main gitar. Aku selalu kagum
kepada siapa saja yang pandai memadukan
kelihaian tangan: yang kanan memetik senar, yang
kiri memencet ruang bar, lalu mengalun suara yang
bukan sekedar gencreng-gencreng, bukan hingar-bingar.
Aku ini sebenarnya cuma gelandangan. Maka, karena aku
tahu kau orang yang tidak pernah mencumakan anak-anak
yang dilahirkan dan hidup di jalanan, kepadamu aku minta
diajari main gitar. Gitar tanpa senar. Aku mau menyanyi,
lagu Garuda Pancasila, dan negeri yang belum maju-maju.
"Ajari aku main teater. Teater tanpa skenario..."
Aku percaya pada kejujuran lakonanmu. Sementara,
begitu sempurna sandiwara dimainkan di negeri ini.
Aku percaya pada niat tulus pertunjukanmu. Meskipun,
begitu banyak sutradara gadungan yang tak pernah
berhenti curiga dan menakut-nakuti kami para penontonmu.
Aku sabar menunggu pelajaran di depan kelas panggungmu. Walau, banyak guru palsu yang merasa paling pintar
membodohi kami murid-murid negeri sakit ini.
"Ajari aku menulis kesaksian. 300 halaman tanpa tulisan..."
Agar aku kelak bisa mengisi halaman-halaman kosong itu.
Sehalaman pun jadi, sehuruf pun semoga ia berarti.
"Ajari aku main gitar. Gitar tanpa senar..."
Aku tak pernah bisa main gitar. Aku selalu kagum
kepada siapa saja yang pandai memadukan
kelihaian tangan: yang kanan memetik senar, yang
kiri memencet ruang bar, lalu mengalun suara yang
bukan sekedar gencreng-gencreng, bukan hingar-bingar.
Aku ini sebenarnya cuma gelandangan. Maka, karena aku
tahu kau orang yang tidak pernah mencumakan anak-anak
yang dilahirkan dan hidup di jalanan, kepadamu aku minta
diajari main gitar. Gitar tanpa senar. Aku mau menyanyi,
lagu Garuda Pancasila, dan negeri yang belum maju-maju.
"Ajari aku main teater. Teater tanpa skenario..."
Aku percaya pada kejujuran lakonanmu. Sementara,
begitu sempurna sandiwara dimainkan di negeri ini.
Aku percaya pada niat tulus pertunjukanmu. Meskipun,
begitu banyak sutradara gadungan yang tak pernah
berhenti curiga dan menakut-nakuti kami para penontonmu.
Aku sabar menunggu pelajaran di depan kelas panggungmu. Walau, banyak guru palsu yang merasa paling pintar
membodohi kami murid-murid negeri sakit ini.
"Ajari aku menulis kesaksian. 300 halaman tanpa tulisan..."
Agar aku kelak bisa mengisi halaman-halaman kosong itu.
Sehalaman pun jadi, sehuruf pun semoga ia berarti.
Monday, December 13, 2004
[Ruang Renung # 102] Menulis Puisi Setiap Pagi
KAPANKAH kita menulis puisi? Setiap harikah kita menulis puisi? Sudah berapa lama kita menulis puisi? Saya jadi bertanya setelah membaca kabar tentang penyair Amerika Ted Kooser. Sejak tanggal 12 Agustus 2004 lalu, ia menjadi Poet Laureate atau Penyair Resmi Amerika. Dia orang yang ketiga belas yang menerima kehormatan itu.
Ted Kooser lahir di Ames, Iowa, 1939. Ia bekerja di perusahaan asuransi sambil kuliah dan mendapat gelar BS di Iowa State University tahun 1962 sampai mendapat gelar master seni tahun 1968 dari University Nebraska. Dia tetap bekerja di perusahaan asuransi itu. Dan ia terus menekuni puisi. Ia menulis puisi setiap pagi, sebelum berangkat kerja. Dari pukul 04.00 hingga 05.30 Seperti ritual hidup.
Sajak-sajaknya terbit di The Atlantic Monthly, Poetry, The Hudson Review, The Kenyon Review, Antioch Review, Prairie Schooner, Shenandoah, dan sejumlah media lain. Memangnya, berapa banyak sih media semacam itu di Amerika, ya?
Sajak-sajaknya juga terbit rutin dalam buku teks resmi dan antologi yang digunakan resmi di sekolah menengah dan universtas. Yang begini ini, rasanya tak pernah saya dengar ada di Indonesia.
Ted Kooser kini seorang profesor dan ketika peniun terakhir kali dia menjabat Vice President Lincoln Benefit Life Insurance Company di Nebraska. Kini setelah tegar menapaki jalan puisi, ia sudah membukukan sajak-sajaknya sepuluh judul.
Walking to Work
Today, it's the obsidian
ice on the sidewalk
with its milk white bubbles
popping under my shoes
that pleases me, and upon it
a lump of old snow
with a trail like a comet,
that somebody,
probably falling in love,
has kicked
all the way to the corner.
Ted Kooser lahir di Ames, Iowa, 1939. Ia bekerja di perusahaan asuransi sambil kuliah dan mendapat gelar BS di Iowa State University tahun 1962 sampai mendapat gelar master seni tahun 1968 dari University Nebraska. Dia tetap bekerja di perusahaan asuransi itu. Dan ia terus menekuni puisi. Ia menulis puisi setiap pagi, sebelum berangkat kerja. Dari pukul 04.00 hingga 05.30 Seperti ritual hidup.
Sajak-sajaknya terbit di The Atlantic Monthly, Poetry, The Hudson Review, The Kenyon Review, Antioch Review, Prairie Schooner, Shenandoah, dan sejumlah media lain. Memangnya, berapa banyak sih media semacam itu di Amerika, ya?
Sajak-sajaknya juga terbit rutin dalam buku teks resmi dan antologi yang digunakan resmi di sekolah menengah dan universtas. Yang begini ini, rasanya tak pernah saya dengar ada di Indonesia.
Ted Kooser kini seorang profesor dan ketika peniun terakhir kali dia menjabat Vice President Lincoln Benefit Life Insurance Company di Nebraska. Kini setelah tegar menapaki jalan puisi, ia sudah membukukan sajak-sajaknya sepuluh judul.
Walking to Work
Today, it's the obsidian
ice on the sidewalk
with its milk white bubbles
popping under my shoes
that pleases me, and upon it
a lump of old snow
with a trail like a comet,
that somebody,
probably falling in love,
has kicked
all the way to the corner.
Indonesia, Hingga Desember 2004
karena kita masih suka pura-pura bersyukur,
maka Tuhan pun tetap saja: pura-pura marah!
maka Tuhan pun tetap saja: pura-pura marah!
Wednesday, December 8, 2004
Monday, December 6, 2004
Haiku: Hakikat Embun Menitis
menuju diam
gelap menyentak kelam,
"Selamat malam!"
rahasia malam
menyembunyikan embun
direbut rumput
rahasia embun
mengendap-endap jatuh
aku tersentuh
embun menitis
menggemetarkan huruf
rumput bersajak
serumpun mawar
jatuh embun di daun
hakikat haiku
sejuk terucap
hingga bisik terakhir
aku menunggu
gelap menyentak kelam,
"Selamat malam!"
rahasia malam
menyembunyikan embun
direbut rumput
rahasia embun
mengendap-endap jatuh
aku tersentuh
embun menitis
menggemetarkan huruf
rumput bersajak
serumpun mawar
jatuh embun di daun
hakikat haiku
sejuk terucap
hingga bisik terakhir
aku menunggu
Re: Mawar Merah
: Shenail
apabila engkau terjatuh dalam cinta
berarti sudah terlalu jauh dusta
sebab kelopakku kelak layu lalu luruh jua
padahal tak pernah jatuh duriku
: tajam menyimpan seluruh lukamu
apabila engkau terjatuh dalam cinta
berarti sudah terlalu jauh dusta
sebab kelopakku kelak layu lalu luruh jua
padahal tak pernah jatuh duriku
: tajam menyimpan seluruh lukamu
Saturday, December 4, 2004
[Kata Penyair] Sajak Datang dan Pergi
MENJADI penyair, ah saya merasa tidak nyaman kalau menyebut diri sendiri sebagai penyair, karena itu lebih sebagai keinginanmu untuk menjadi. Saya kira menjadi penyair berbeda dengan menjadi penulis. Ada sesuatu yang khusus. Saya tak tahu darimana datangnya saja-sajak itu. Saya tak tahu kenapa puisi itu datang dan pergi. Sungguh, saya lebih suka menduga bahwa saya ini penerima saja, menunggu saja. Seperti sel telur menunggu pembuahan, sejauh saya bisa menyiagakan diri. Tapi kalau saya harus bicara apakah menulis puisi itu kini menjadi rutinitas buat saya, maka jawaban saya adalah saya sudah tidak menulis apa-apa selama 8 tahun, lalu sekarang saya menulis tiga sajak per hari. Tidak ada yang rutin di situ kan? Ya, begitulah yang terjadi.
* Michael Longley, penyair Irlandia kelahiran Belfast 27 Juli 1939.
* Michael Longley, penyair Irlandia kelahiran Belfast 27 Juli 1939.
Duri Seratus Hari
kami
sedang
kenduri
menzikirkan
angka-angka
hitungan
dimundurkan
100
99
98
97
96
95
94
93
92
91
...
...
...
...
...
5
4
3
2
1
0
-1
-2
-3
-4
-5
-6
-7
-8
-9
dst.
kami
sedang
kenduri
siapa
menghentikan
ritual
berhitung
ini?
Subscribe to:
Posts (Atom)