DEMI pagi biasa, yang membuka jendela, dan hujan yang melukis diri sendiri di bingkai itu, aku mendengar engkau bernyanyi, engkau yang di surga, tempat yang kau rindukan sejak lama, dan aku tak bersamamu di sana.
Aku merasa, akulah lagu sedih yang engkau nyanyikan itu, aku tahu lagu apa yang kau nyanyikan untukku itu.
Demi senyum yang bersahaja, senyum pada seribu wajah yang kujumpa, aku tak bersedih, tapi kehilanganmu memiskinkan aku, aku yang kini tak punya apa-apa, kecuali harapan akan surga yang dulu kukatakan itu diciptakan untuk kita berdua.
Aku merasa, di sana nanti kita akan menyanyikan lagi lagu nestapa itu, lagu tentang kau dan aku, lalu tentang tentang kita itu.
Demi malam yang menegaskan betapa waktu itu ada, aku menyesali apa yang seharusnya kulakukan tapi tak sempat kuperbuat: memelukmu, membagi kepedulian dan kesedihan denganmu, serta menyatakan cinta padamu.
Aku merasa, itu sebabnya kini aku menanggung karma, menjadi kesedihan, menjadi lagu yang kudengar, kau menyanyikannya di sana, di surga.