Salman Aristo (Foto dari Indonesia Kreatif)
Wawancara dengan Salman Aristo, Penulis Skenario/Produser Film Negeri 5 Menara
A Fuadi menulis novelnya. Salman Aristo menerjemahkannya ke dalam skenario. Ia juga bertindak sebagai produser. Affandi Abdul Rahman menyutradarai filmnya. Hasilnya adalah fim Negeri 5 Menara, yang baru beberapa hari sejak diputar perdana pada tanggal 1 Maret 2012 mencatat sukses besar, karena sudah ditonton 200 ribu orang lebih. Film ini menambah daftar film bagus yang laris di negeri ini.
Salman Aristo, saat ini boleh dikatakan, adalah jaminan bagi film bermutu dan laris. Ia telah membuktikan kualitas kerjanya antara lain lewat skenario untuk film “Laskar Pelangi”, “Ayat-Ayat Cinta”, dan “Sang Penari”, yang terakhir diadaptasi dari novel Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk”. Apa rahasia dibalik keberhasilan seorang Salman Aristo? Salman Aristo melayani wawancara saya lewat serangkaian e-mail, di bulan Maret 2012. Berikut ini rangkumannya.
Sebagai produser dan penulis skenario, apa lagi tantangan Anda di film ini? Anda sudah diketahui sangat berhasil dalam karya-karya sebelumnya, dengan pola karya yang sama yaitu mengangkat cerita dari novel.
Tantangan selalu sama sebagai pengadaptasi: sensitivitas. Kepekaan. Karena karya pasti punya lapis-lapisnya sendiri. Mana yang harus diangkat, ditapis, diperbesar, diperhalus, diperkasar, dan lain-lain. Apakah dengan presisi memakai pinset atau dengan keflamboyanan tafsir.Akan selalu begitu. Materi adaptasi baru, batu asah kepekaan baru.
Kenapa merilis film ini di bulan Maret? Tak ada yang khusus dengan tanggal itu, bukan? Kenapa tak saat libur mengingat ini film tentang pelajar, cocok untuk tontonan keluarga?
Justru karena mau mendobrak sesuatu. Karena biasanya, Maret dianggap 'bulan mati' oleh kalangan produser waktu gue memulai awal karir. Ironis ya. Padahal katanya bulan film nasional. Tapi secara hitungan bebas dari teori red ocean-blue ocean, kami mencoba mencari bulan yang justru tak terlalu ramai dengan film-film besar yang berusaha merebut atensi. Seperti pas liburan, misalnya. Selain atensi, karena ada masalah infrastruktur yang cukup serius, kami tidak mau repot rebutan layar. Problem eksibisi, bukan distribusi, amat kronis saat ini. Warung tak lebih dari dua jari, barang dagangannya hampir 100 biji.
Saya rasa penonton film kita di negeri ini yg terbanyak adalah yg benar-benar hanya ingin terhibur. Datang, ketawa, atau jejeritan takut, keluar bioskop, makan, lupa. Atau yang datang karena ingin dapat motivasi film yang ditonton. Adakah Anda membayangkan penonton yg apresiatif? Bisa menilai kualitas kerja sutradara, aktor, skenario?
Tentu sebagai pembuat film gue merindukan itu penonton. Buat apa? Buat meningkatkan diri. Penonton yang berdaya yang akan membuat industri jadi elegan dan perkasa.
Kalau difilmkan, sebuah novel seperti Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, Ronggeng Duku Paruk (sang penari) dan N5M itu bisa belasan jam mungkin. Ada banyak hal yg harus dibuang. Apa pertimbangan 'membuang', 'mempertahankan', atau 'menambah' sesuatu ke dalam cerita untuk kepentingan skenario film?
Kekukuhan sudut pandang. Artinya juga kejujuran. Apa yang membuat saya terpikat dengan novel itu? Ini yang butuh kepekaan. Atau sebenarnya ya, jujur. Makanya, semua yang saya adaptasi selalu novel yang saya sukai dulu. Atau paling tidak ada potensi kisah yang bisa saya amplifikasi dengan asyik lewat medium film.
Anda bekerja sama dgn banyak penulis dan karyanya? Apa karakter masing-masing penulis? Sejauh mana peran mereka? Apa mereka membantu alih medium atas karya mereka? Atau justru kontraproduktif? Atau bagi Anda benar-benar 'pengarang sdh mati?"
Ada dua tipe. Ada yang benar-benar sadar betul ini medium beda, hingga mereka menyerahkan sepenuhnya. Seperti Andrea Hirata dan Ahmad Tohari. Ada yang dengan semangat kolaborasi tinggi, membantu. Seperti Ahmad Fuadi. Tentu dengan kesadaran medium tadi.
Harusnya pengarang memang sudah mati. Tapi sepertinya adaptasi adalah proses penghidupan kembali. Dan saya , dengan darah jurnalistik yang mengalir, merasa harus menggali narasumber. Jadi mereka, buat saya adalah sumber. Bukan lagi pengarang.
Harusnya pengarang memang sudah mati. Tapi sepertinya adaptasi adalah proses penghidupan kembali. Dan saya , dengan darah jurnalistik yang mengalir, merasa harus menggali narasumber. Jadi mereka, buat saya adalah sumber. Bukan lagi pengarang.
Soal teknis, berapa lama proses dari ide memfilmkan sebuah buku, membaca, sampai naskah skenario dianggap sdh jadi?
Rata-rata pengadaptasian yang saya lakukan lebih dari dari setahun.
Anda bekerja dgn banyak sutradara. Siapa yg bisa dibilang 'soulmate' anda dalam berkarya?
Hm. Ini agak susah. Karena sekarang sudah jadi produser dan sutradara juga, yang ada malah editor. Cesa David Luckmansyah rasanya itu soulmate dalam berkarya. Sejak film pertama hingga sekarang, hampir 50 persen film gue dia yang edit.
Bisa digambarkan bagaimana menurut Anda kondisi perfilman kita, ya iklim kreativitasnya, industrinya, dan apresiasinya? Anda merindukan kondisi yang seperti apa?
Saat ini problem utama buat saya adalah problem eksternal. Yaitu infrastruktur. Kekurangan layar. Ini yang harus segera dipecahkan. Sementara soal kreativitas dan apresiasi adalah problem berikutnya. Karena ketika layar merata, publik mendapatkan sirkulasi film dengan lebih merata, otomatis ada daya yang bertambah. Dorongan publik untuk menuntut film yang lebih baik akan terasa tonjokkannya. Karena saya adalah orang yang percaya stake holder perfilman yang utama adalah: penonton.
Ibarat toko, akhirnya yang 'terpajang' di etalase film itu ya aktornya, para pemain yg menghidupkan kisah. Bagaimana penilaian Anda terhadap mereka saat ini?
Saat ini tentu kondisinya sudah lebih baik. Meski masih terasa kurang banyak yang memiliki ketangguhan profesional dan tentu juga skill yang reliable.
Di film-film Anda yg saya tonton rasanya selalu ada adegan berlari. Apa ini jadi semacam 'signature' Anda? Atau ada hal lain yg jg 'tanda lahir' dlm film Anda yg tak disadari penonton?
Hahaha. Ada yang juga mengamati cenderung ada adegan pijat-memijat. Padahal saya nggak suka dipijat. Sebenarnya ini semua sih alam bawah sadar aja. Nggak tahu juga kenapa. Publik yang baca. Tapi menarik juga nih buat dicari tau.***