KALAU mau ke Kuta, kami dihadang kemacetan yang parah. Kata kawan saya, kalau mau ke Joger, kami punya pilihan selain Kuta, yaitu Luwus. Ini nama desa, di jalan raya dari Denpasar ke arah Bedugul. Lho? Bukannya Joger hanya dan hanya dijual di Kuta? Ini bukan Joger tapi temannya. Nama tokonya memang: Teman Joger. Lengkapnya tempat penyaman Joger.
Maka, petang itu melajulah kami ke Luwus. Jalanan bagus dan mulus. Tak ada kemacetan. Luwus benar-benar sebuah desa. Di kiri dan kanan jalan membentang sawah, dengan genangan air yang memantulkan rembang cahaya petang, dan dengan cara yang sederhana seperti itu menciptakan pemandangan senja yang menakjubkan.
Saya ragu, benarkah Joger buka cabang? Kalau benar, benarkah cabangnya dibuka di tempat seterpencil dan tidak meyakinkan seperti ini? Tapi, kapasitas teman baik saya, yang dengan ikhlas menjadi sopir pribadi dan pemandu saya tidak bisa saya ragukan.
Hampir malam, kami sampai di depan toko Teman Joger. Dalam hati saya bergumam, akhirnya sampai juga ke toko yang terkenal ini, meskipun cuma 'temannya'. Ini adalah toko yang memang besar, tapi ya biasa saja, tapi ini toko menjual barang-barang tidak biasa dengan cara yang tidak biasa. Saya ingin kesini, hendak melihat - membuktikan sendiri - ketidakbiasaan itu.
Tak ada bangunan apa-apa di sisi kiri kanannya. Seorang pegawai sudah hendak menarik gerbang masuk kendaraan. Ia melambaikan tangan, menahan masuk kendaraan kami. Seorang lelaki muda, gemuk, berkacamata, dengan celana pendek, berdiri seakan menyambut tamu terakhir: kami. "Toko sudah tutup!" kata si pegawai. Kawan baik saya lantas bicara dengan si lelaki berkacamata. Tak lama kemudian gerbang dibuka lagi. Kendaraan kami masuk.
"Itu anaknya Mister Joger," kata teman saya. "Dia yang punya toko ini." Kami benar-benar tamu terakhir. Di dalam toko saya benar-benar sendirian, memilih kaos produksi pabrik kata-kata yang terkenal di dunia itu, dilayani pegawai jaga yang sudah bersiap pulang, dan kasir yang menunggu untuk tidak mematikan mesin kasir.
"Baik sekali ya, pelayanannya. Dia tadi kasihan sama kita. Sudah jauh-jauh datang, kalau tak sempat belanja kan kecewa," kata kawan saya. Sementara saya belanja, kawan saya bicara dengan si pemilik toko si anak Mister Joger alias Joseph Theodorus Wulianadi.
*
Ya, Joger adalah toko biasa, denga produk yang tidak biasa. Produk utamanya memang cuma kaos oblong alias T-Shirt. Yang membuat tidak biasa adalah desainnya. Selalu ada kata-kata unik yang bikin senyum.
Saya belanja amat terburu-buru tapi tak bisa menahan senyum. Toko Joger juga ditata dengan cara yang tidak biasa. Di dekat kasir ada tulisan: ini kasir bukan kasur. Juga stiker besar: belanja tidak belanja tetap thank you. Ada lagi: Diskon khusus untuk yang hari ini berulang tahun, mohon buktikan degan menunjukkan KTP.
Dan yang paling lucu: Diskon 100 Persen untuk pengunjung yang tidak belanja! Main-main? Kesannya begitu, tapi itulah Joger, dan itulah yang bikin namanya merek yang kuat.
Lihat juga bagaimana tata letak toko. Kaos anak-anak dipajang di bagian sendiri dengan pintu yang hanya setinggi perut. Ada tanda di atas pintu itu: hanya untuk rakyat kecil. Saya harus setengah merangkak untuk masuk ke ruang itu. Sialan! Ini pengalaman kecil, 'mengesalkan', tapi rasanya tak akan pernah saya lupakan seumur hidup.
Keunikan-keunikan kecil lain ditebar di kantong belanja, cara menjelaskan di mana tokonya berada, dan bahkan sampai ke tempat parkir. Pegawai Joger pun ditandai dengan stiker VIP (Very Iseng - bukan important, huh! - Person).
"...semenjak 1987, Joger (berdiri tahun 1981) tidak lagi profit oriented tetapi happiness oriented," kata Mister Joger pada suatu kesempatan, mengungkap kiat suksesnya. Keuntungan tak lagi jadi tujuan, tapi kebahagiaanlah yang ingin dicapai. Sejak tahun itu pula, tepatnya pada tanggal 7 bulan Juli, Joger memutuskan hanya punya toko di Kuta, yang alamatnya sejak dulu memang tanpa nomor.
Kata-kata (ia kemudian menyebut toko kaosnya sebagai pabrik kata-kata) dan gambar lucu, adalah sumber kebahagiaan. Orang menggemari kaos Joger karena bahagia dan bangga memakainya. Pembeli bahagia, dan pemilik toko bahagia karena bisa membahagiakan pembeli (dan meski tak jadi tujuan, keuntungan pun dikantongi).
Kebahagiaan, sepertinya menjadi dasar filsafat bisnis Joger. Lihat saja dari mana nama itu berasal. "Jo" diambil dari Joseph nama si pendiri, dan "Ger" (baca dengan "e" seperti pada "becak") penggalan dari nama Gerrard, sahabat kuliah Joseph di Jerman) yang menghibahkan uang ketika Joseph menikah. Semangat untuk mengabadikan dan menghargai persahabatan itu ternyata mempermulus segala hal: bisnis lancar, nama Joger pun menjadi brand kuat untuk produk kaos kreatif.
Siapa sebenarnya orang di balik desain-desain Joger yang "jelek" ini? Saya kira, sudah ada keterlibatan anaknya yang senja itu dengan kearifannya mempersilakan kami belanja meski jam tutup toko sudah lewat. Tapi, seperti di akui oleh Joseph eh Joger, di pabrik kata-kata itu ada lima desainer. "Tim kreatifnya terdiri dari lima orang. Dan untungnya kelimanya ada dalam diri saya, sehingga si Joger tidak pernah terjadi keributan," katanya. Ah, dasar!
Joseph pulalah yang memberi gelar sendiri kepada dirinya BAA, BSS. Ini saya kira semacam sindiran kepada masyarakat kita yang amat gemar menderetkan gelar akademis, meskipun kerja dan karyanya mungkin tak sepadan dengan deretan gelar itu. Apa itu BAA dan BSS? Bukan Apa-Apa, dan Bukan Siapa-Siapa.
Gelar BAA dan BSS itu ada sejarahnya. Suatu ketika Joseph menyebut istilah dispromotion, sebagai satu istilah taktik berbisnis yang ia perkenalkan. "Dispromotion itu adalah konsep berpromosi yang tidak bermaksud untuk menaikkan jumlah omzet, karena saat ini jika ada orang yang ingin membeli kaos Joger dalam jumlah banyak selalu saya tolak," katanya.
Eh, ada orang yang bertanya, apa kapasitas ilmiah Joseph kok berani-beraninya memperkenalkan istilah itu. Karena kesal, dia menjawab, "Saya bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa." Jawaban yang kemudian menjadi gelar "resmi" yang ia sematkan sendiri. Ah, dasar pabrik kata-kata.[]