Tuesday, June 20, 2006

Kau Tiup Saja Peluit Panjang

KALAU hari sudah siang, rumah itu jadi kosong,
semua penghuni pergi mengejar bola masing-masing.

SI Sulung menggiring bola jauh ke sekolah, melatih
kaki, bagaimana trik menjebol gawang orang lain yang
makin sempit saja. Gawang sendiri? Ah, mana ia punya.

SI Ibu pergi ke pabrik, lalu seharian menimang bola,
meskipun di akhir bulan tidak ada satu pun bola
yang bisa ia bawa pulang. Kadang-kadang kulit tubuhnya
pun harus dikoyak, jadi tambal, agar sempurna tubuh bola.

SI Ayah pergi ke pangkalan kehidupan. Bersiaga sepenuhnya.
Menunggu siapa tahu ada umpan jitu. Tapi tak pernah
ada kesempatan datang. Kalau ada bola, gawangnya hilang,
kalau gawang datang, maka bolanya yang jauh melayang.

SI bungsu, gadis yang masih lugu, tapi sudah lama terpaksa
menjadi penjaja gawang, dijebol lelaki yang suka bikin
gol sembarang tendang. "Ada uang, Tuan bebas menyerang.."

KALAU hari sudah petang, ketika rumah itu lengang,
seperti terdengar remang tembang, "Duh, Yang Mahawasit,
bisakah permainan nasib ini Engkau ulang saja? Kau
tendang lagi bola pertama, dengan skor kosong-kosong,
atau sebaiknya kau tiup saja peluit panjang, saat
pemain kehidupan di rumah ini, satu per satu pulang."