Sajak Pablo Neruda
ENGKAU para gadis yang mencari
maha cinta, maha cinta yang mencekam-mengancam,
apa yang kau dapatkan, wahai Gadis?
Barangkali
waktu, waktu!
Karena kini,
di sini ini, lihat itu bagaimana ia berlalu
menyeret batu-batu surgawi itu,
melapukkan bunga-bunga dan dedaunan,
dengan kebisingan cambuk bebuihan
menghempas pada semua batu dari duniamu,
dengan aroma kental mani dan kuntum melati,
di iga bulan yang mengucur berdarah-darah!
Dan sekarang
kau sentuh air dengan kaki kecilmu,
dengan hati kecilmu,
dan engkau tak tahu mesti berbuat apa lagi!
Yang lebih baik adalah
perjalanan-perjalanan malam hari,
ruang-ruang rumah yang telah terbagi-bagi,
setapak jalan yang tak tentu arah,
tarian yang tak menuntut apa-apa,
daripada meneruskan petualangan!
Setelah ketakukan mati, juga kebekuan,
atau keraguan,
maka bagiku dengan langkah-langkah besarku,
akan kutemukan dia,
di dalam dirimu
atau bila jauh darimu,
maka dia yang akan menemukan aku,
dia tidak akan gemetar menatap-menghadap rupa cinta itu,
dia, yang kelak melebur-menyatu
denganku
dalam kehidupan, dan dalam kematian!
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Monday, September 16, 2013
Senantiasa
Sajak Pablo Neruda
BERHADANGAN muka denganmu
aku tak cemburu.
Datanglah dengan seorang lelaki
di punggungmu,
datanglah dengan seratus lelaki di rambutmu,
datanglah dengan seribu lelaki di antara dada dan kakimu,
datanglah sebagai sungai
di arusnya penuh lelaki tenggelam
mengalir sampai ke laut yang kejam,
buih yang abadi, dan sang cuaca.
Bawalah, bawa mereka semua
bawa ke mana aku menunggumu:
kita yang akan senantiasa sendiri,
kita yang akan senantiasa kita: kau dan aku,
sendiri di atas bumi
untuk memulai kehidupan ini.
BERHADANGAN muka denganmu
aku tak cemburu.
Datanglah dengan seorang lelaki
di punggungmu,
datanglah dengan seratus lelaki di rambutmu,
datanglah dengan seribu lelaki di antara dada dan kakimu,
datanglah sebagai sungai
di arusnya penuh lelaki tenggelam
mengalir sampai ke laut yang kejam,
buih yang abadi, dan sang cuaca.
Bawalah, bawa mereka semua
bawa ke mana aku menunggumu:
kita yang akan senantiasa sendiri,
kita yang akan senantiasa kita: kau dan aku,
sendiri di atas bumi
untuk memulai kehidupan ini.
Thursday, September 12, 2013
Maladi Malam Tadi
: Richard Oh
1. Bala Kelelesa
INI yang kini kutanggung, sekarang, Bung!
: bala kelelesa. Kata yang melata padaku,
menerpaksakan aku, menjadi aku yang bukan aku.
Lidahku sakit berpenyakit, oleh kebeluman
yang tak akan pernah bisa kusudah-sudahkan.
2. Atrium Sebuah Plaza
CAHAYA ranum, pada sebuah plaza, dikepung
putus-sangka. Dan kau, lelaki keras kepala.
Plaza ini adalah plasenta. Dan kita, adalah
jabang janin yang tak pernah bisa keluar dari
sana. Kandungan matang bulan, dan kita tak
pernah berani untuk benar-benar dilahirkan.
Kalau Ibu kita mati, keringlah tali-tembuni.
3. Melewati Kedai Kopi
KALAU kita duduk di situ, di bangku kayu itu,
maka kita akan menciptakan suatu kehilangan,
yaitu yang pergi tanpa pernah ia mau menunggu.
Kalau kita duduk di situ, Tuhan akan mencuriga,
apa yang hendak dilakukan oleh penulis cerita,
sutradara, juru rekam gambar, pelakon sandiwara?
Membuat kisah tentang kisah Seorang Tukang Kisah?
Kalau kita duduk di situ, tapi kita tidak duduk,
tidak di situ, dan kita tak memakakan kalau kita.
4. Senja dan Hujan, di Senayan
KAMI tiba tiba-tiba, bertiket perahu terbang
Bukan karena senja dan hujan ini mengundang
Pekan tanggung terasa telah tua, mengujung
Seperti bilang, "jangan, kau jangan datang!"
Senja dan hujan, membuatkan jalan di Senayan
menjadi murung kandang, mengurung dari pulang,
juga sebegitu susah, sekadar sebentar singgah.
5. Raung Kaca, Ruang Baca
NANTI aku ke sana sebagai pemelesir, terusir.
Mencari buku yang hilang, atau yang belum ada.
Itu sebab aku mampu sepura hati, berpura-pura.
Itu seperti danau, berparas kaca, bayanganku
meraung di sana, aku yang hanya sanggup gugup,
tentu tak mendengarnya: mencemaskan pangkalan
ditelan pasang, tak bisa berhenti, pusang hati.
Nanti aku ke sana sebagai pemburu, dengan pemuras,
senantiasa menodong ke arah kiri, ke dada sendiri.
6. Aku Sudah Tidak Lagi Bertanya
AKU sudah tidak lagi bertanya, lewat dari tapal berapa
lepas kata dari ikatan pantun, tualang menjadi tapa,
Aku pejalan berbahagia, menggadang pada rumah radang,
7. Antara Engkau, Dia dan Aku
ENGKAU adalah buku yang terus ingin dia baca.
Aku hanyalah pembatas buku, yang mengingatkan,
tapi selalu saja akhirnya tercecer, terlupakan.
1. Bala Kelelesa
INI yang kini kutanggung, sekarang, Bung!
: bala kelelesa. Kata yang melata padaku,
menerpaksakan aku, menjadi aku yang bukan aku.
Lidahku sakit berpenyakit, oleh kebeluman
yang tak akan pernah bisa kusudah-sudahkan.
2. Atrium Sebuah Plaza
CAHAYA ranum, pada sebuah plaza, dikepung
putus-sangka. Dan kau, lelaki keras kepala.
Plaza ini adalah plasenta. Dan kita, adalah
jabang janin yang tak pernah bisa keluar dari
sana. Kandungan matang bulan, dan kita tak
pernah berani untuk benar-benar dilahirkan.
Kalau Ibu kita mati, keringlah tali-tembuni.
3. Melewati Kedai Kopi
KALAU kita duduk di situ, di bangku kayu itu,
maka kita akan menciptakan suatu kehilangan,
yaitu yang pergi tanpa pernah ia mau menunggu.
Kalau kita duduk di situ, Tuhan akan mencuriga,
apa yang hendak dilakukan oleh penulis cerita,
sutradara, juru rekam gambar, pelakon sandiwara?
Membuat kisah tentang kisah Seorang Tukang Kisah?
Kalau kita duduk di situ, tapi kita tidak duduk,
tidak di situ, dan kita tak memakakan kalau kita.
4. Senja dan Hujan, di Senayan
KAMI tiba tiba-tiba, bertiket perahu terbang
Bukan karena senja dan hujan ini mengundang
Pekan tanggung terasa telah tua, mengujung
Seperti bilang, "jangan, kau jangan datang!"
Senja dan hujan, membuatkan jalan di Senayan
menjadi murung kandang, mengurung dari pulang,
juga sebegitu susah, sekadar sebentar singgah.
5. Raung Kaca, Ruang Baca
NANTI aku ke sana sebagai pemelesir, terusir.
Mencari buku yang hilang, atau yang belum ada.
Itu sebab aku mampu sepura hati, berpura-pura.
Itu seperti danau, berparas kaca, bayanganku
meraung di sana, aku yang hanya sanggup gugup,
tentu tak mendengarnya: mencemaskan pangkalan
ditelan pasang, tak bisa berhenti, pusang hati.
Nanti aku ke sana sebagai pemburu, dengan pemuras,
senantiasa menodong ke arah kiri, ke dada sendiri.
6. Aku Sudah Tidak Lagi Bertanya
AKU sudah tidak lagi bertanya, lewat dari tapal berapa
lepas kata dari ikatan pantun, tualang menjadi tapa,
Aku pejalan berbahagia, menggadang pada rumah radang,
7. Antara Engkau, Dia dan Aku
ENGKAU adalah buku yang terus ingin dia baca.
Aku hanyalah pembatas buku, yang mengingatkan,
tapi selalu saja akhirnya tercecer, terlupakan.
8 Kutipan Berharga dari "Bumi Manusia"
Hasan Aspahani
NOVEL yang hebat selain alur kisahnya mengguncangkan kesadaran pembacanya, juga bertaburan kalimat cemerlang di sepanjang ceritanya. Begitu pula dengan novel mahakarya Pramoedya Ananta Toer "Bumi Manusia". Berikut ini delapan petikan menarik yang penuh kandungan motivasi dari novel dengan latar belakang bangkitnya kesadaran berbangsa di nusantara ini.
1. BERBAHAGIALAH dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri - Tokoh Nyai Ontosoroh kepada Minke.
2, "...kasihan hanya perasaan orang berkemauan baik yang tidak mampu berbuat. Kasihan hanya satu kemewahan, atau satu kelemahan. Yang terpuji memang dia yang mampu melakukan kemauan baiknya... - Tokoh Jean Marais kepada Minke.
3. MEMERINTAH pekerja pun kau tak bisa karena kau tak bisa memerintah dirimu sendiri. Memerintah diri sendiri kau tak bisa karena ku tak tahu bekerja - Tokoh Annelies Mellema kepada Robert Mellema.
4. SEKALI dalam hidup orang mesti menentukan sikap. Kalau tidak, dia takkan menjadi apa-apa - Tokoh Nyai Ontosoroh kepada Minke.
5. DUNIAKU bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya - Tokoh Minke kepada Ayahandanya.
6. KALAU orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan cara-Nya sendiri - Tokoh Bunda dalam percakapan dengan Minke.
7. KAU akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, semua akan jadi mudah; jangan takut pada pelajaran apa pun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua - Tokoh Nenenda yang ucapannya dikenang oleh Minke.
8. KALIAN boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai - tokoh Magda Peters, guru Minke.
NOVEL yang hebat selain alur kisahnya mengguncangkan kesadaran pembacanya, juga bertaburan kalimat cemerlang di sepanjang ceritanya. Begitu pula dengan novel mahakarya Pramoedya Ananta Toer "Bumi Manusia". Berikut ini delapan petikan menarik yang penuh kandungan motivasi dari novel dengan latar belakang bangkitnya kesadaran berbangsa di nusantara ini.
1. BERBAHAGIALAH dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri - Tokoh Nyai Ontosoroh kepada Minke.
2, "...kasihan hanya perasaan orang berkemauan baik yang tidak mampu berbuat. Kasihan hanya satu kemewahan, atau satu kelemahan. Yang terpuji memang dia yang mampu melakukan kemauan baiknya... - Tokoh Jean Marais kepada Minke.
3. MEMERINTAH pekerja pun kau tak bisa karena kau tak bisa memerintah dirimu sendiri. Memerintah diri sendiri kau tak bisa karena ku tak tahu bekerja - Tokoh Annelies Mellema kepada Robert Mellema.
4. SEKALI dalam hidup orang mesti menentukan sikap. Kalau tidak, dia takkan menjadi apa-apa - Tokoh Nyai Ontosoroh kepada Minke.
5. DUNIAKU bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya - Tokoh Minke kepada Ayahandanya.
6. KALAU orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan cara-Nya sendiri - Tokoh Bunda dalam percakapan dengan Minke.
7. KAU akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, semua akan jadi mudah; jangan takut pada pelajaran apa pun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua - Tokoh Nenenda yang ucapannya dikenang oleh Minke.
8. KALIAN boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai - tokoh Magda Peters, guru Minke.
Priangan Si Jelata
SENJAMU, Bandung, kopi tanah, diseduh dengan salah
Cihampelas, jalan malas, ke arah malammu yang marah
Cabang pohon sepasang, sembahyang, tanpa berjamaah.
Doa-doa menggantung, tak tergantang, tak terjamah.
*
Siangmu, Bandung, para lelaki dari pesisir utara
menyalakan bara, membakar runcing daging mentah
"Kami beri kau restu mendustai kami, bukan karena
kami tak pandai menagih janji!" Kau, sedang tuli.
Cihampelas, jalan malas, ke arah malammu yang marah
Cabang pohon sepasang, sembahyang, tanpa berjamaah.
Doa-doa menggantung, tak tergantang, tak terjamah.
*
Siangmu, Bandung, para lelaki dari pesisir utara
menyalakan bara, membakar runcing daging mentah
"Kami beri kau restu mendustai kami, bukan karena
kami tak pandai menagih janji!" Kau, sedang tuli.
Abu Bakar Sang Pembenar, dan Dua Ekor Unta
IA persiapkan dua ekor unta, tunggangan terbaik untuk
belasan hari yang diwahyukan, siang dan malam perjalanan.
Ia persiapkan dua ekor unta, untuk dia dan untuk sahabat
masa kecilnya, yang ia temani menempuh antara, dua kota.
Ia persiapkan dua ekor unta, untuk seorang yang selalu
ia benarkan katanya, sebelum dan terlebih sesudah kerasulan.
Ia persiapkan dua ekor unta, yang kelak memilih sendiri
di mana ia hendak singgah, di kota yang menyambut ramah.
belasan hari yang diwahyukan, siang dan malam perjalanan.
Ia persiapkan dua ekor unta, untuk dia dan untuk sahabat
masa kecilnya, yang ia temani menempuh antara, dua kota.
Ia persiapkan dua ekor unta, untuk seorang yang selalu
ia benarkan katanya, sebelum dan terlebih sesudah kerasulan.
Ia persiapkan dua ekor unta, yang kelak memilih sendiri
di mana ia hendak singgah, di kota yang menyambut ramah.
Subscribe to:
Posts (Atom)