Gambar diculik dari blog Toekang Loekis Kaos |
“KALAU ada waktu dan uang saya mau cari DeGuzman. Saya yakin dia masih hidup,” kata Bondan Winarno, beberapa waktu lalu, sebelum berangkat kembali ke Jakarta.
Kami duduk satu meja, berempat. Saya bersama Wakil Pemred Batam Pos Ismeth Syafriadi, dia bersama Wasis Gunarso, kepala suku milis ‘intelijen’ dan ‘informan’ tempat makan enak senusantara, Jalansutra. Wasis kini dipercaya mengelola jaringan restoran Kopitiam Oey milik @Pakbondan (begitulah dia menamai akun twitternya). Pagi itu kami sarapan di dua tempat. Pertama, di Mie Tarempa, Sungai Panas, dan kemudian di Kedai Kopi Harumanis, Nagoya.
Ya, dia adalah Bondan Winarno, pria kelahiran Surabaya, 29 April 1950, yang kini – tersebab oleh sihir televisi –dikenal orang sebagai orang paling bahagia sedunia, karena tiap minggu tampak selalu sehat, dan bisa jalan-jalan dan makan-makan ke mana saja, asal di sana ada tempat makan enak. Ya, dia adalah tokoh yang mempopulerkan istilah ‘maknyus’, ‘top markotop’, ‘sip markosip’, atau ‘endang bambang gulindang’ untuk memuji – sekaligus secara tersamar memberi peringkat - kelezatan suatu masakan setelah ia mencicipinya.
Pak Bondan, apa boleh buat, kini amat terkenal sebagai pencicip makanan enak. Tak banyak yang tahu (atau mau tahu) bahwa dia adalah wartawan yang hebat. Kuliahnya macam-macam, dan tak beres. Ia mulai karir mula-mula menjadi jurufoto di Puspen Hankam. Lalu berpindah-pindah ke banyak lembaga penting lainnya, baik sipil, juga militer, namun tak pernah jauh dari ruang lingkup tulis-menulis. Ia menulis kolom ‘Kiat’ di Majalah Tempo, berisi tulisan pendek berbagai kasus manajemen dari berbagai belahan dunia, ditambah tarikan kesimpulan dan analisis dari sudut pandangnya yang selalu bernas. Kolom itu sempat terbit dalam dua buku kumpulan.
“Waktu itu tak banyak yang mendalami manajemen,” kata Pak Bondan.
Dalam satu tulisannya di serial ‘Kiat’, misalnya, dia menulis bagaimana seorang pengusaha tambak di Filipina menembus pasar udang Jepang. Yang ia budidayakan adalah udang tiger berkulit hitam. Di Jepang udang ini semula tidak laku, kalah pamor dengan udang lain yang berkulit putih. Si pengusaha – seorang wanita – yang punya tambak ribuan hektar di negerinya tak habis akal. Mula-mula di Jepang komoditasnya itu digratiskan. Dia yakin lidah Jepang akan menerima udang hitam itu, karena rasa dagingnya sama enaknya. Kulitnya yang hitam toh akhirnya tak juga dimakan. Soalnya adalah orang Jepang terkenal punya cita-rasa tinggi dalam hal penyajian makanan.
Upaya gigih si pengusaha berhasil, bahkan keadaan berbalik. Udang tiger kemudian menjadi udang yang mahal, dan karena permintaan tinggi, banyak negara menjadi pemasoknya, termasuk Indonesia. Saya ingat tambak-tambak di Kampung saya nun di pesirir Kalimantan sana dulu ditaburi benur udang Tiger, karena sedemikian menggiurkannya pasar ekspor ke Jepang itu.
“Itu namanya inovasi. Menciptakan pasar,” kata Pak Bondan dalam kolomnya tersebut. Semudah itulah dia menjelaskan bagaimana inovasi dilakukan oleh seorang pengusaha, tanpa mengkhotbahkan teori yang rumit berjela-jela.
Pak Bondan juga pernah tiga tahun memimpin sebuah koran besar di Jakarta. “Hanya tiga tahun. Karena saya memang tak mau lama-lama. Saya hanya membenahi sistem keredaksian. Yang paling susah itu bagaimana mengubah wartawan-wartawan tua yang susah sekali diperbaiki,” kata lelaki yang usianya sudah melampaui kepala enam - tapi masih sangat sehat - yang pernah menghabiskan masa kanak-kanaknya di Padang. Di tangannya koran tersebut menjadi bercita rasa modern.
Dia kemudian bekerja sebagai konsultan untuk Bank Dunia dan berkantor di Jakarta. Dengan penghasilan yang besar, seperti dia akui, dan banyak waktu, naluri kewartawanannya terbakar ketika kasus penipuan perusahaan tambang di Kalimantan. Bre-X, perusahaan asal Kanada itu, memalsukan sampel tambang emas, sehingga seolah-olah, di Busang – nun di pedalaman Kalimatan Timur - sana, mereka menemukan lokasi dengan kandungan amat tinggi. Saham Bre-X kontan naik harga jualnya. Tapi kemudian diketahui itu hanya akal-akalan, Michael deGuzman, lelaki asal Filipina, yang memimpin perusahaan tambang itu. DeGuzman bahkan sampai memalsukan kematiannya sendiri. Ia seakan-akan bunuh diri, terjun dari helikopter. Bondan pun melakukan investigasi. Ia masuk hingga ke lokasi tambang, sampai melacak ke makam yang disebut-sebut sebagai makam deGuzman. Dalam bukunya, Bondan menyimpulkan itu bohong belaka. Ia bahkan harus berurusan dengan gugatan di meja hijau, dengan tuduhan mencemarkan nama baik menteri pertambangan kala itu. Ia dituduh dibiayai pihak asing.
“Di persidangan saya tunjukkan slip pembayaran pajak penghasilan saya yang waktu itu nilainya 120 juta. Itu pajak yang saya bayar. Saya ingin kasih gambaran kepada hakim di sidang tersebut bahwa saya punya uang, dan kalau hanya untuk melakukan liputan sampai ke Filipina waktu itu, kecil sekali buat saya. Dengan begitu saya ingin mementahkan tuduhan bahwa saya dibiayai pihak tertentu,” ujarnya.
“Justru di pengadilan ituah saya mempermalukan menteri pertambangan. Dia menggugat saya dengan pasal pencemaran nama baik, karena di buku saya itu saya sebutkan dia tak pandai berbahasa Inggris. Di sidang saya minta dia berbicara tentang apa saja yang dia kuasai, satu paragraf saja dalam bahasa Inggris. Ternyata memang tak bisa,” kata Pak Bondan seraya tergelak. Akhirnya, Pak Bondan divonis bebas.
Proses sidang itu, menurutnya, menarik untuk dipelajari sebagai contoh bagaimana jika seorang jurnalis berperkara di pengadilan. Buku liputannya tentang skandal penipuan tambang itupun kini menjadi pelajaran penting bagi pers Indonesia bagaimana sebuah liputan investigasi dilakukan. “Nanti saya kirim bukunya untuk Anda,” kata Pak Bondan berjanji, dan nanti pasti saya tagih.
*
Dengan keterampilan sebagai wartawan handal itulah, saya kira, Pak Bondan bisa menjadi ‘pakar icip-icip’. Ia membekali dirinya dengan pengetahuan tentang sejarah bahan pangan, muatan sosiologis suatu jenis makanan, sampai ke tatakrama pengajian. Sajian kuliner, di depan seorang Bondan, tak cuma teronggok sebagai benda menarik untuk disantap, tapi ia bisa mengurai cerita panjang dari situ.
Misalnya teh tarik dan nasi ayam Hainan. “Ini menurut sejarah, adalah kreasi para perantai dari Hainan. Ketika merantau ke selatan, tinggal antara lain di semenanjung Malaysia, dan di pulau-pulau di Indonesia, tak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan. Melihat orang setempat suka makan ayam dan minum teh dan suka minum yang lemat dan manis, maka mereka menciptakan nasi ayam yang lekas disajikan. Di negeri asal mereka sendiri, menu itu sampai sekarang tak dikenal,” katanya.
Pak Bondan juga yakin bahwa cara menyajikan teh dan kopi dengan saringan kain itu juga kreasi para perantau Hainan. “Tapi, kalau mendengar ini orang Aceh bisa marah ke saya, karena menurut mereka itu adalah penemuan mereka,” kata Pak Bondan sambil tertawa.
Di Kedai Harumanis, kami menyantap mie lendir. Melihat ‘barista’ tua – yang meskipun sudah bongkok tapi masih sangat sigap menyajikan minuman - di kedai itu beraksi, Pak Bondan ingin membuktikan sesuatu. Ia dekati si pemilik kedai dan bertanya dari mana asal nenek moyang mereka. Benar! Dari Hainan.
Satu hal lagi, dengan begitu, Pak Bondan membuktikan, bahwa kemampuan dan kegemaran menulis, ditambah naluri, keterampilan, rasa ingin tahu sebagai jurnalis yang ada dalam dirinya, jika dipakai untuk apa saja bisa membuat segala hal jadi menarik, termasuk soal asal usul makanan, yang bagi sebagian kita asal enak ya langsung saja dimakan.
Satu hal lagi, Pak Bondan adalah orang yang sangat santun. Dia sangat Jawa dalam hal ini. Saya belajar banyak dari beliau soal yang satu ini. Di dua kedai tempat kami sarapan pagi itu, ada saja yang menyapa, "Pak Bondan, ya?" Dengan ramah beliau menyambut ukuran tangan, membalas salam dan menjawab, "bukan, saya Tora Sudiro!"***