Sunday, August 30, 2009

Balada Siapa Saja

IA bernafas dengan harmonika, gamang membayangkan
syair, sajak penyair terakhir, tentang maut & lahir.

Ini seperti balada tentang siapa saja, seperti
petualang menemukan peta pantai hilang, lalu ia
berikrar akan jadi tua, meninggal nama, di sana.

Sebuah lagu akan rampung dihirup-hembuskan, ia
mengecupi harmonika seperti bibir kekasihnya.

Selalu itu membuatnya lebih dalam mematakan pejam.

Ini seperti balada tentang siapa saja, dan itu
berarti yang paling mungkin (dan paling mustahil)
ia akan bernyanyi tak henti tentang Cinta & Sunyi.

Cinta sebab ia telah pernah berani memimpikan mimpi.
Sunyi karena ia tahu akan kembali menjadi sendiri.

Keduanya melahirkan lagu nafasnya pada harmonika,
pada kecup dalam dan lama di lapar bibir kekasihnya.




Saturday, August 29, 2009

Google Edisi Michael Jackson




Jangan Ditanya Kenapa Aku Bertanya, X

X.

HUJAN, bagaimana kau menandai jejak
di jalan melingkar perjalananmu?

Bagaimana kau mengatur jadwal kapan
harus turun kapan harus menahan diri?

Kau yang menulis sajak tentang
hujan pernahkah bertanya pada dia
seperti apa harus menuliskan dia?

Tahukah kau bahwa hujan itu tak
tahu apa itu sedih atau murung?

Tahukah kau bahwa hujan itu adalah
kanak-kanak yang rindu bermain?

Tahukah kau bahwa ketika turun, hujan
itu memberi kesempatan matahari untuk
melakukan sesuatu yang rahasia?

Kau yang bosan dengan sajak hujan
tahukah kau bahwa hujan tak pernah
merasa bosan disajakkan?


Friday, August 28, 2009

Jangan Ditanya Kenapa Aku Bertanya, IX

IX.

APA yang dikatakan daun kepada akar yang
tiap hari mengiriminya air dan hara?

Ketika akar pertama tumbuh dari biji
sudahkah ia membayangkan bagaimana kelak
cabang-cabangnya mengatur diri?

Apa yang dikatakan akar kepada batang
yang tiap hari mengantarkan air dan hara
kepada daun?

Siapakah yang paling mencintai buah itu?
Daun, akar, batang, ranting atau tangkai?

Ketika putik jatuh sebelum jadi buah,
siapa di antara mereka yang paling sedih?

Ketika daun mengering, layu dan jatuh,
apa doa yang diucapkan akar untuknya?

Apa pesan rahasia pohon kepada buah yang
matang dan kelak akan jatuh dan tumbuh
sendiri menjadi pohon yang baru?



Jangan Ditanya Kenapa Aku Bertanya, VIII

VIII.

KENAPA tak ada satu hari saja, semua
peristiwa terjadi sama, sehingga
suratkabar pun terbit dengan isi
yang persis serupa?

Kenapa di zaman nabi-nabi diutus
belum ada suratkabar yang memberitakan
setiap langkah kenabian mereka?

Jika saat kitab-kitab diwahyukan ada
suratkabar apakah setiap ayat yang
turun akan jadi berita utama?

Seandainya para nabi itu adalah pemilik
dan pemimpin redaksi surat kabar,
apa nama suratkabar mereka?

Seandainya nabi-nabi itu berdakwah lewat
suratkabar, apakah suratkabar itu lebih
banyak diedarkan eceran atau langganan?

Apakah di suratkabar para nabi itu juga
ada rubrik tanya jawab surat pembaca?


Jangan Ditanya Kenapa Aku Bertanya, VII

VII.

APAKAH suara azanku dulu di masjid
tua itu masih ada sisa gemanya?

Penjaga tua masjid tua, siapa yang
memugar umurnya bersama pemugaran
masjid yang bertahun-tahun ia jaga?

Kenapa pengeras suara di menara
masjid tua itu tak pernah serak?

Sumur di depan masjid, kalau aku nanti
berwudhu di situ, apakah dia bertanya,
"wah, lama sekali wudhumu tidak batal?"

Ibu, kalau aku azan nanti di masjid
tua itu, apakah kau masih kenal suaraku?


Jangan Ditanya Kenapa Aku Bertanya, VI

VI.

KENAPA ayam betina berkotek
setelah bertelur? Apakah itu
tanda dia gembira atau sedih?

Kokok ayam jantan di waktu subuh,
apakah matahari di sana menyimaknya?

Kalau matahari bicara, apa yang
akan dikatakannya pada ayam yang
berkokok itu?

Kenapa ayam jantan tidak berkokok
juga di tengah hari? Atau petang?

Apakah ayam betina marah karena
terganggu dengan kokok ayam jantan?

Apakah ayam jantan punya kokok yang
khusus di hari-hari yang istimewa?

Apakah ayam jantan berkokok juga
pada hari dia akan disembelih atau
mati terlindas roda kendaraan?

Apakah anak ayam yang masih belum
menetas di dalam telur mendengar
juga suara kokok ayam jantan?


Jangan Ditanya Kenapa Aku Bertanya, IV

IV.

Bisakah lidah diatur hanya mau
mengucap kata-kata Puisi saja?

Bisakah telinga menyaring sendiri
kalimat-kalimat yang didengarnya?

Bisakah mata dibuat memejam sendiri
ketika ada yang tak pantas dilihat?

Kenapa tangan dan kaki hanya bicara
kelak pada Hari Kesaksian saja?

Bisakah tangan diatur hanya mau
memeluk atau berjabatan saja, dan
menolak jika dipakai untuk menampar?

Bisakah mulut membisu sendiri, ketika
dipakai untuk mengucap kata makian?



Jangan Ditanya Kenapa Aku Bertanya, V

V.

SEPASANG kodok plastik mainan masa
kecilku dulu, rindukah mereka padaku?

Maukah kawan-kawanku kuajak bermain
kelereng seperti kanak-kanak kami dulu?

Di manakah dia kini, layang-layang yang
dulu kubuat, lalu putus saat kumainkan?

Lapangan kasti tempat kami bermain
dulu, masihkah dia ingat garis-garis
batas permainan yang kami buat?

Pohon kedondong di depan masjid, kenalkah
ia padaku yang dulu sering memanjatnya?

Kalau aku kembali ke masa lalu, apakah
televisi masih menyiarkan film Si Unyil?

Tahukah muara laut di kampungku, bahwa
dialah yang mengajariku berenang?


Thursday, August 27, 2009

Jangan Ditanya Kenapa Aku Bertanya, III

III

KENAPA cinta itu simbolnya hati merah muda? Kenapa
tidak lingkaran atau segienam, hitam atau putih saja?

Kenapa banyak sekali abjad di dunia ini? Kenapa Tuhan
tidak menetapkan satu abjad saja untuk semua manusia?

Apa jadinya kalau setiap hari orang boleh mengganti
namanya? Atau bolehkah memilih tidak bernama saja?

Kenapa kalau berpisah orang melambaikan tangan?
Tidak adakah isyarat perpisahan lain yang lebih baik?

Kenapa kalau kita menangis keluar air di mata kita?
Kenapa tak keluar cahaya saja? Cahaya mata namanya?



Jangan Ditanya Kenapa Aku Bertanya, II

II

KENAPA kalau gigi susu lepas, tumbuh gigi baru, tapi
kalau gigi dewasa tanggal tak tumbuh gigi baru lagi?

Kenapa gigi harus tumbuh perlahan satu per satu?

Kenapa gigi tidak seperti kuku yang terus tumbuh
dan secara berkala kita harus memotongnya?

Siapa yang memberi tahu gigi supaya dia tumbuh dan
kemudian berhenti sampai ukuran yang sempurna?

Kenapa gigi harus berwarna putih? Tidak merah,
hijau, atau biru? Atau warna emas atau perak?

Berapa banyak gigi mendapat bagian dari zat makanan
yang mereka lumatkan?

Apa perasaan gigi asli ketika berdampingan dengan
gigi palsu yang menggantikan gigi asli yang hilang?

Apa yang dikatakan gusi dan tulang rahang ketika
sebuah gigi terlepas?




Jangan Ditanya Kenapa Aku Bertanya, I

I

KENAPA harus ada kalimat tanya dalam bahasa?

Betulkah ucapan pertama di dunia adalah pertanyaan?

Siapa yang pertama kali bertanya di dunia ini?

Apakah pertanyaan yang pertama kali diajukan?

Kepada siapakah pertanyaan pertama itu ditujukan?

Seberapa banyak pertanyaan di dunia ini yang
terjawab dan seberapa yang tak punya jawaban?

Apakah pertanyaan tak terjawab itu mati penasaran
atau tetap hidup menunggu datang jawaban?








[KOLOM ] Farid Gaban Singgah di Batam

Oleh Hasan Aspahani
Pemimpin Redaksi Batam Pos

Di depannya, malam itu, saya jadi kecil hati bahkan untuk sekadar mengeluarkan Blackberry dari saku. Gadget mahal itu, tiba-tiba menjadi kemewahan yang tak berarti. Dia orang sangat sederhana.



"Tadi kami tidak makan sahur," kata Farid Gaban. Hah? Itu berarti 24 jam lebih dia dan mitra seperjalanannya Ahmad Yunus tidak makan. Sebab, sejak tiba di Batam sekitar pukul empat petang, dalam rangkaian ekspedisi jurnalistik berkeliling Indonesia, dia baru menyentuh makanan saat berbuka bersama Muhamad Nur - Koordinator Liputan Batam Pos, Pemenang Anugerah Adinegoro 2008 yang menjemputnya petang itu di pelabuhan Batuampar.

Malam itu kami mencari tempat makan yang agak istemewa. Pilihannya adalah kelong Aneka Selera di Jembatan IV. Kami makan besar. Sebuah jamuan yang layak untuk 'orang besar' seperti dia.

Di meja restoran terapung yang perlahan naik diangkat oleh pasang laut, terhidang kepiting saos, udang goreng mentega, tumis kangkung belacan, ikan asam pedas, dan aha tentu tak ketinggalan gonggong rebus! Ini buka puasa yang terlambat. Maka, semuanya habis kami lahap berlima: dua wartawan "gila" itu, saya, Muhamad Nur dan Sultan Yohana (yang tak menyesal membatalkan acara memasak sendiri di rumahnya untuk hidangan berbukanya hari itu).

"Yunus, malam ini kita tak perlu sahur lagi," kata Farid Gaban, bersemangat menyuap nasi, lalu membongkar isi otak di balik cangkang kepiting. Saya lihat dia dua kali menambah nasi. Sejak sebelum makan, dia bahkan sudah juga memesan kopi. Di kelong itu kami bertahan ngobrol sampai agak malam. Dari musala yang entah dimana, terdengar takbir dan salawat jamaah tarawih.

***

Ini memang sebuah ekspedisi "gila". Seorang wartawan senior yang di Indonesia sudah lazim diketahui reputasi dan dedikasinya, ditemani seorang wartawan muda yang ideologi jurnalismenya diasah di Pantau - sebuah majalah dan kemudian menjadi komunitas penganut nilai-nilai tinggi jurnalistik.

"Semula ekspedisi ini dirancang bersama sebuah sponsor. Ketika rencana itu batal, saya bilang ke mereka, saya akan jalan meskipun tanpa mereka," kata Farid memulai cerita.

Farid adalah perencana yang handal. Ini mungkin ada kaitannya dengan latar pendidikannya. Dia kuliah mendalami kekhususan Tata Kota ITB, meskipun tidak sempat menyelesaikan penulisan skripsi yang membandingkan dua ruas jalan di Malang dan Bandung.

Maka dirancanglah ekspedisi jurnalistik yang ia bayangkan akan menyinggahi seratus pulau di Indonesia. Biayanya Rp120 juta. Semula ini akan ditutup dari uang penjualan feature hasil perjalanan itu dengan sistem sindikasi.

Tapi, sistem sindikasi itu ia sadari belum terlalu lazim di Indonesia. Akhirnya hanya Republika dan Majalah Tempo yang membeli hak menerbitkan beberapa tulisnya. Tentu saja itu tak cukup untuk membiaya ekspedisi ini.

Lalu dari mana dana itu didapat? "Jual buku," katanya. Farid betul-betul mempersiapkan diri. Ia membeli kamera mahal, notebook (di Mentawai kedua benda wajib ini tercebur ke laut dan dia harus membeli yang baru), dua motor Win 100 CC yang dirombak menjadi a la trail (tapi tetap saja paling banter hanya bisa dikebut 80 km per jam), dan dia ambil sertifikat menyelam. "Saya banyak memotret terumbu karang," katanya.

Ya, mata kameranya dipesiapkan untuk banyak menangkap kepermaian lingkungan alam, dan dinamika manusia dan Indonesia. Sebuah penerbit sudah berkomitmen menerbitkan empat buku berisi foto-foto hasil jepretannya itu. Ia dan timnya juga berharap kelak bisa menjual hasil rekaman video dari perjalanan itu.

***

Farid Gaban sudah menjadi wartawan sejak ia kuliah di Bandung. "Saya mulai dulu sebagai reporter di Tempo Biro Bandung," katanya.

Saya mengenal namanya, menikmati, mengagumi dan belajar dari tulisan-tulisannya ketika dia bergabung dengan Republika. Waktu itu saya sudah mahasiswa. Di koran yang pada masa awal terbit membawa angin baru dalam atmosfer pers Indonesia, dia menulis kolom yang bagus. Solilokui namanya. Kelak kumpulan kolom itu dibukukan dibawah judul "Belajar Tidak Bicara".

Di kolom itu ia menulis dengan logika yang mengejutkan, ide yang tak terpikirkan dan bahasa renyah karena sederhana. Ia misalnya menulis tentang betapa absurdnya sepatu. Ia melindungi kaki tetapi ketika memakai sepatu kita harus melindungi kaki dengan kaus kaki, sebab sepatu yang melindungi itu bisa melecetkan kaki. Malam itu saya pastikan dia memang tidak memakai sepatu, kecuali sepatu sandal.

Ia juga pernah mengadaptasi tulisan Simon Carmiggelt, kolomnis Belanda tentang peri junior yang dimarahi peri senior sebab tak bisa mengabulkan permintaan seseorang yang telah menyelamatkannya, karena permintaan sederhana "turunkan harga" harus dilakukan dengan rumitnya sistem ekonomi modern. Dia salah satu kolomnis terbaik yang pernah ada di Indonesia.

Ya, dia Farid Gaban. Dia adalah salah seorang yang diam-diam membuat saya makin yakin untuk menjadi wartawan. Dia pernah meliput di Bosnia, Afghanistan, juga Piala Dunia di Amerika. Malam itu saya bersama dia. Terus terang saya agak gugup dengan pertemuan itu. Ha ha ha. Seperti kencan pertama rasanya. Saya bertambah kagum karena ternyata betapa sederhana dan bersahajanya dia. Tubuhnya tak terlalu besar, kulitnya menghitam, pasti karena terbakar matahari selama perjalanan bermotor yang ia mulai sejak Juni 2009 itu.

"Saya mundur sebagai Redaktur Eksekutif karena saya tak setuju ketika waktu itu Republika memilih Harmoko sebagai Man of The Year," katanya ketika saya tanya kenapa keluar dari surat kabar yang kala itu dipimpin Parni Hadi. Ia mengucapkan kalimat itu dengan nada biasa saja, tanpa kesan melebih-lebihkan, menonjolkan idealisme, atau menyombongkan diri.

Ia kemudian bergabung kembali dengan Tempo dan sempat mengomandani divisi Investigasi dan menghasilkan liputan-liputan yang sedikit mengguncang stabilitas penguasa.

Ketika ia menjadi pejabat redaksi (menjadi redaktur pelaksana), yang tak lagi banyak memikirkan liputan ia tak betah. "Saya digaji mahal tapi saya merasa saya tak melakukan apa-apa," katanya. Padahal jiwanya adalah di lapangan. Dia terpanggil untuk meliput, melakukan reportase.

"Pekerjaan liputan masih sangat menarik buat saya," katanya. Sungguh, jika engkau benar-benar wartawan, kalimat sederhana itu akan telak menampar jiwamu. Itu yang mungkin mendorongnya untuk menuntaskan ekspedisi yang rutin dia laporkan di situs zamrud-khatulistiwa, menyamakan dengan nama ekspedisi yang kelak berakhir Desember nanti.

***

Ada yang salah dengan Indonesia. Itulah premis yang ada di kepala Farid dan tim pendukung ekspedisinya itu. Negara dengan 17 ribu pulau ini dibangun tanpa berorientasi pada lautan. Indonesia dibangun dengan perhatian penuh pada kota dan daratan, melupakan pulau-pulau kecil dan laut dengan segala potensinya. Padahal, lautanlah yang dia yakini menyelesaikan banyak persoalan di negeri ini.

"Sebenarnya perjalanan ini kan hanya mengkonfirmasi apa yang kita yakini itu," katanya. Dan itulah yang dia temukan.

Pedih sekali sepertinya ketika mendengar ia mengatakan, "tak ada tempat yang kami kunjungi yang tak subur. Laut kita kaya, tapi tak ada tempat yang tak ada orang miskinya. Memang ada yang salah besar dari cara berpikir kita di Indonesia ini."

Batam, adalah bagian dari 100 pulau yang akan dia singgahi. Dia lalu menyeberang ke Tanjungpinang, Lingga, Tambelan, Anambas, Natuna, dan lalu ke Kalimantan. Saya sangat ingin tahu apa yang kelak ia tulis tentang Provinsi Kepulauan Riau ini. Di Batam, malam itu, dia mengagumi jalan-jalan yang lebar dan mengunjungi beberapa tempat. Ia memotret kebun buah naga, dan singgah di kamp pengungsi di Pulau Galang.

***

Bagi saya, Farid adalah manusia pencinta manusia dan kemanusiaan. Ia bercerita tentang manusia-manusia kecil yang ia temui dan ia tulis dalam feature perjalanannya.

Ia tak terlalu silau pada kekuasaan, dan itu sebabnya ia amat kritis pada penguasa. Ia menolak keras kenaikan harga minyak, sebab kebijakan itu hanya memikirkan orang-orang di Jakarta. Hal itu makin ia yakini, setelah melihat sendiri di Enggano sebotol bensin harganya bisa berkali-kali lipat, dan orang miskin di sana tak punya pilihan selain membeli semahal apapun.

Saya tak tahu, apakah ini keinginan lama ataukah muncul setelah ia melihat betapa suburnya tanah-tanah di negeri ini. Ketika saya bertanya apa rencananya selanjutnya, saya tertegun dengan jawabannya, "Setelah ekspedisi ini saya ingin pulang ke Wonosobo. Menetap di sana, jadi petani," kata Farid.

Wednesday, August 26, 2009

Quinta Tangis

KAU yang menangis karena tak tahu kenapa kau berdoa untukku
Aku menangis karena tak tahu bagaimana mengaminkan doamu
Kau tak menangis karena duka tapi bertanya apakah aku menangis?
Aku tak menangis tapi ingin sekali menangis ketika kau bertanya
Adapun Tuhan? Dia mengerti doa kita dan mengabulkan tangis kita.



Tuesday, August 25, 2009

Untuk Penyair yang Mati, juga untuk Siapa Saja

KEMATIAN itu, Tuan, adalah juga
kesaksian atas kehidupan, bukan?



Sunday, August 23, 2009

Doa, 3

Orang kerdil ini, Oh, betapa besar inginnya hati,
dua tadah tangan, bukan wadah bagi kecukupan

Allah-ku, pinjam aku tangan-Mu menggenggamku. Amin.


Doa, 2

Allah-ku, aku rasa Engkau tak perlu banyak beri waktu untukku.
Kefanaanku, kefanaanku, rindu bertemu dengan kebaqaan-Mu

Aku - fana waktu - mau mengekal bersama-Mu, Allah-ku. Amin.



Doa, 1

Allah-ku, segerakanlah datang siksa atasku
Timpakanlah azab padaku selekas-lekasnya
atas segala lupa, lalai, dosa dan ingkarku

Asal itu tak menjauhkan aku dari-Mu. Amin.



Friday, August 21, 2009

Ada Anak Bertanya

ADA anak bertanya pada
laparnya, "Sampai kapan
engkau ada di tubuh kami
yang selalu saja puasa?"

Lapar, yang tak pernah
benar-benar bisa pergi
dari anak seperti anak
yang selalu puasa, yang
bertanya padanya itu tak
tahu harus menjawab apa.

Ia terlalu sayang pada
kurus tubuh anak itu, "ini
sudah seperti tubuhku
sendiri," kata lapar itu.



Pancasila?

1. Ketuhanan yang Mahaesa?
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab?
3. Persatuan Indonesia?
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaaan dalam permusyawaratan /perwakilan?
5. Keadilan sosil bagi seluruh rakyat Indonesia?


[FIKSIMINI] Siluman

si·lu·man 1 n makhluk halus yg sering menampakkan diri sbg manusia atau binatang; 2 ki a tersembunyi tidak kelihatan: pasukan --; biaya -- , biaya yg sulit dipertanggungjawabkan (spt uang suap dsb)


"SAYA bosan jadi makhluk halus yang harus menyamar jadi siluman terus," kata siluman itu padaku, "tapi apa saya harus jadi manusia? Atau jadi binatang? Apa tak ada pilihan lain? Anda punya saran?"


Setahu saya, karirnya sebagai siluman lumayan baik. Dia (makhluk halus ini) pernah menyilumankan diri menjadi serigala, babi, anjing, dan ular. Pilihan untuk jadi apa itu tergantung order manusia yang perlu jasa siluman. Tetapi, dia (makhluk halus ini) tidak pernah mau menyiluman menjadi manusia, walaupun di Kamus Besar Bahasa Indonesia siluman itu bisa juga menampakkan diri sebagai manusia.

"Buat apa? Manusia itu lebih siluman dari siluman, kok!" katanya padaku dulu, ketika saya sebagai calo menghubungi dia menyampaikan order dari seseorang yang ingin dia (makhluk halus ini) menyiluman menjadi manusia. Saya mengingatkan dia (makhluk halus ini) percakapan kami dahulu itu.

"Berarti sudah jelas, kau tak mau jadi manusia, kan?" kata saya padanya.

"Oh, ya, saya ingat percakapan kita itu. Tapi, kau salah. Saya kira saya akan jadi manusia saja. Saya yakin sebagai mantan makhluk halus yang sering diminta jadi siluman oleh manusia yang lebih siluman dari siluman, nanti saya pasti akan jadi manusia yang baik," katanya. ***

[FIKSIMINI] Mahasiswa

ma·ha·sis·wa n orang yg belajar di perguruan tinggi; ke·ma·ha·sis·wa·an n seluk-beluk mahasiswa; yg bersangkutan dng mahasiswa: kuliah kerja nyata (KKN) tidak dapat dipisahkan dr kegiatan -


: M Aan Mansyur

DIA selalu bilang bahwa dia kuliah di Fakultas Kehidupan, Jurusan Puisi atau bisa juga sebaliknya Fakultas Puisi, Jurusan Kehidupan.


"Bukan, bukan di Jurusan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya," katanya, setiap kali ditanya soal di mana dia menuntut ilmu di perguruan tinggi itu.

"Itu dulu, saya memang pernah tersasar ke sana. Waktu itu saya hanya bisa memanjangkan rambut saya dan mencuri beberapa halaman dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Waktu itu saya hanya bisa menulis sajak dengan huruf yang tak cukup dan sajak-sajak yang terburu-buru," katanya.

"Oh, begitu ya?" tanya saya, "jadi kapan kau sudah dinyatakan lulus dan apa gelar yang berhak kau sandang di depan atau di belakang namamu?"

"Hah? Apa? Lulus? Gelar? Ini adalah kuliah yang abadi, Bung, kerja yang sungguh tidak nyata! " dia lantas tertawa-tawa, lalu menangis, lalu tertawa lagi. Saya tak mengerti, apa maksudnya. Sungguh, saya tak mengerti. ***

[FIKSIMINI] Puisi

pu·i·si n 1 ragam sastra yg bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; 2 gubahan dl bahasa yg bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus; 3 sajak;...


DIA marah sekali pada para penyusun kamus yang tak dikenalnya itu. "Cuma begitu kemampuan mereka menguraikan makna diriku? Huh! Memalukan. Memuakkan!" katanya.


"Sabar. Sabar..." kata saya mencoba menyabarkan dia.

"Sabar? Apa saya bisa sabar? Coba kamu baca itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi apa itu? Ragam sastra yang bla bla bla...., gubahan dalam bahasa yang bla bla bla... Apa itu?" katanya, marahnya makin menjadi.

"Eee, begini sajalah. Biar saya yang bukan siapa-siapa ini mencoba mendefinisikan kamu dengan cara lain. Yaitu dengan terus-menerus mencoba menuliskan Anda. Bagaimana?" kata saya.

Sepertinya marahnya mereda. Dia lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tapi, rasanya dia tak pernah berada terlalu jauh dari saya. Saya, menyesal juga sudah menjanjikan sesuatu padanya. Karena sejak saat itu saya selalu merasa tertagih, terus-menerus menuliskan dia....

[FIKSIMINI] Tidak


ti·dak
adv partikel untuk menyatakan pengingkaran, penolakan, penyangkalan, dsb; tiada: tempat kerjanya -- jauh dr rumahnya; apa yg dikatakannya itu -- benar; ...


"OH, tidak! Seharusnya aku tidak ada di sana, di halaman kamus ini. Tidak! Seharusnya tak usah saya dilemakan di sini!" kata kata "tidak" itu.


Saya memperhatikan kata itu. Sudah sering saya bertemu dia di sana, ketika sesekali saya berkunjung ke sana, ke Kamus Besar Bahasa Indonesia itu. Tapi, kali ini saya lihat dia lain...

"Oh, sayalah kata yang merusak segalanya. Sayalah kata yang menggoda pasangan manusia pertama itu terbuang dari surga dan kemudian menjalani kehidupan lain di dunia. Aduh, maafkan saya, saya sebenarnya tak pernah ingin lahir sebagai 'tidak', sebagaimana kini adanya saya! Sayalah yang dulu meminta Hawa mengucapkan saya, sekali saja, itulah saat saya pertama kali diucapkan, yaitu ketika Hawa mengajak Adam menidakkan larangan itu..."

Saya tak tahu apakah dia berbicara pada saya. Saya menyimak dan mulai mengerti kenapa dia bicara seperti menahan menangis, seakan menanggung sesuatu yang amat besar sesalnya...

"Saya bukan antonim dari 'ya'. Bukan. Saya tak pernah melawan dia. Saya dulu adalah bagian dari dia. Saya menghormati dia. Saya mengagumi dia. Saya salut pada ketabahan 'ya' kata paling hebat di dunia itu. Saya ini tidak ada apa-apanya dibanding dia. Oh, betapa inginnya saya kembali lagi menyatu dengannya...."

Ah, kata yang cengeng. Saya balikkan saja halaman kamus itu. Mencari kata lain.***

[FIKSIMINI] Kamus

ka·mus n 1 buku acuan yg memuat kata dan ungkapan, biasanya disusun menurut abjad berikut keterangan tt makna, pemakaian, atau terjemahannya; 2 buku yg memuat kumpulan istilah atau nama yg disusun menurut abjad beserta penjelasan tt makna dan pemakaiannya; 3 ki diri, pikiran: tak ada istilah “takut” dl -- saya;


"BILANG pada Penyair itu --- ah, siapa namanya itu? --- Apa salah saya? Saya tak pernah membelenggu kata manapun. Saya tak pernah meminta kata-kata itu ada di dalam saya.


"Saya sayang pada semua kata-kata yang ada pada saya. Ada kata yang tak pernah lagi kalian perhatikan. Ada yang mati terbunuh. Ada kata yang entah bagaimana kalian memperlakukannya, tiba-tiba dia merasa bukan lagi kata...

"Jadi, jangan salahkah saya. Tolong, bilang pada Penyair itu --- ah, siapa itu namanya -- ya. Tak perlu dia membebaskan kata dari saya, saya tak pernah membenahi kata manapun. Saya ini kan cuma menampung kata. Menerima tumpangan. Menerima mereka apa adanya...

"Jadi, jangan musuhi saya. Bilang padanya, pada Penyair itu, dia bebas saja membebaskan kata yang mana saja dari saya. Pada hakikatnya kata-kata itu memang bebas, bukan? Jangan terlalu menganggap saya ada. Saya ini apalah, saya cuma kamus saja." ***

Monday, August 17, 2009

Merdeka!



Google pun ikut merayakan!



Kredo Hidup

Kelahiran adalah ketika ruh menerima ajakan badan, menikmati kefanaan.
"Kau mewujudkan kegaibanku," kata ruh, kepada badan.

Kematian adalah ketika sampai saat ruh pulang, dan badan menolak ajakan.
"Aku telah mencemari kekudusanmu," kata badan, kepada ruh.


Kredo Merdeka

Bebas adalah ketika kita tidak lagi perlu bertanya-tanya, mencari-cari apakah makna kebebasan itu.

Merdeka adalah ketika kita tidak lagi berteriak "Merdeka!" hanya untuk meyakinkan bahwa kita telah benar-benar merdeka.



Saturday, August 15, 2009

Serampu Padam Lampu

KAU bagaikan kejutan hujan itu: seliar terbiar di luar
Aku dikuasai dinginmu, tersiram sepi di samar kamar

Nyaris saja, terselulur lumut si selimut batu, tadi,
di sumur umur. Sempat kau menyerampu padam lampu?


Kredo Hidup

Kelahiran adalah ketika ruh menerima
ajakan badan, menikmati kefanaan.

"Kau mewujudkan kegaibanku," kata ruh,
kepada badan.

Kematian adalah ketika sampai saat ruh
pulang, dan badan menolak ajakan.

"Aku telah mencemari kekudusanmu," kata
badan, kepada ruh.


Thursday, August 13, 2009

[KOLOM] Gairah Rendra

Oleh Hasan Aspahani
Pemimpin Redaksi Batam Pos

KAMIS, 6 Agustus 2009, Wahyu Sulaiman Rendra meninggal. Usia berhenti di angka 74. Ia tak akan pernah lagi berada di mimbar-mimbar resitasi puisi, di panggung pementasan drama, atau di podium orasi. Tapi, ia meninggalkan banyak hal berharga bagi kita, orang yang hidup sesudah dia, juga bagi negeri ini.


KAMIS, 6 Agustus 2009, Wahyu Sulaiman Rendra meninggal. Usia berhenti di angka 74. Ia tak akan pernah lagi berada di mimbar-mimbar resitasi puisi, di panggung pementasan drama, atau di podium orasi. Tapi, ia meninggalkan banyak hal berharga bagi kita, orang yang hidup sesudah dia, juga bagi negeri ini.

Selain sajak-sajak yang akan abadi menginspirasi orang dari zaman ke zaman, ia juga meninggalkan sejumlah artikel hasil pemikiran dan permenungannya. Tulisan-tulisan itu sama bernilainnya, sama pentingnya.

Meski tak terlalu mengerti, dulu, pada usia yang sangat dini, saya adalah orang yang tersemangati oleh apa yang dia sebut sebagai "daya hidup". Artikel tentang hal itu - sekarang susah sekali anak muda kita mendapatkan tulisan dengan daya gugah serupa itu - ditulisnya di sebuah majalah remaja di tahun 1986.

Bayangkan, seorang penyair besar menulis di sebuah majalah remaja. Ini adalah bagian dari serangkaian artikel bermuatan motivasi sangat tinggi, menggugah, dan bak tenaga banjir bah, ia mendobrak kesadaran. Pokoknya - semoga saya tidak berlebihan - ini tulisan yang bikin saya berani dan kreatif!

Saya bertanya pada Arswendo Atmowiloto tentang riwayat serial naskah Rendra itu. Sebenarnya, kata Wendo yang saat itu mengomandani majalah Hai di mana artikel itu terbit, artikel itu semacam "kecelakaan".

"Kami minta Rendra menulis tentang bermain drama," kata Wendo pada saya. "Tapi, Rendra ya begitu. Dia nulis macam-macam, melenceng dari yang diminta, dan ternyata bagus. Jadi dibiarkan saja," katanya.

Redaksi Hai juga tak menagih tulisan lagi ketika tiba-tiba Rendra saja berhenti menulis, tak menyelesaikan serial tulisannya sesuai kesepakatan. "Padahal honornya dibayar di depan, dan jauh lebih mahal dari tarif honor majalah Hai," kenang Wendo.

Apa yang ditulis Rendra? Mari kita baca - artikel itu kelak dibukukan bersama sejumlah tulisan lain dibawah judul "Rendra Memberi Makna pada Hidup yang Fana" - bagian pertama tentang "Kepribadian".

Supaya mudah, saya butir-butirkan apa yang dia tulis. Dan sebisanya, saya uraikan butir-butir itu.

1. Manusia adalah gabungan dari keterbatasan dan kemungkinan. Ada batas untuk cita-cita dan perencanaan manusia. Ada batas kenyataan alam yang harus diperhatikan.

Saya perlu waktu lama bagi saya untuk menelaah apa yang ia tulis itu. Tapi betapa benarnya, bukan? Kita memang dibatasi, tapi di balik keterbatasan itu ada kemungkinan yang harus kita cari, kita temukan. Jadi, pesan moralnya, jangan mengalah pada keterbatasan itu.

2. Ada pula watak-watak buruk yang membatasi kemampuan diri, yaitu kemalasan, kebodohan, ketakutan, ketidakjujuran, dan sebagainya.

Moral, Tuan Rendra. Moral. Itu yang engkau maksudkan bukan? Ya, etos kerja juga, keberanian juga, integritas juga, kecerdikan juga. Saya kira, kalau Rendra terjun ke dunia bisnis, dia akan jadi pebisnis yang hebat. Kalau dia terjun ke politik, dia akan jadi presiden. Saya kira begitu.

3. Pribadi yang mekanis yang serupa mesin, tidak pernah menyadari kemungkinan dan keterbatasan dan serupa itu. ia sudah disetel dan hidup berdasarkan setelannya.

Fleksibilitas. Kelenturan. Jangan jadi manusia yang kaku. Jangan mau disetel oleh keterbatasan kita. Jangan jadi mesin yang bekerja mekanistik. Manusia bukan mesin. Manusia mesin mungkin bekerja efektif untuk satu hal saja, tetapi dia akan tak berdaya ketika menghadapi masalah di luar satu hal itu. Jadi, jangan terpenjara pada keterbatasan dan karena itu jadi tak mampu menciptakan kemungkinan-kemungkian yang lebih baik.

4. Pribadi-pribadi yang kreatif justru memperhatikan keterbatasan dan kemungkinan yang ada di dalam dan di luar dirinya. Berkat kemauan dan kemampuannya, mereka berusaha agar kemungkinan itu bisa ada. Namun, sebelum itu keterbatasan-keterbatasan di dalam alam dan di dalam hidup ini perlu lebih dahulu disadari dan dipelajari.

Inti dari daya hidup itu adalah kreativitas. Kita tidak bisa kreatif, kalau kita tidak punya daya cipta. Kita tidak punya daya cipta kalau kita tidak tahu apa yang ada dan yang tidak ada di sekitar kita. Mencipta, bukankah itu mengadakan sesuatu yang semula tidak ada? Kata Rendra, "hanya dengan cara serupa itu ia mampu merencanakan kemajuan yang sungguh bisa dilaksanakan karena rencananya memang berdasarkan kenyataan."


5. Pribadi yang kreatif selalu merasa perlu untuk menilik dan mengoreksi diri. Ia perlu menciptakan suasana terbuka di dalam jiwanya sehingga ia bisa melakukan koreksi diri.

Nah, jika ajakan untuk kreatif adalah ajakan untuk berlari, maka Rendra pun mengajarkan bahwa kita harus sesekali berhenti, juga memperlamat laju lari itu. Ia mengajarkan untuk tidak tinggi hati. Kita harus menggapai langit, tapi tetap harus berpijak di bumi.

6. Manusia itu penuh daya yang kompleks dan sukar diduga. Apabila dilatih dengan baik, otot-ototnya, pancaindranya, syaraf-syarafnya, intuisinya, perasaannya, dan pikirannya akan merupakan sumber kemungkinan yang sangat besar.

Rendra percaya pada kemuliaan kerja. Ia suka pada remaja yang meskipun kurang sekolahan tetapi melihat seonggok jagung di kamar sebagai sebuah kemungkinan. Ia suka pada pemuda yang otak dan tangannnya siap bekerja. Sebagaimana dalam "Sajak Seonggok Jagung", pemuda itu ia bandingkan dengan pemuda lain yang tamat SMA tetapi tidak terlatih dengan metode. Ia benci pemuda yang pandangannya mencontek dari teks buku, bukan dari kehidupan.

7. Gairah usaha sangat menentukan dalam mengolah keterbatasan menjadi kemungkinan.

Gairah. Semangat. Ia tunjukkan itu pada bidangnya. Ia pendobrak teater modern di Indonesia. Ia mendirikan sebuah teater dengan metode latihan unik yang belum pernah ada sebelumnya, dan melahirkan seniman-seniman yang handal yang menjulang di jagad seni negeri ini. Bisakah itu semua dilakukan dengan semangat dan gairah yang setengah-setengah? Tidak!

"Saya tidak sedih, Rendra meninggal," kata Sutardji Calzoum Bachri. Kenapa? Karena dia tidak pernah meninggalkan kita, karena dia meninggalkan karya-karyanya. Karya-karyanya abadi untuk kita.

Maka, saya kira, yang menyedihkan adalah kalau kita tidak mengambil pelajaran dari karya-karya yang dia tinggalkan, buku-buku sajak-sajaknya, rekaman resitalnya, naskah-naskah teaternya, dan buah-buah pemikirannya. Kalau kita tidak melakukan itu, kita yang maharugi, dan saya kira di alam sana, Rendra akan bersedih karenanya.***

Wednesday, August 12, 2009

Perakit Bunga

: Ibrohim

TIDAK ada toko bom di hotel itu,
hanya sebuah gerai menjual bunga,
kau bekerja di sana. Merakit bunga.

Ada hari ketika kau meledakkan bunga.

Di mana kau merangkainya? Di sebuah
kamar pengantin dipilih dan dipesan,
di hotel itu? Hmm, persandingan tanpa
undangan. Aduh, kau tahu apa yang
kau telah siar-siarkan itu (lewat
bunga yang membunuhmu), yang telah
amat kau sia-siakan? Yang kau tanam,
seharusnya bisa juga tumbuh menjadi
pohon bunga, teduh cabang-cabangnya,
dan jatuh sendiri nanti bunganya,
kelak di harum sebuah hari, bukan?

Tak ada panser singgah di hotel itu,
hanya sebuah pikap terbuka, kau
mengirim kotak-kotak bunga ke sana.

Kau mengirim dirimu ke taman bunga,
yang mungkin akan salah alamatnya!



Saturday, August 8, 2009

Sajak dari Lirik Lagu Kahitna

Sajak yang Ditulis dengan Sangat
Terburu-buru Sebab Aku Harus
Menyelesaikannya Sebelum Lagu
Kahitna itu Selesai Dinyanyikan



ENGKAU tak bisa membedakan Hedi dan Carlo,
apalagi suara Mario, bukan? Dia vokalis
yang menggantikan Roni, tapi itu tak perlu!

Dengarkan saja kalimat-kalimat liriknya
sejak bair pertama: Tak ada Yang harus
kita sesali. Semua indah yang pernah
kita alami....


Engkau setuju? Yovie adalah lirikus terbaik
di negeri ini, bukan? Oh, ya tentu, tentu,
kau harus menyejajarkannya dengan Katon.

Atau Ebiet? Ha ha, terlalu beratkah dia
buatmu? Atau terlalu sastra? Lupakan dulu!
Simak itu, lirik pada bait kedua: Meskipun
terbatas dan tak mungkin terikat janji
abadi.


Ah, aku tak yakin, apakah benar aku tidak
pernah bercerita pada Yovie, tentang kau
dan aku (dan dia)? Kenapa lirik di lagu
ini seperti ia tahu rahasia-rahasia panas-api
dalam kering-sekam kita? Dan bait ini: Aku,
dirimu, dirinya tak akan pernah mengerti
tentang suratan
... bukankah teramat kita?

Sebentar, ikuti aku menyanyikan juga bagian
lirik berikutnya. Hmmm, tak perlu menyesuarakan
suara kita dengan para vokalis padu itu, hayati
saja kata-katanya:... Aku, dirimu, dirinya tak
resah bila sadari, cinta takkan salah
.. Tapi,
kenapa aku resah? Kenapa aku selalu percaya
bahwa cinta kita ini salah?

Aduh, aku tak tahu lagi itu Hedi, Carlo atau Mario,
aku bayangkan itu adalah suaraku sendiri, yang
seperti anjing kesunyian, melolong jeritan: Andai
waktu bisa kita putar kembali, jalinan cerita
mungkin tak begini...


Halo? Engkau masih adakah, saat selesai kutuliskan
sajak yang sangat terburu-buru ini? Halo, engkau?



Catatan:
Teks yang diitalikkan adalah syair lagu Kahitna
"Aku, Dirimu, Dirinya" dari Album "Soulmate" (2006)

Friday, August 7, 2009

Sajak Cinta yang Ditulis ketika Aku Tidak Sedang Jatuh Cinta




: ibu

Pernahkah aku jatuh cinta padamu, Ibu? Tidak,
sejak aku ada, aku mencintaimu. Karena cinta itu,
aku sekarang ingin menulis sajak cinta untukmu.


Karena cinta itu, Ibu, sejak semula, aku tahu
aku harus meninggalkanmu. Engkau juga begitu, Ibu.

Maka kau ajari aku lekas berjalan, berlari, memasang
sepatu dan kaos kaki, naik sepeda dan mengantarkan
aku ke sekolah --- ke masa depan yang kau tahu itu
kelak akan membawa aku jauh sekali dari engkau, Ibu.

Ya, Ibu. Dulu, aku tidak meminta engkau menyusuiku,
tapi engkau tulus memberi, dan tak pernah menanyakan
dengan apa kelak aku mengembalikannya padamu. Tidak,
Ibu. Aku tak ingat lemak atau manis rasa air susumu,
tapi bisakah aku lupa rasa tulus kasih sayangmu?

Sejak semula aku tahu, air susu pasti mengering di
dadamu, tapi bisakah aku melupakan apa yang dari
situ telah mengalir dalam tubuhku, dalam hidupku?
Melupakan apa yang mengikuti aku mengalir hingga ke
kini, hingga ke sini, ke tempat yang tak mungkin
kubawa engkau kemari, tak mungkin kutemukan kau lagi.

Pernahkah kau bertanya cintakah aku padamu, Ibu?
Aku dijawab oleh air susumu yang mengalir di tubuhku.

Maafkan, aku, Ibu. Mungkin tak pernah cukup kukatakan,
aku mencintaimu. Karena cinta itu, (ah, terlambatkah?)
aku sekarang ingin menulis sajak cinta untukmu.

Rendra 1935-2009: Si Penjaga Kehidupan


Oleh Hasan Aspahani

Aku mendengar suara
jerit hewan terluka
ada orang memanah rembulan
ada anak burung terjatuh dar sarangnya
orang-orang harus dibangunkan
kesaksian harus diberikan
agar kehidupan bisa terjaga


Penyair Binhad Nurrohmat di facebook-nya menulis: ... kematian Rendra hanyalah takdir yang bisa ditempuh oleh siapa saja. Tapi tugas kesenian Rendra, tulis Binhad, selama hidupnya hanya dialah yang bisa menjalaninya. Karya Rendra tak bisa pergi dan selalu bersama kita.

Saya kira Binhad benar. Ya, Rendra telah meninggal. Seorang penyair besar di negeri ini menyelesaikan tugas hidupnya. Hidup yang dengan gagah ia jalani, dan satu ajarannya yang tak lekang adalah bagaimana kita mengolah daya hidup!



Sudah lama ia dikabarkan sakit. Penyair Sitok Srengenge yang pernah lama menjadi anggota Bengkel Teater Rendra beberapa kali mengirim pesan singkat meminta doa agar Rendra diberi umur yang lebih panjang. Tapi, kita harus mendengar apa yang dikata takdir. Kamis (6/8), pukul 22.00 lebih, di RS Mitra Depok, ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Sebagai apa saya melihat Rendra? Dia adalah si penjaga kehidupan. Petikan sajak "Kesaksian", yang ia tulis pada usia 39 tahun, di atas, barangkali adalah penggalan sajaknya yang paling terkenal, dan paling mewakili sikap sebagian besar sajaknya.

Sajak-sajaknya adalah upaya untuk memberikan atau mencatat kesaksian atas hidup yang tidak adil, nasib orang-orang tertindas. "Kesaksian harus diberikan agar kehidupan bisa terjaga," katanya, dalam sajaknya itu.

Maka, suatu kali, dalam pidatonya saat menerima penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta, Rendra dengan tegas mengatakan bahwa dia mengganti jurus puitika ambiguitas dengan pisau kritik sosial. Dia pun tak ragu menulis sajak yang ia sebut pamflet. Untuk itu ia dihantam kritik kencang. Pamflet adalah pamflet, bukan puisi. Tapi, Rendra sudah menegaskan sikapnya. Dan itu tidak sia-sia.

Di mata Sutardji Calzoum Bachri, Rendra adalah penyair yang tulus. "Dia yakin dengan perjuangannya. Dia melawan ketidakadilan, sendirian. Dia masuk penjara, pementasannya dilarang, dia hadapi sendiri, itu ketulusannya sebagai penyair," kata Sutardji.

"Dan dia tidak mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama dengannya. Dia tidak menyalahkan penyair lain kalau tidak melakukan hal yang sama dengan dia," tambah Sutardji.

Tetapi, bukankah Tardji pernah mengkritik sajak pamflet Rendra. Ketika itu Sutardji bilang, ketika Rendra menulis pamflet, habislah perannya sebagai penyair. "Itu lain. Itu tidak menyerang pribadi. Secara pribadi kami baik. Waktu saya sakit, dia menjenguk saya," kata Tardji yang saya hubungi di malam kita sama-sama mendengar kematian Rendra.

Bagaimana dengan Bengkel Teater peninggalannya? "Alumni Bengkel silakan membangun komunitas masing-masing. Bengkel tak perlu dipertahankan, biar menjadi legenda," kata Rendra seperti diucapkan Sitok pada saya, beberapa waktu lalu saat saya bermalam di rumahnya.

Selamat Jalan, Mas Willy (ah, kenapa aku kini merasa akrab sekali denganmu?). Kematian tak akan mematikan daya hidupmu! Percayalah itu.***

Catatan: tulusan ini terbit di Batam Pos, Jumat (7/8/2009).

Wednesday, August 5, 2009

Bisakah Sajak Ini Membuat Engkau Menangis?

AKU menuliskan ini dari hidup yang kacau,
ketika umur begitu ingin kita rahasiakan,
tapi tak pernah lagi dapat disembunyikan.

Bisakah sajak ini membuat engkau menangis?


Tapi, hei, kenapa beraninya aku bilang bahwa
hidup ini kacau? Kita mungkin bukan lagi
kita yang lalu-dulu, riang pada cinta mentah,
kasih tak bergetah, yang dengan merah-malu kita
selipkan dalam surat di buku paket negara,
pelajaran Pendidikan Moral Pancasila.

Ya, kita pasti bukan lagi kita yang menggulung
lengan seragam sekolah, dan lari-membolos ke
pertunjukan pagi, ke bioskop yang memutar
film romantika remaja dengan judul yang selalu
ada kata 'cinta', 'kampus', dan atau sejenisnya.

Maka aku menulis sajak ini dari kenangan yang
tak lagi terjangkau. Semacam upaya sia-sia
meraih engkau. Karenanya, menangiskah engkau?


***

AKU menuliskan ini dari hidup yang - hmmm
adakah kata yang lebih baik selain - kacau?

Kita telah sangat dewasa - dan itu berarti
kita amat mahir mengelabui perasaan sendiri.

Misalnya, ketika tiba undangan pesta reuni.

Aduh, berapa puluh tahun sudah kau tanggalkan
rok sekolah? Yang diam-diam kau pendekkan
beberapa senti, dari ukuran yang resmi di
buku panduan penerimaan siswa-siswi baru?

Hei, bagaimana kau menyapa kini kekasih yang
tak pernah bisa jadi kekasih? Dan kau hanya
bisa tertawa - menertawakan kisah mendebarkan -
ketika dia ajukan pertanyaan, "masih ingatkan,
bagaimana dulu kita pertama kali berciuman?"

"Itu bukan ciuman," katamu, "itu bukan ciuman!"

Begitu saja, kutuliskan ini dari kenangan
yang begitu ingin - tapi mana mungkin - kita
lupakan, dan begitu ingin - tapi pun mustahil -
kita lagikan, maka adakah gunanya bila kutanya:

...bisakah sajak ini membuat engkau menangis?

***

Kita mungkin ingin bisa lari dari cinta itu kini.

Tapi, bisakah itu meneduhkan hidup yang hmmm
- kenapa aku mati-diksi, dan setiap kali hendak
menuliskan selalu hanya menemukan kata - kacau?

Harusnya, tak lagi aku bertanya, di pengakhir
bait ini, bisakah ini membuat engkau menangis.

Tuesday, August 4, 2009

Mikael Takut Kepalanya Dipecah Damhuri

Seratus goncangan lonceng baru berdentang.
Seratus dentuman kelopak baru berkembang.
Seratus ledakan jantung baru tenggelam.

("Beku", 1976, Abdul Hadi W.M)



MIKAEL takut kepalanya dipecah Damhuri. Mikael takut
nanti semua muatan otaknya berhamburan. Padahal ia sudah
lama mengumpulkan: dari sobekan-sobekan buku mahal,
dari menongkrongi kafe dan keluyuran di malam mal-mal.

Mikael takut kepalanya dipecah Damhuri. "Jangan hina
kemiskinan saya," kata Damhuri. Tapi, mulut Mikael
suka meludahi mulutnya sendiri. Lalu dijilati sendiri,
dengan begitu, ia mengajari lidahnya takut pada hantu
kata-katanya sendiri. Mikael sayang pada kepalanya.

Mikael sayang pada mulutnya. Mikael sayang pada lidahnya.

Sayangkah Mikael pada rambutnya? Apa minyak rambut
kesayangan Mikael? Pasti minyak rambut istimewa sekali,
yang tak membuat otaknya menggelincir, kesana-sini.

Apakah mulut dan lidah Mikael suka dilumuri minyak juga?
Kenapa lidah dan mulutnya sering terpleset kesana-sini?

Takutkah Mikael mulut dan lidahnya juga dipecah Damhuri?


Catatan:
Ada "pertempuran" seru di FB Mikael Johani. Dia orang muda yang bosan dengan gaya kritik di koran-koran negeri ini. Lantas dia menulis dengan gaya urakan, katanya. Dia kali ini "menghantam" esai Damhuri tentang buku Martin Aleida di Kompas. Damhuri merasa terhina. Dan "mengancam" hendak memecah kepala Mikael. Kemudian terciptalah "diskusi" panjang.

Saya? Melengkapi serangkaian sajak saya yang "mengambil model" Mikael, lantas menulis sajak di atas. Sajak? Mungkin bukan. Saya memang tidak akademis pun tidak berbakat alam. Sajak-sajak lain bertema itu, saya tampilkan di bawah ini:

Cerita buat Johani Mikaela
Kebohongan Tentang Jakarta, Mikael!
Engkau Flu, Mikael?
Semakin Mikael, Semakin Baik
Gurindamikael: Hakikat Lidah
Perilaku Seksual Bahasa Mikael
Diselisihkan oleh Angin, Mikael!
Aku Bawakan Mikaelstik Padamu
Kawankau dan Engkau, Mikael
Kau Masih di Danau Itu, Mikael?
Masuklah, Mikael!
Seberapa Mikaelkah Anda?



Itu Dia!



Foto: KOMPAS/PRIYOMBODO

: Urip "Mbah Surip" Ariyanto


/1/

"ITU dia," kata kawanku, menunjuk padamu.
Kau berjalan - melayang di teduhan taman itu.

"Berat sekali, ia sandang gitar itu," kataku,
semua bunyi terpetik, dan ia simpan di situ.


/2/

IA tidak sedang bernyanyi. Sebenarnya. Dengar,
ia sedang ingin selalu senang. Setelah hari-hari
panjangnya itu jadi kusut. "Itu sebabnya ia
suka tertawa?" Ah, tidak. Ia juga tidak sedang
tertawa. Sebenarnya. Ia hanya harus selalu
memastikan nafasnya masih ada. Masih sisa.

/3/
"ITU dia?" kataku, pada kawanku. Aku menunjuk
padaku dan menunjuk dia juga, pada kawanku itu.


Monday, August 3, 2009

Epiphyllum



AKU mengerti. Sebab selalu engkau pertanyakan
-- ini tengah siang di garang gurun dahulu, atau
di teduh petang teras rumahku. Aku mengerti.

Aku mengerti. Engkau yang lama terpaksa,
menyamarkan daun dan batang, mengacaukan
ranting dan cabang, mempertahankan diri dari
ambang ke rembang, memutar hadap ke terang
ke bayang. Aku mengerti.

Aku mengerti. Engkau yang tahu saat paling pasti,
membukakan kuntum bungamu, menebarkan was-was
wangimu, menegaskan ragu warnamu. Aku mengerti.

Aku mengerti. Engkau selalu saja meragukan apa
yang aku rasa telah aku mengerti. Aku mengerti.


Saturday, August 1, 2009

Lilium



ENGKAU yang tahan menyimpan rahasia di hati
seperti lili merawat ibu umbi - menjaganya
dari musim yang telah salah mengetuk-ngetuk
pada pintu waktu. Waktumu dan waktunya itu.

Dan, engkau buka juga pintu itu. Seperti ada
yang ingin kau kembalikan: jarum jari-jari jam,
angka-angka waktu, kau telah tahu ada saat lili
mengerahkan secerah apa warna yang dia punya,
seperti meniup senyaring-nyaringnya suara pada
terompet bunganya. Seperti ingin membahkankan:

Lihat! Telah kuperbaiki musim yang salah itu!

Dan dia melihat, kini ada yang terang tampak
dari kaca jendelamu: bayang tari benang sari!