Wednesday, August 1, 2007

[Ruang Renung # 222] Tawar-menawar Kecabulan

PRESIDEN Soeharto berpidato di depan anggota DPRGR, 16 Agustus 1968. Dalam pidato itu ada disinggung soal pers yang dinilai kurang bisa memanfaatkan dengan baik kebebasan yang telah diberikan kepadanya. Pers cenderung memuat berita yang sensasional atau dengan sengaja mempermainkan selera masyarakat yang rendah. Dan itu dilakukan dengan berlindung di balik benteng "kebebasan pers".

Rupanya, kecenderungan menyalahgunakan kebebasan pers telah terjadi sejak lama. Rupanya penguasa telah lama pula salah menempatkan diri, menganggap merekalah yang memberikan kebebasan pers itu kepada kalangan pers.

Maka, tak sampai dua bulan setelah pidato resmi kenegaraan itu, Menteri Penerangan mengeluarkan surat berisi pelarangan terhadap semua penerbitan berkala dan surat kabar yang "mengancam pembinaan akhlak Pancasila". Sehari kemudian sejumlah media pun dibredel, atau dengan bahasa halusnya "dicabut izin terbitnya". Media-media yang dibredel itu terbit di Jakarta, Bandung dan Medan. Mereka dinilai telah menyiarkan materi pornografi.

Subagio Sastrowadoyo mencatat sebenarnya ihwal pornografi bukan perkara baru dalam pers Indonesia. Selama pertengahan tahun 1950-an, pornografi telah merajalela lewat majalah-majalah. Bahkan majalah "Terang Bulan" tulis Subagio dalam artikelnya "Mencari Kriterium bagi Pornografi" dalam buku "Bakat Alam dan Intelektualisme" ikut pula menjadi porno, padahal majalah itu semula polos dan tidak mencari sensasi dalam pemberitaannya. Itu pilihan tidak idealis bagi "Terang Bulan" tapi tak ada jalan lagi tampaknya agar bisa bertahan, sebab kecabulan di majalah-majalah saat itu sudah merata.

Rupanya, di negeri yang kala itu masih muda, saat itu telah pula sempat terbawa ke arus yang merisaukan bagi sebagian kalangan yang peduli, tetapi kesempatan bagi sebagian yang melihat itu sebagai peluang untuk cari dan dapat untung. Gelombang pornografi tahun 1950-an itu reda dan surut sendiri karena politik yang naik tahta jadi panglima akhirnya berkembang menguasai hampir seluruh segi kehidupan.

Kita rupanya tak pernah siap dan belum bisa arif menghadapi pornografi ini. Tahun-tahun belakangan ini ihwal kecabulan dan pornografi di kalangan pers dan sastra mengombak lagi. Kali ini tidak ada politik yang bisa jadi panglima yang bisa menenggelamkan segi hidup lain, juga tidak ada menteri yang bisa mencabut izin terbit. Selalu saja di hadapan gelombang itu ada yang peduli ada yang ambil kesempatan untuk dapat untung atas nama apa saja.

O, akan selalu begitukah? O, yang cabul dan porno akan selalu timbul tenggelam, timbul tenggelamkah? O, batas kepornoan dan kecabulan itu akan selalu bergeserkah? O, akan selalu terjadi tawar-menawarkah? O, sampai batas mana pergeseran itu? O, sampai berapa murah harga itu bisa ditawar?

Catatan:
Renungan ini ditulis dalam rangka ikut-ikutan meramaikan polemik yang dipicu oleh pidato Taufik Ismail  Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka , lantas merebaklah adu pendapat antara orang-orang hebat berikut ini:

1. Hudan Hidayat: Sastra yang Hendak Menjauh dari Tuhannya
2. Taufik Ismail: HH dan Gerakan Syahwat Merdeka
3. Hudan Hidayat: Nabi Tanpa Wahyu
4. Mariana Amirudin: Perkosaan Teks-Teks Sastra
5. Beni Setia: Memahami Taufiq Ismail