Wednesday, August 22, 2007

[002] Minat, Bakat, Semangat, Syarat untuk Jadi Hebat!

Sepeninggal Chairil Anwar kami masih berlima. Saya, Sapardi Djoko Damono (SDD), Goenawan Mohamad (GM), Sutardji Calzoum Bachri (SDD) dan kini kami bersama Subagio Sastrowadoyo (Madiun, 1 Februari 1924). Nama terakhir ini adalah seorang penyair, juga pemerhati sastra serta kritikus yang tajam. Dia misalnya pernah membuat tulisan kritik yang amat bagus yang menganggap penabalan H.B. Jassin atas Angkatan 66 kurang berdalih. Tapi, kami belum akan berbincang ke soal jauh itu. Kami akan bicara soal modal atau syarat untuk menjadi penyair hebat! Sekali lagi, tidak penting saya sebutkan dimana dan kapan perkumpulan ini terselenggara.

HA: Pak Tardji setahu saya sering mengatakan soal bakat. Penyair yang menghasilkan sajak buruk sering Anda sebut memang tidak berbakat besar.

SCB: Saya kira begini. Perpuisian kita akan tumbuh, berkembang, menarik untuk diamati dan diikuti, dan kelak bangsa kita lewat dunia puisi akan disegani apabila para penyair-penyair kita terus mencari, mengerahkan daya kreasi untuk menghasilkan sajak-sajak baru yang unggul. Menjadi penyair hebat itu tidak pokok. Yang lebih penting adalah menghasilkan karya yang hebat. Toh nanti karya hebat itu akan mengangkat sendiri nama penyairnya menjadi penyair hebat.

HA: Nah, apa yang harus dimiliki oleh penyair untuk menghasilkan sajak yang hebat?

SCB: Yang paling penting adalah terus berproses dan bergerak. Yang diperlukan adalah bakat, background ilmu, wawasan dan kontak dengan pemikiran-pemikiran orang lain, banyak pengalaman, kesempatan, minat, dan nasib baik. Dan jangan lupa satu hal: takdir Tuhan! Ini semua panjang sekali kalau kita mau bicarakan.

HA: Kita berfokus pada apa yang berasal dari dalam diri penyair saja dahulu. Saya kira yang diperlukan adalah minat, bakat, dan semangat. Saya ingat Pak Subagio pernah menulis soal bakat alam dan intelektualisme yang diperlukan oleh penyair agar bisa menghasilkan sajak yang hebat.

Subagio Sastrowardoyo (SS): (Sambil membetulkan letak kacamata dan menyamankan duduknya) Menurut saya bakat penting, tapi itu saja tidak cukup. Intelektualisme diperlukan, bahkan sangat diperlukan untuk memberdayakan bakat itu, apalagi untuk menghasilkan sajak yang hebat. Karena apa? Karena sajak adalah buah karya sastera (beginilah SS mengucapkan dan dia minta ditulis seperti itu juga) yang nilai seninya sangat tergantung pada kekuatanekspresinya. Untuk menghasilkan sajak yang baik disamping bobot pikiran, nilainya ditentukan oleh dengan sangat beratnya oleh daya ekspresinya. Nilai puitiknya terletak pada kepelikan pikirannya tentang dunia dan hidup, tetapi tidak kalau beratnya tergantung pada caranya penyair mengucapkan diri.

HA: Maaf, Pak Subagio, saya kira kita belum membahas soal sajak yang baik, tetapi masih pada soal perlunya bakat, dan yang menarik dari Anda adalah soal intelektualisme.

SS: Nah, justru saya sedang mengarah ke sana. Ya, saya kira memang penyair perlu menambah atau mengasah intelektualitasnya. Penyair yang mengandalkan bakat alam saja pasti tenggelam dalam kelupaan karena habis daya untuk memberikan kepada dunia intelektualitas pemikiran yang matang tentang dunia dan kehidupan.

HA: Bisa diberi contoh nama-nama, Pak Subagio?

SS: Tentu saja. Pada berbagai periode sastera selalu timbul nama-nama penyair berbakat. Mereka peka, sangat peka dan menaruh perhatian besar kepada gaya kepenyairannya. Saya akan panjang bicara soal ini...

HA: Ya, teruskan saja, Pak.

SS: Bakat-bakat alam, sebenarnya ini istilah yang saya dengar dalam percakapan dengan H.B. Jassin. Mereka yang memiliki bakat alam ini bisa kita lihat lahir di sekitar tahun 1955. Saya menamakannya "generasi Kisah". Ini sesuai dengan nama majalah yang berperan penting pada masa itu. Saya bisa menyebut nama Rendra, Ajib Rosidi, Mansur Samin dan Kirdjomuljo. Sajak-sajak mereka terbit di majalah Kisah.

Karena umur dan kesempatan pendidikan dan pengalaman hidup yang masih singkat, alam pikiran mereka terbatas kepada yang dapat disimpulkan dari sajak-sajak yang mereka baca dari generasi sastera terdahulu. Mereka membaca Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, juga karya asing yang masih dapat mereka peroleh dari terjemahannya misalnya Lorca dan Carl Sandburg.

Mereka kurang menguasai bahasa asing, ini disebabkan oleh kurikulum pendidikan pada masa itu. Ini berbeda dengan Chairil misalnya yang berpendidikan Mulo dan menguasai bahasa Belanda. Nah, bahan sajak-sajak para penyair berbakat alam ini didapat dari peristiwa sederhana yang berlangsung di kota atau di kampung, keakraban dengan alam raya, ataupun kesan kemurungan yang tak menentu yang tak menemukan pemecahan. Maka pada masa itu misalnya, bentuk balada amat disukai karena bentuk itulah yang memungkinkan pemberitaan peristiwa dengan leluasa.

HA: Pak Subagio, bukankah Rendra kemudian ke Amerika dan menghasilkan sajak yang hebat yang berlatar belajang negara itu?

SS: Ya, itulah yang kemudian terjadi. Mereka insyaf bahwa untuk kepentingan menyajak tidak cukup hanya berbekal bakat alam belaka. Mereka kemudian memperdalam pengertian serta pemahaman dalam masalah sosial dan politik. Ajib menjadi wartawan. Mansur Samin ikut demonstrasi mengkritik kebobrokan rezim pemerintah saat itu. Rendra ke Amerika mengambil kuliah sosiologi. Itu artinya apa? Mereka sadar harus menyerap gejolak dalam masyarakatnya dan rmempertajam atau mempertinggi derajat intelektualitas mereka agar bisa melengkapi segi ekspresi kerja persajakan mereka.

HA: Baik, saya kira saya bisa menangkap teladan dari penjelasan Pak Subagio. Pada mulanya adalah bakat alam, penyair harus menyadari dan kemudian memanfaatkan bakat itu, ada minat yang kuat untuk menerjuni dunia puisi. Tapi bakat saja tidak cukup. Diperlukan intelektualitas agar bakat semakin tajam. Hanya mengandalkan bakat, penyair akan tenggelam.

SS: Persis.

HA: Saya ingin dengar pendapat Pak Sapardi soal bakat, minat, dan semangat menggeluti dunia kepenyairan ini.

SDD: Kalau bicara soal itu, saya ingin kita melihat sosok Chairil Anwar. Dia saya kira adalah sosok penyair yang dengan sempurna menunjukkan kombinasi antara bakat yang besar, minat yang menggebu dan terfokus pada sastra, dan semangat yang membara yang dilandasi pada keyakinan bahwa dunia yang ia masuki tidak sia-sia. Kita bisa melihat itu dari karyanya.
Saya pernah bilang, akhirnya memang tidak ada hasil kerja manusia yang sempurna. Tapi beberapa sajak Chairil Anwar yang terbaik menunjukkan bahwa ia telah bergerak begitu cepat ke depan, sehingga bahkan bagi banyak penyair masa kini taraf sajak-sajak tersebut bukan merupakan masa lampai tetapi masa depan, yang hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat dan kecerdasan yang tinggi.

SCB: Ya, saya banyak meneladani Chairil. Saya kira, dia memang pantas menjadi teladan kita dalam menyair. Dia orang yang bersungguh-sungguh menyair. Dia penyair serius. Kita semua tahu bagaimana dia sampai berminggu-minggu mencari kata yang tepat untuk satu baris sajaknya.

Baginya menulis sajak harus dirancang, direncanakan dan dipikirkan ketepatan kata-katanya. Chairil menolak improvisasi. Nanti bisa dia jelaskan sendirilah.
Chairil mencontohkan bagaimana seleksi kualitatif dari dirinya sendiri sebagai penyair atas sajak-sajaknya. Dia bukan orang yang menawarkan sebanyak-banyaknya sajak lantas seperti pasang undian, ah siapa tahu nanti ada beberapa yang diakui sebagai sajak yang baik.

HA: Bukankah berpuisi adalah melakukan ekperimen berbahasa, Pak Tardji?

SCB: Ah, kau. Jangan samakan semangat bereksperimen dengan sekadar coba-coba. Justru yang dilakukan oleh Chairil adalah sebuah eksperimen yang ketat. Itulah sebabnya maka pernah saya bilang kenapa sekarang terlalu banyak muncul sajak yang tak bernilai dalam perpuisisan kita. Dan tentu saja ada sebab lain, yang paut dengan pembicaraan kita ini yaitu apa? Bakat yang kurang!

HA: Bagaimana Pak GM? Ada yang ingin dilengkapi?

GM: Ya, bicara soal bakat dan totalitas Chairil memang tak akan pernah pudar daya tariknya. Kita mengenangnya sebagai pemuda berumur 20-an yang biasa bicara angkuh, cerdas, cekatan, kocak dan kadang menohok. Coba baca skenario Sjuman Jaya yang tak sempat difilmkan itu. Tanpa bakat besar dan minat serta keyakinan yang teguh atas pilihannya pada jalan puisi, saya kira Chairil tidak akan menjadi seperti Chairil yang kita kenal. Bayangkanlah masa itu, tahun 1940-an itu, suatu masa ketika pikiran besar dan kecil ramai bergulat. Harapan akan negeri yang bebas mekar. Pemikir dan penyair sibuk, juga asyik. Dan dia menulis puisi begitu segar, dan kurang ajar. Chairil, penyair yang diberkahi bakat besar ini, hadir di tengah masa seperti itu.

Dari sajak-sajaknya kita tahu bagaimana semangat yang ia kobarkan. "Aku suka pada mereka yang berani hidup" katanya, "aku suka pada mereka yang masuk menemu malam?" Nah. Begitulah dia. Jika pada malam itu ada bahaya, dosa, setan atau sifilis sekalipun tak merisaukan dia. Baginya, tak ada sensor, tak ada ketakutan, tak ada sejarah, batas administrasi, doktrin agama, dan segala yang dianggap membatasi.

Tapi, Chairil memanfaatkan kebebasan kreatif itu. Ia bahkan merampas, dan ikut membangun kebebasan itu.

HA: Ya, dia tidak berlindung dibalik kebebasan kreatif, kebebasan penyair untuk menyelamatkan sajak yang buruk? Dia tidak menulis sembarang sajak lantas menyebutnya sajak sembarangan itu berhak dia tulis karena puisi adalah dunia yang bebas?

SCB: Itulah yang saya bilang tadi semangat coba-coba itu, semangat iseng-iseng berhadiah! Ha ha ha!

HA: Nah, kalau pertanyaannya ditujukan pada Anda semua, seberapa besar Anda merasakan bakat itu ada dalam diri Anda.

Sapardi dan Goenawan berpandangan. Sutardji lantas tertawa lepas bersama lepasnya tawa Subagio.

SCB: Besar, sangat besar. Kami adalah penyair yang tahu bahwa bakat kami besar. Minat kami besar. Dan semangat kami untuk perpuisian Indonesia pun sama besarnya.

GM: Terima kasih. Sutardji sudah menjadi juru bicara kami. Juru bicara yang baik.

Tawa yang lebih lepas lantas memenuhi tempat kami berbincang.

HA: Baiklah. Kita lanjutkan lagi. (Saya harus buru-buru akhiri pembicaraan sesi ini, saya takut mereka berbalik menanyakan hal yang sama kepada saya).

SDD: Hei, tunggu, kalau Anda yang ditanya seperti itu, apa jawaban Anda?

(Aduh, Pak Sapardi kok seperti tahu membaca pikiran saya).

HA: Begini, saya kira Pak GM sudah menjadi juru bicara saya juga! Terima kasih, Pak GM. Permisi.