Wednesday, August 15, 2007

Sajak "Malaikat" dan Tanggung Jawab Penyair

Ibarat umpan gurih, sajak "Malaikat" Saeful Badar di lembar Khazanah "Pikiran Rakyat" 4 Agustus 2007, langsung disambar dengan protes oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Jawa Barat. Dalam surat pembaca yang dimuat di koran yang sama Selasa 7 Agustus 2007, yang dikirim oleh Wakil Ketua Umumnya, H.M. Daud Gunawan, DDII mengajukan 10 butir pernyataan. Sehari sebelum surat itu Redaksi "Pikiran Rakyat" sudah pula mengumumkan maaf dan mencabut pemuatan sajak itu.

Ini butir pertama mereka: Sajak berjudul "Malaikat" karya Saeful Badar tersebut, jauh dari nilai estetika seni sastra, sekaligus tidak mengandung etika penghormatan terhadap agama, khususnya agama Islam. Oleh karena itu, sajak tersebut dapat dikategorikan menghina agama, khususnya Islam.

Ini butir keenam: Menuntut Pikiran Rakyat melakukan tindakan setimpal, baik terhadap penulis sajak itu, maupun redaktur yang memuatkannya, berupa mem-black list Sdr. Saeful Badar atau mencekalnya dari daftar kontributor sajak "PR", sehingga ia minta maaf secara terbuka kepada umat Islam atas kekhilafannya.

Dan ini butir terakhir: Mengharapkan Redaksi "PR", penyair, dan masyarakat pada umumnya, untuk berhati-hati dalam berkarya, menulis, ataupun tindakan lain yang dapat dinilai menista agama, dan menyinggung keyakinan umat Islam.

Saya bergantung pada situs "Pikiran Rakyat" untuk mendapatkan sajak itu. Tapi, ketika saya mengaksesnya Sabtu, 11 Agusuts 2007, sajak tersebut tak ditampilkan lagi. Tentu saja, kan sudah dicabut! Sajak itu akhirnya saya dapatkan dari mailing list. Ini dia:
MALAIKAT

Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai makhluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu
Dan maut
Ke saban penjuru

2007

Menurut saya ini memang bukan sajak yang baik. Tapi saya kira sajak ini juga sangat tidak perlu diprotes dan tidak usah dicabut penerbitannya, meskipun saya juga bisa mengerti kalau DDII marah atas sajak ini. Ada yang menuduh DDII hanya ingin cari nama. Tapi, baiklah kita batasi saja pembicaraan pada wilayah seni puisi.

Ya, betul, bila ada yang mengatakan bahwa malaikat adalah metafora di sajak itu. Ia sekaligus juga bukan metafora. Dan malaikat adalah metafora untuk hal-hal yang baik, luhur, tulus. Ingat frasa berhati malaikat atau berwajah malaikat. Kesalahan terbesar dalam puisi ini saya kira ada pada larik: Ia berlagak sebagai makhluk baik. Malaikat dalam alam bahasa kita adalah lawan dari iblis, lepas dari perkara keimanan. Iblis adalah segala hal yang buruk, jahat dan amoral.

Bagaimana saya bisa menerima tawaran makna baru dari si penyair bahwa malaikat itu adalah makhluk yang "galak dan usil" yang meniupkan maut dan wahyu ke segala penjuru? Bukankah itu memang tugas malaikat? Sekali lagi, tanpa mempertimbangkan keimanan saya, saya susah menerima tawaran imaji dan makna dari si penyair. Jadi sekali lagi,  menurut saya ini bukan sajak yang baik.

Penyair Indonesia sesungguhnya berada dalam iklim penciptaan yang luar biasa bebasnya. Ini cuaca yang sangat baik untuk bercocok tanam puisi, dan menghasilkan berbagai-bagai jenis puisi. Kebebasan berekspresi di Indonesia - khususnya dalam seni puisi - saat ini sedang sehat-sehatnya.

Tanggung jawab penyair kepada kebebasan itu adalah bagaimana menghasilkan karya terbaik. Seluruh perangkat perpuisisan bebas digunakan. Tak ada tema yang dihalang-halangi untuk dimasuki. Saya kira malah cuaca baik itu belum dimanfaatkan dengan baik oleh penyair saat ini.

Saya akan lebih suka kalau sajak di atas sedikit diolah oleh si penyair menjadi begini:
MALAIKAT PALSU

Mentang-mentang punya sayap gadungan
kau nyinyir dan cerewet
berlagak bak makhluk baik

sok galak dan usil
meniupkan wahyu palsu
dan mengancam nyawa orang
di segenap penjuru

Nah, dengan sajak model begini, saya bisa memaknai malaikat palsu itu sebagai wujud perilaku sebuah negeri yang menista negeri lain dengan alasan yang dibuat-buiat, atau perilaku lembaga yang sok suci dan menajiskan apa saja yang berada di luar kelompokmreka.

Puisi juga perkara teknik mempergunakan alat-alat puitika. Ini yang sering dilupakan. Jangan semata-mata meringkuk di balik perisai "kebebasan berekspresi" lantas melupakan tanggung jawab untuk menghasilkan sajak yang baik. Saya menyukai muatan kritik dalam sajak Saeful Badar itu. Saya kira mengajukan kritik seperti itu juga sebuah upaya untuk memanfaatkan kebebasan berekspresi. Tapi, tetap saja niat baik kritik harus diimbangi dengan laku baik: menggarapnya dalam sebuah sajak yang baik. Yang bertanggung jawab.

Penyair harus membuat sajak yang baik, itu tanggung jawab. Sajak yang baik itu menyampaikan pesan juga dengan baik, itu tanggung jawab. Bila tujuannya adalah mengkritik lembaga seperti DDII, maka bagaimana mengemas kritik itu agar bisa diterima sebagai upaya "saling mengingatkan". Itu juga sebuah wujud tanggung jawab.

Pada hari yang sama dengan pemuatan surat prores DDII, Saeful Badar juga menyatakan kekhilafan dan mencabut sajak itu. Saya setuju dia minta maaf. Saya kira permintaan maaf itu juga bukan pertanda buruk bagi kebebasan berekspresi melalui seni puisi.  

Tapi, DDII pun keterlaluan. Terlalu jauh rasanya ketika mereka menyamakan pemuatan puisi itu sebagai kesengajaan untuk memancing amarah umat Islam dan menista ajaran Islam. Terlalu jauh rasanya menyamakan puisi itu dengan - seperti mereka sebutkan dalam surat protes mereka - "apa yang dilakukan para penista Islam, seperti kasus Salman Rushdie dengan novel 'Ayat-ayat Setan', koran Jylland-Posten Denmark dengan karikatur Nabi Muhammad SAW". Kenapa? Karena Saeful Badar bukanlah Salman Rushdie atau kartunis-kartunis Jylland-Posten.   

Saeful Badar telah minta maaf. Ia menulis: dari lubuk hati yang paling dalam, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya atas kekhilafan ini. Apa yang telah saya tulis di puisi tersebut merupakan bentuk kedhaifan saya sebagai manusia dalam menginterpretasikan gagasan dan imajinasi tentang malaikat. "Sama sekali, tak terbersit niatan untuk menghina apalagi melecehkan," katanya.

Saya tetap beranggapan bahwa kasus ini tidak akan mengubah iklim baik bagi penyair untuk berkreasi mengolah seni puisi. Bila ada hikmah yang hendak diambil maka itu adalah sudah saatnya kita melatih kedewasaan dalam memanfaatkan kebebasan dan menghasilkan karya puisi. Hubungan dan pergaulan antara penyair junior dan penyair senior perlu dikembangkan menjadi hubungan yang sehat dan saling mendewasakan itu.