Monday, August 13, 2007

Siul yang Meruntuhkan Tembok!



Sepucuk Pesan Ungu
Dua Kumpulan Sajak
Pengarang: Ready Susanto
Penerbit: Bejana & Semenanjung, Bandung, 2007
Tebal: 80 halaman

Aku menjemputmu! Bis tingkat menderu, polusi membasahi
Jakarta. Siapa mengusik pagi dengan siulan menyayat itu?
"Klaus Meine, Scorpion," katamu. Wind of Change berkuman-
dang. Menyusuri Taman Gorky, tembok Berlin telah runtuh,
katanya. Kau tahu beton itu telah rapuh sejak orang menyebe-
ranginya demi cinta. Seperti kita.


(Album Lama: Jakarta-Bandung)

Saya telah awali tinjauan ini dengan petikan bait (atau paragraf?) pertama dari sajak lima bait ini. Ini salah satu sajak yang langsung saya sukai dari buku kumpulan puisi Ready Susanto, penyair kelahiran Palembang (1967) yang kini bermukim di Bandung ini.

Cerita tentang si aku yang menjemputmu (dengan sebuah tanda seru, sebagai isyarat girang? Atau tegang?) itu lantas dialirkan dengan amat lembut. Pemandangan dari jendela bis: mimpi, pinus di halaman sekolah yang kering, ragu, pertanyaan tentang cinta yang mempertemukan dua orang yang tetapi tidak merubuhkan sebuah tembok penghalang, kamar dan gaung televisi, hingga diakhiri dengan si aku yang mengantarmu. Ah, sempurna!

Di luar urusan tema dan bentuk, menulis sajak, apa pun jenisnya, pada dasarnya adalah proses membangun kompleksitas (gambar-gambar, suara, imaji, peristiwa) sambil menjaga keutuhan. Kompleksitas dan keutuhan, seperti dua kutub jebakan bagi penulis sajak. Jika sajak terlalu kuat tertarik ke kutub kompleksitas minus keutuhan maka yang ditawarkan adalah kerumitan-kerumitan yang susah ditembus pembaca. Jika sajak terlalu dekat pada keutuhan, tanpa kompleksitas maka yang tampil adalah sajak yang cair, terlalu mudah dibaca, dan karena itu ia gagal sebagai sajak.

Pada sajak ini, Ready berhasil membangun keutuhan itu. Saya suka sekali dengan kalimat awal dam kalimat akhir yang seakan menjadi tanda betapa sajak telah dijaga keutuhannya. Saya suka sekali dengan kompleksitas yang dibangun oleh penyair dengan berbagai jurus. Ia menyelangkan banyak hal dan bahkan mengutip sejumlah bait sajak yang membuat bait-bait sajaknya menjadi kuat. Maka bergiliran muncullah Ayib Rosidi, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono. Petikan-petikan sajak itu melebur, lepas dari statusnya sebagai bagian dari sajaknya yang asli. Ia sah menjadi serpihan bata pembangun bangunan sajak baru.

Ready Susanto saya kira berhasil meruntuhkan tembok sajak-sajak yang ia baca, peristiwa-peristiwa berkesan yang ia alami, dan perasaan yang timbul dalam dirinya - mungkin cukup dengan menghembuskan sebuah siulan ringan saja - lantas ia bangun sajak barunya dengan memilih lantas menyertakan potongan-potongan reruntuhan yang ia buat tadi.

Selain sajak yang saya kutip di atas saya juga amat suka pada sajak "Album Lama: Sepanjang Tengku Umar", "Nongsa Point Marina", "Album: Cisangkuy", "Wilayah Melankoli", dan "Tiga Catatan Harian". Hei, lihat, semua sajak itu adalah sajak-sajak yang bisa disebut sebagai puisi-prosa! Puisi yang bait-baitnya adalah paragraf. Puisi yang seakan tidak peduli pada bait, pemenggalan bait. Lantas di mana letak "puisi"-nya? Tanpa bait, bisakah nikmatnya rima dan ritme terasa? Sebuah puisi-prosa yang baik- sebagaimana layaknya sajak bebas lainnya, seharusnya tidak membunuh rima dan ritme. Ia hanya menyembunyikan, dan diam-diam kedua hal itu muncul, atau setidaknya terasa ketika terbaca, menimbulkan semacam rasa rempah yang lembut.

Puisi-prosa bukan petikan-prosa. Poet laureatte Amerika 2007 Charles Simic ada mengingatkan hal ini. Puisi-prosa bukan sekedar cuplikan cerita, ia juga bukan sekadar sebuah cerita yang dituliskan dengan puitis. Saya menemukan kekuatan puisi-prosa Ready Susanto di buku ini, dan saya menyukainya. Saya kira puisi-puisi akan menjadi penanda penting bagi kepenyairannya. Saya kira buku ini menjadi semacam sinyal baik bagi perjalanan menyairnya selanjutnya.

Penyair ini telah menunjukkan tanda-tanda kematangan memanfaatkan alat-alat puitika. Rima dan ritma, misalnya, dimaksimalkan oleh Ready pada beberapa sajaknya. Saya perlu sebuah petikan lagi sekaligus menjadi penutup yang manis untuk mengakhiri tinjauan ringkas ini. Saya pilih bagian terakhir dari sajak tiga bagian di halaman 72.

Seperti katamu, "perasaan bagai laut," pasang surut.
Seperti kataku, "masa lalu bagai mambang," menebarkan bimbang.
Lalu, "mengapa aku hanyut?"
Lantas, "pada siapa engkau takut?"
Televisi menyanyi: sebegitu dekatkah aku, hingga engkau kesepian?
Televisi menyanyi: sebegitu jauhkah engkau, hingga aku kehilangan?


(Tiga Catatan Harian)