Monday, August 20, 2007

[Ruang Renung # 226] Bagaimana Sebaiknya Menyajakkan Malaikat?

YA, bagaimana sebaiknya memanfaatkan kata "malaikat" - beserta segenap pengertian, imaji sosok dan perannya, kepercayaan atas keberadaannya - di dalam sajak, tanpa harus terjerumus pada anggapan pelecehan pada keimanan? Bagaimana memanfaatkan kata "malaikat" dan memberi makna baru pada kata itu? Membangun imaji-imaji baru dengan kata itu tanpa harus jatuh pada tuduhan hanya sekedar bergenit-genit dan kelak ketika bermasalah lantas berlindung pada dalih "ajaib" kebebebasan berekspresi?
Saya kagum dan ambil banyak pelajaran dari sajak Goenawan Mohamad "Seorang Malaikat Berdiri di Atas Loko". Saya ambil kutipan selengkapnya dari buku "Sajak Lengkap 1961-2001", halaman 199:
Seorang Malaikat Berdiri di Atas Loko
Sajak Goenawan Mohamad


Seorang malaikat berdiri di atas loko, seorang malaikat berdiri di kereta
api malam yang kosong dan berjalan pelan, di sepanjang Latuharhari.
Seperti seorang yang sesat tapi kau kenal. Seorang malaikat yang
tertegun pada kilau rel, seorang malaikat yang melihat lampu-lampu
seperti ia pertama kali melihat sederet bulan bertengger, dan
merasakan sesuatu yang mirip kesedihan (tapi mungkin juga bukan
kesedihan). Ah, pasti aku ingat film Wim Wender, kataku dalam
hati, dan aku seakan mendengar ujarnya, dengan suara rendah,
menyebut sesuatu. "Kebahagiaan"? "Ketiadaan"?

Bagaimanapun aku melihat seorang malaikat berdiri di antara tujuh
perempuan yang menunggu, di tepi besi hitam. Tapi deret gerbong
itu menjauh, dan pelacur itu berkata, "Bahkan dosa kita tak akan
diterima."

2001

Pelajaran apa yang bisa saya ambil dari sajak ini? Begilah kira-kira:

1. Kebebasan berimajinasi langsung ditunjukkan sejak dari judul. Adakah yang pernah menyaksikan seorang malaikat berdiri di atas lokomotif? Berdiri di atas kereta api malam yang kosong dan berjalan pelan? Ini sepenuhnya imajinasi penyair. Penyair membutuhkan imajinasi itu untuk mengantar pesan apa yang ingin ia sampaikan.

2. Penyair membancuh dengan bebas imajinasinya dengan kenyataan. Ia menyebut sebuah nama jalan atau nama sebuah wilayah: Latuharhari. Penyair mungkin saja memberangkatkan imajinasinya dari kenyataan yang terhampar di depan matanya: sebuah ketertegunan.

3. Malaikat itu "Seperti seorang yang sesat tapi kau kenal". Nah, bisakah dibenarkan kalimat ini? Bisakah dibenarkan menganggap ada seorang malaikat tersesat dan pernahkah malaikat itu mengenal engkau? Siapakah engkau? Siapakah kita? Bukankah malaikat itu hanya bertemu dengan nabi-nabi?

4. Dan malaikat itu tertegun melihat kilau rel - sebuah pemandangan biasa sebenarnya. Tapi, menjadi luar biasa di mata malaikat, ia - malaikat itu - juga tertegun melihat lampu-lampu (ini juga pemandangan biasa sebenarnya, bukan?) yang di matanya seperti sederet bulan bertengger. Dan malaikat itu merasakan sesuatu yang mirip kesedihan. Sedih itu bukankah milik manusia? Dan, ah saya disadarkan, bahwa ini sajak. Sebuah karya rekaan, karena tiba-tiba saja si penyair dengan cerdas menyebut bahwa dia ingat film Wim Wender. Saya tak tahu itu film apa. Saya ingin tahu. Kalau saya tahu, pasti sajak ini akan lebih nikmat terasa.

5. Bait atau paragraf kedua, melengkapi sajak ini. Si aku dalam sajak itu meyakinkan dirinya bahwa dia melihat malaikat itu dan kini si malaikat ada di antara tujuh perempuan yang menunggu. Siapakah mereka? Menunggu apa? Mereka menunggu di tepi besi hitam. Ini berkorespondensi dengan loko dan kereta api malam. Besi hitam itu adalah rel. Perempuan apakah yang pada malam hari menunggu di tepi rel?

6. "Deret gerbong itu menjauh" tulis penyair. Ini bagian yang paling menyentuh saya, seakan memberi semua jawaban pada pertanyaan saya. Menguatkan kemalangan nasib tujuh perempuan yang menunggu itu. Yang ditunggu tidak singgah. Dan malaikat itu tak lagi berdiri di antara mereka - para pelacur itu. Aduhai malangnya nasib manusia. "Bahkan dosa kita tak akan diterima," kata pelacur itu.

7. Malaikat, dalam sajak ini telah dimanfaatkan, dipergunakan, diberdayakan untuk menjadi saksi kehidupan manusia. Kehadirannya memberi sudut pandang lain pada kemalangan manusia yang sebenarnya telah jamak diketahui, sehingga menjadi lebih menyentuh dan ibarat suara tanpa diteriakkan pun ia bisa bergaung panjang.